“Pa, hati-hati pulangnya ya,” demikian isi pesan whatsapp pada Jumat (14/9) lalu. Pesan dari istri saya. Pikir saya kok tumben-tumbennya nge-wa saya? Pasal, saya pribadi bukan tipikal orang pada umumnya yang sangat parno terhadap kerumunan massa.
Iseng saya balas pesannya,”Memang ada apa ma?” “Mo ada demo hari ini. Emang gak tahu, apa?” tanyanya. Bingung juga jawabnya. Karena biasanya kalo ada event besar bakal terjadi, pasti saya dikasih tau duluan. entah dari temen wartawan, ataupun teman yang aktif di ormas. Nah ini kok nggak?
Langsung kontak kanan-kiri, akhirnya dapat juga keterangan. Bakal ada demonstrasi di gedung MPR/DPR yang digalang mahasiswa Jumat itu. Apa targetnya? Mengulang sukses 1998 untuk menjatuhkan pemerintah yang legitimate.
Poster yang beredar di dunia maya-pun, dibuat semirip mungkin dengan aksi 1998, dengan tujuan orang akan memanggil ingatannya kembali, bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis multi-dimensi. Sehingga solusinya cuma 1: Pemerintah harus digulingkan…
Tapia pa iya, kondisi sekarang sama dengan 1998?
Kondisi 1998 sangat rumit untuk diurai. Karena disana tumpang tindih kepentingan, yang berujung pada dijungkalnya posisi Soeharto dalam hal ini. Jadi sangat absurb kalo bicara 1998, hanya mahasiswa sebagai faktor penentu jatuhnya rejim Orde Baru. Itu sudah jelas perang asimetrik.
Adalah benar bila dikatakan, pemicu ekskalasi yang lebih besar di 1998, kuncinya ada di mahasiswa. Kebayang nggak jika seandainya 4 mahasiswa kampus Trisakti tidak tewas saat melakukan aksi, apa mungkin reformasi kemudian mendulang sukses?
Soal itu saya sudah banyak mengulasnya. Jadi kalo yang masih ada pertanyaan, yah silakan baca-baca sendiri ulasan saya di blog ini.
Kali ini saya mau ulas tentang tipikal gerakan mahasiswa, di 1998. Terdapat 2 karakteristik kubu mahasiswa saat itu. Satu kubu yang hobinya aksi melulu, atau yang biasa disebut kubu mahasiswa komite aksi.
Sedangkan kubu yang lain adalah yang aktif dilembaga formal kemahasiswaan, utamanya di kampus-kampus negeri. Merekalah yang biasa disebut kubu mahasiswa struktural.
Sejarah mencatat, kubu mahasiswa komite aksi-lah yang sukses menjadi lokomotif perubahan di negeri ini, bukan mahasiswa struktural. Dalam frame 1998, mahasiswa komite aksi terbagi menjadi 2 kubu.
Pertama Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabobetabek atau yang disingkat Forum Kota. Satunya lagi Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta alias FKSMJ. Kedua kubu inilah yang menjadi arsitek pendudukan gedung MPR/DPR sekaligus pressure group untuk Soeharto tumbang.
Tentang organ tersebut, saya nggak mau ngebahas, toh sudah banyak yang mengulas. Yang saya mau paparkan adalah kubu mahasiswa struktural. Siapakah mereka?
Kubu mahasiswa struktural bermain di lembaga resmi utamanya di kampus-kampus negeri. Dari dulu yang bernama Senat Mahasiswa sampai transformasi kini menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa. Nama boleh ganti, tapi pelaku tetap sama. mereka para mahasiswa kader binaan PKS.
Pernah kenal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia alias KAMMI. Nah itulah mereka..
Jangan heran bila petinggi Senat Mahasiswa ataupun BEM, banyak yang menapak jalur politik mereka selepas kuliah lewat jalur PKS. Coba lihat Rama Pratama atau Fahri Hamzah yag dulunya bekas anggota KAMMI. Yah nggak aneh, sebab mereka memang underbow dari PKS.
Rekruitasinya pun terbilang aneh bin ajaib. Ketua BEM bukan saja harus beragama yang sealiran sama mereka, tapi juga harus seideologi dengan mereka. Jengah dengan kondisi ini, makanya akhirnya tercipta kubu mahasiswa komite aksi. “Aspirasi kita nggak pernah digubris sama mereka,” begitu kilahnya.
Jadi jangan heran, bila tingkah politisi PKS begitu rasisnya. Yah karena dari mulai kuliah, pemahaman itu sudah mereka dapat. Semua harus serba seagama dan sealiran. Kalo nggak jangan harap bisa pegang jabatan di kampus, dari mulai ketua badan kemahasiswaan sampai komti alias komandan tim.
Belakangab ada lagi yang namanya Gema Pembebasan. Nah untuk yang satu ini 11-12 sama KAMMI. Mereka juga kelompok yang ekslusif. Bedanya, Gema Pembebasan adalah underbouw dari ormas HTI.
Gema Pembebasan memang terbilang telat munculnya di lingkungan kampus, yaitu sekitar tahun 2004-an, seiring dengan angin kebebasan yang diberikan pemerintah Pepo untuk organisasi ini untuk berkembang. Anggota GP banyak ditemui di kampus Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang, walaupun kini mereka telah menyebar ke banyak kampus.
Pola rekrutasinya juga nggak kalah aneh. Tidak terang-terangan, tapi modusnya bergerilya. “Diajak main dulu ke kos-kosan, kemudian ditanamkan paham-paham khilafah yang tentunya tidak mengakui Indonesia apalagi Pancasila,” demikian papar seorang anggotanya.
Terus apa gunanya saya ngebahas kedua organisasi kemahasiswaan tersebut?
Karena merekalah yang kini aktif turun ke jalan akhir-akhir ini untuk menuntut Jokowi turun dari jabatannya. Yang perlu dicatat, mereka bukan representasi mahasiswa. Jumlah mereka sedikit, namun militan.
Namun satu yang mereka lupa, gerakan mereka terlalu elitis. Jadi jangan harap mereka dapat dukungan rakyat untuk setiap aksi yang mereka gelar. Berbeda jauh karakteristik dengan aksi mahasiswa di 1998 yang non-elitis, dan mendapat banyak dukungan rakyat untuk aksi yang mereka gelar.
Akankah aksi-aksi ini akan menjadi bola salju yang kemudian membesar? We’ll see.. Satu yang perlu diingat, bahwa gerakan ini melipatkan dana yang tidak sedikit. Siapa pendananya, pada lain tulisan akan saya bahas.
“Papa, burusan anter mama belanja ke pasar. Jangan nulis mlulu,” teriak suara merdu di luar sana.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments