Menguak Badan Kesehatan Dunia
Oleh: Ndaru Anugerah
Nggak terasa situasi pandemi telah berjalan menginjak bulan ke empat, sejak pemberlakuannya di bulan Maret silam oleh WHO. Namun sayangnya, sudah sejauh ini masih banyak yang tanya ke saya, kok bisa WHO menetapkan status pandemi, meskipun si Kopit ternyata nggak mematikan.
“Kok bisa ya, Bang?” begitu kurleb nada pertanyaannya.
Dalam menjawab ini, anda perlu tahu dulu, apa itu WHO.
WHO adalah badan kesehatan dunia yang dalam menjalankan program-programnya membutuhkan dukungan dana yang nggak sedikit. Pertanyaannya: dapat darimana sember pendanaannya?
Sebagai anggota WHO, semua negara mempunyai kontribusi wajib yang diberikan kepada WHO dalam bentuk iuran. Namun jumlah kontribusi tersebut nggak signifikan jumlahnya, karena sifatnya sukarela. (https://www.who.int/about/finances-accountability/funding/assessed-contributions/en/)
Lantas siapa pendana jumbonya?
Pendonor jumbo pertama, pada mulanya adalah Amrik dengan dana sekitar 15% dari anggaran tahunan WHO alias USD 400 juta di tahun 2019. Sedangkan pada posisi runner up, ada Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF) yang menyediakan 9,8% dari dana WHO. (https://www.weforum.org/agenda/2020/04/who-funds-world-health-organization-un-coronavirus-pandemic-covid-trump/)
Namun setelah AS membatalkan keanggotaanya dari WHO pada 29 Mei silam, maka otomatis BMGF lah donatur jumbo pada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Bukan itu saja. Sejak tahun 2000 silam, BMGF telah mencurahkan dana sekitar USD 2,4 milyar kepada lembaga kesehatan dunia tersebut, terutama sejak krisis keuangan global di tahun 2008. (https://www.politico.eu/article/bill-gates-who-most-powerful-doctor/)
Apakah sumbangan ini bersifat sukarela alias “Silakan pakai sumbangan kami dan lakukan apapun yang kalian suka”? Tentu tidak Rudolfo, mengingat sebagai pendonor jumbo pasti sarat ‘kepentingan’ didalamnya. Ingat, tidak ada makan siang yang gratis. (https://andrewharmer.org/2018/06/07/whos-funding-who/)
Laurie Garret selaku praktisi untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations mengamini hal tersebut dan mengatakan, “BMGF datang dengan membawa buku cek dan dengan menyodorkan beberapa ide untuk dibahas.” (https://www.politico.eu/article/bill-gates-who-most-powerful-doctor/)
Dengan kata lain, sumbangan tersebut membawa implikasi pada agenda terselubung yang dibawa oleh sang filantropis tersebut. “Prioritas Gates otomatis jadi prioritas WHO,” begitu kurlebnya.
Contohnya?
Saat pemilihan Dirjen WHO di tahun 2017, ada 3 kandidat. Pertama seorang dokter ahli jantung dari Pakistan yang bernama Sania Nishtar. Kedua seorang dokter Inggris mantan utusan khusus PBB untuk Ebola yang bernama David Nabarro. Dan ketiga mantan menkes Ethiopia yang bernama Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Pertanyaannya kenapa lalu Tedros yang terpilih sebagai Dirjen WHO menggantikan Margaret Chan, mengingat Tedros bukanlah seorang dokter? Ya karena ada ‘intervensi’ BG selaku pendana jumbo di tubuh WHO. (https://www.politico.eu/pro/three-candidates-from-three-continents-vie-to-be-next-global-health-chief/)
Setidaknya Sophie Harman selaku associate professor dari Queen Marry University of London mengamini hal tersebut. “Semua kandidat (yang akan dipipih) harus bersekutu dengan dia (BG) dan kamu tidak bisa mengabaikannya.”
