Menggoyang Tirai Bambu


515

Dibalik setiap kasus besar, pasti ada motif ekonomi dibelakangnya. Diktum ini yang mungkin pas untuk menggambarkan narasi yang kini digembar-gemborkan tentang upaya pemerintah China yang dikabarkan tengah memberangus muslim Uyghur, yang bermukim di daerah Xinjiang Uyghur, China.

Pertanyaan selalu bermula, ada apa di Uyghur?

Xinjiang Uyghur adalah wilayah di China yang kaya sumber daya alamnya. Setidaknya dari minyak saja, Uyghur memberikan kontribusi cadangan minyak terbesar di China. Tercatat 24,7 juta ton total kandungannya, yang berlokasi di lembah Janggar.

Kandungan emasnya, juga nggak kalah mencengangkan. Ditaksir, kandungan emas yang ada di wilayah tersebut nilainya mencapai 127 ton. Nah, kalo tuh angka dikonversi ke dalam Yuan, angkanya mendekati 40 milyar. Dan kalo dikonversi ke dollar AS, nilainya sekitar 6,5 milyar. Angka yang fantastik.

Itu baru 2 sumber daya alam. Tercatat, Uyghur merupakan tempat yang kaya akan SDA premium, yang jumlahnya berdasarkan temuan mencapai sekitar 54 buah. Mungkin kalo mencari perbandingan dengan negara kita, wilayah Papua agak mirip-mirip dengan Uyghur.

Pemerintah China, juga memerlukan Xinjiang Uyghur sebagai pintu penghubung bagi jalur sutra baru (One Belt One Road alias Belt Road Innitiative) yang diinisiasi pemerintah China, untuk menggempur dominasi negeri Paman Sam dalam bidang ekonomi.

Dengan posisinya yang strategis, selain jalur kereta super cepat yang menghubungkan wilayah China dan benua Eropa (Eurasia), proyek strategis serat optik yang kini digarap oleh perusahaan Telecom yang membentang dari Shanghai hingga Frankfurt, juga melewati wilayah ini.

Kebayang, jika semua proyek strategis yang melewati Xinjiang Uyghur berhasil rampung sesuai rencana, maka bisa dipastikan, dominasi ekonomi dunia yang kini dipegang AS akan rontok secara berkala. Dan ini tidak boleh terjadi, mengingat ‘seksi’nya wilayah Xinjiang Uyghur secara geopolitik.

Dan perang asimetrik mau tidak mau dimainkan untuk menghentikan skenario tersebut. Harus terlebih dahulu ada isu yang dimainkan. dan itu adalah muslim Uyghur yang dinarasikan tengah ditindas habis-habisan oleh pemerintah China.

Seakan rejim komunis disana tengah melancarkan perang ideologi untuk memberangus etnis Uyghur yang notabene-nya muslim. Islam tengah ditindas oleh rejim komunis, begitu skenarionya.

Narasi ini tengah dimainkan oleh 3 kanal. Pertama lewat media mainstream, kedua lewat LSM, dan ketiga melalui badan dunia PBB. Siapa konduktor dari oskestra ini? Pemain lama yang hobi mengeksploitasi SDA di suatu negara. Benar, klan Rothschild.

Lewat etnis Uyghur, mereka mencoba mengoyak pemerintah China. “Masa kalian mau ditindas pemerintah China, padahal wilayah kalian kaya SDA?” begitu kira-kira provokasinya. Ditambah sokongan dana dan senjata, etnis Uyghur terinspirasi untuk mengusung gerakan separatisme.

Adalah ETIM alias East Turkestan Islamic Movement yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, akhirnya angkat senjata untuk menuntut pembebasan wilayah yang kaya SDA tersebut dari pemerintah China.

Terbayang jika gerakan separatisme ini berhasil, maka China yang tengah berkonsentrasi menggarap proyek OBOR akan bisa mati gaya, karenanya.

Dapat ditebak, pemerintah China langsung bersikap refresif terhadap gerakan separatisme etnis Uyghur. Padahal ini bukan bicara soal muslim atau non-muslim, tapi lebih pada kedaulatan negara yang tengah dirongrong. Pertanyaanya, etnis Hui yang juga muslim, kenapa tidak ditindas oleh pemerintah China? Kok menindas pakai pilih-pilih?

Dan pemerintah China tentu punya resep jitu untuk menumpas proxy war kepentingan AS yang kini ada di wilayah kedaulatannya.

Menurut analisa saya, upaya menggoyang China lewat isu Uyghur akan sia-sia. Lha, peristiwa Tiananmen saja (1989), untuk menumpas gerakan mahasiswa yang katanya pro-demokrasi (padahal proxy war AS kala itu), pemerintah tak ragu memberondong senapan dan menggilas dengan panser, apalagi etnis Uyghur yang jelas-jelas punya itikad memerdekakan diri?

Dan di Indonesia, pemain gelandang atau sekelas pemandu sorak yang merupakan satu komplotan dengan gerakan separatisme Uyghur, kini tengah sibuk membuat gerakan tagar dengan kode “save-save-an”. Tujuannya sederhana, untuk menggalang dana dan kedua untuk menyatukan kelompok radikalis untuk dapat satu suara pada momen pilpres 2019 nanti.

Begitu kira-kira jalan ceritanya. Jadi jangan mudah terpancing oleh ulah kampret yang selalu dan pasti selalu bergerak dengan alih-alih agama di dalamnya.

Melihat kasus Uyghur, saya jadi bertanya-tanya. China saja yang begitu kuat hegemoninya bisa digoyang, apalagi hanya Indonesia? Mengingat dalang yang sama di kasus Uyghur, kepentingan bisnisnya kini tengah dicabik-cabik oleh seorang tukang kayu.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!