Mengikis Ketimpangan (*Bagian 1)


525

Mengikis Ketimpangan (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 27052025

“Semua yang kita miliki, dalam waktu satu atau dua dekade, akan hilang by system,” ungkap saya pada suatu sesi diskusi.

Mayoritas peserta diskusi yang hadir, langsung protes dengan statement yang saya lontarkan, karena bagi mereka itu nggak bisa dinalar. “Bagaimana mungkin kita akan kehilangan hak atas harta yang sudah kita miliki?” begitu kurleb-nya.

Kalo dipikir-dipikir, apa yang saya katakan, terkadang memang sangat sulit untuk dicerna. Di luar nurul, bahasa keren-nya.

Termasuk soal hilangnya status kepemilikan atas harta yang telah kita miliki.

Ini bukan hal yang baru apalagi tabu untuk dibicarakan. LSM sekelas World Economic Forum (WEF) telah lama mengumandangkan niatan atas rencana mereka bertajuk “Own Nothing and Be Happy”. (https://medium.com/world-economic-forum/welcome-to-2030-i-own-nothing-have-no-privacy-and-life-has-never-been-better-ee2eed62f710)

Ini saja cukup membagongkan: bagaimana mungkin seseorang bisa bahagia tanpa punya apa-apa? Coba anda nggak punya duit, apa mungkin anda bisa bahagia? Uang memang bukan segala-galanya, namun segala-galanya pasti butuh uang, bukan? (baca disini dan disini)

Sekarang mari kita bahas kondisi terkini.

Jika klausul yang dikemukakan WEF bakal terjadi, apa yang bakal terjadi dengan kaum berpunya alias orang-orang kaya?

Satu yang paling mungkin: standar hidup mereka harus ‘diturunkan’ hingga mencapai level kaum tak berpunya alias wong misqueen. Kepemilikan mereka akan dipapas.

Siapa kaum berpunya?

Banyak tentunya. Utamanya masyarakat Barat yang secara strata dikategorikan sebagai Negara Maju (developed countries). Gampang membedakannya: coba anda bandingkan gaji kuli di Planet Namek, sama gaji kuli di Amrik sana.

Kalo disini dibayar syukur-syukur dapat UMR, tapi kalo di Barat sana gaji pemungut sampat setara dengan eselon 2. Terlihat njomplang, bukan?

Bahkan saking murahnya gaji buruh di sini, orang bule sampe gedhek-gedhek. “Dengan gaji segitu kecil, bagaimana bisa hidup sehari-hari?” begitu kurleb-nya. (https://www.merdeka.com/jateng/bule-bule-kaget-dengar-umr-di-indonesia-ternyata-segini-rata-rata-gaji-mereka-di-luar-negeri-5373-mvk.html)

Namun, satu yang mungkin tidak anda sadari, bahwa akhir-akhir ini ada trend penurunan alias krisis ekonomi pada masyarakat Barat.

Berdasarkan indikator, GDP negara-negara G7 (yang terbilang kaya), hanya mencapai 30% angka global di tahun 2024. Angka ini menurun  berdasarkan data statistik. (https://www.statista.com/statistics/1372791/g7-combined-gdp-share-world/)

Sementara itu, potensi GDP yang mungkin dicapai aliansi BRICS di tahun yang sama, justru mencapai 35%. (https://www.statista.com/statistics/1412425/gdp-ppp-share-world-gdp-g7-brics/#:~:text=The%20BRICS%20countries%20overtook%20the,held%20by%20the%20G7%20countries.)

Artinya apa?

Negara-negara Barat mulai kehilangan pengaruh global-nya, dibanding negara-negara pesaingnya di BRICS dalam segi ekonomi.

Kok bisa?

Apa penyebabnya?

Bisa banyak faktor. Tapi yang paling sering dituding sebagai biang kerok-nya adalah kurang harmonisnya hubungan antara AS dan Uni Eropa, akhir-akhir ini. Ada perpecahan antara kedua belah pihak di blok Barat, utamanya saat menanggapi isu perang di Ukraina.

Trump mati-matian menolak memberikan dukungan kembali kepada Zelensky, sementara Uni Eropa tetap pada posisinya mendukung Ukraina. (https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2025/05/20/russia-s-war-of-aggression-against-ukraine-eu-agrees-17th-package-of-sanctions/)

Belum lagi sikap yang diambil AS dalam menormalisasi hubungan dengan Rusia yang mengejutkan para pemimpin di negara-negara Eropa Barat.

Bagaimana mungkin AS ‘berdamai’ dengan Rusia yang selama ini jadi seteru mereka?

Bagaimana gamangnya para pemimpin Eropa Barat (yang selama ini meng-kiblat pada Washington) menanggapi langkah banting setir yang dilakukan AS? (https://www.nbcnews.com/news/world/us-russia-move-normalizing-relations-easing-diplomatic-work-rcna200806)

Tambahan lagi pernyataan yang dikemukakan Menlu AS Rubino yang menegaskan bahwa AS dan Eropa Barat kini telah ‘bertukar tempat’. Jika kini AS mendukung perdamaian, maka sekutunya di Barat justru melanjutkan upaya perang. (https://www.agenzianova.com/en/news/rubio-the-world-upside-down-trump-wants-peace-and-europeans-talk-about-war/)

Nggak hanya itu. Sikap yang diambil AS dibawah Trump juga cukup nyeleneh.

Maksudnya gimana?

Dalam banyak kesempatan, Trump berusaha membangun image sebagai pemimpin Kristen yang menegakkan nilai-nilai kristiani. Salah satunya adalah pernyataan bahwa hanya ada 2 jenis kelamin di dunia ini. (https://www.theguardian.com/us-news/2025/apr/28/trump-evangelicals-christians)

Ini saja kontras dengan pendangan sekutunya di Barat yang terkenal liberal dan memberikan jalan bagi kelompok LGBTQ untuk bisa berkembang.

Ketidak-kompakan antara AS dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat ini saja sudah cukup jadi alasan untuk menjawab kemunduran hubungan kedua-nya.

Kalo hubungan-nya antar mereka nggak baik-baik saja karena visinya sudah beda, bagaimana mungkin mereka bisa mempertahankan hegemoni ekonomi global yang mereka miliki?

Pada bagian selanjutnya kita akan bahas bagaimana ketidaksepahaman ini bakal berujung pada skema own nothing-nya WEF.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!