Coba anda pikir, apakah dana jumbo yang diberikan kepada WHO bukan dihitung sebagai investasi? Kira-kira bakal celaka nggak kalo ternyata Dirjen WHO yang terpilih bukan orang yang ‘mudah untuik diatur’?
Tentang Tedros saya pernah ulas pada tulisan beberapa bulan yang lalu. (baca disini)
Sebuah sumber LSM yang berbasis di Jenewa bahkan menyebut, “Dia (BG) diperlakukan seperti layaknya seorang kepala negara, tidak hanya di WHO tapi juga di komunitas G20. Dia adalah sosok yang paling berpengaruh dalam kesehatan global.” (https://www.politico.eu/article/bill-gates-who-most-powerful-doctor/)
Itu baru dalam dari segi pemilihan Dirjen WHO. Bagaimana dengan yang lainnya?
Karena merasa punya pengaruh kuat di WHO, maka BG nggak canggung untuk mengambil inisiatif dalam membentuk badan di luar WHO, seperti GAVI (yang menyediakan vaksin dalam jumlah besar) dan juga CEPI (aliansi pengembangan vaksin untuk penyakit menular). (https://www.gatesfoundation.org/TheOptimist/Articles/coronavirus-mark-suzman-funding-announcement-2)
Kenapa badan-badan tersebut perlu dibentuk? Nggak lain untuk memuluskan rencana BG dalam jualan vaksin dan obat-obatan dengan CARA YANG LEGAL.
“Gimana nggak legal, lha wong pake tangan WHO sebagai rekanannya.”
Dengan kata lain, ketimbang membangun sistem kesehatan dunia yang tangguh, sumbangan BMGF lebih condong untuk melancarkan bisnis jualan vaksin dan obat-obatan. Termasuk dalam masa pandemi si Kopit saat ini.
Ini bisa dimungkinkan, karena BG telah lama menjalin hubungan dengan industri farmasi. Kenal Big Pharma dan apa kaitannya dengan BG, kan? Saya banyak ulas tentang hal itu. (baca disini, dan disini)
Akibat sumbangan BMGF tersebut, WHO menjadi sangat tergantung padanya. Kalo sumbangannya untuk kemashlatan umat manusia mah gapapa. Tapi kan agendanya bukan untuk itu.
“Dampak yayasan (BMGF) pada WHO sangat besar. Jika mereka tidak ada disana, jika mereka pergi dengan uang mereka, dampak buruk yang sangat besar akan terjadi, dan semua orang (di WHO) menyadari hal tersebut,” ungkap Garrett selaku Dewan Hubungan Luar Negeri WHO. (https://www.cfr.org/backgrounder/global-health-and-gates-foundation)
Belum lagi, BMGF ternyata diketahui telah menginvestasikan uangnya pada PERUSAHAAN yang BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP KESEHATAN DUNIA, seperti Coca Cola.
“Endowment Trust BMGF sebagai sumber pendapatan yayasan, banyak diinvestasikan pada makanan dan minuman yang dapat memicu penyakit jantung, stroke, kanker dan diabetes,” ungkap Komisi Sekuritas dan Pertukaran AS. (https://www.sec.gov/Archives/edgar/data/1166559/000110465917002579/0001104659-17-002579-index.htm)
Ini jelas bertentangan dengan prinsip umum lembaga kesehatan dunia tersebut. Masa iya mau berantas narkoba, eh duitnya dapat dari bandar narkoba. Apa bisa?
Sampai sini cukup jelas ya, apa peran BG melalui badan-badan kesehatan dunia yang dibentuknya. Jadi jangan heran bila BG tetap ngotot menyediakan vaksin dan obat untuk si Kopit, meskipun itu sebenarnya sangat layak untuk dipertanyakan.
“Emang ente mau, punya investasi terus kagak berkembang?”
Boleh-boleh aja sih, kalo duitnya hasil dari pelihara tuyul.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments