Makna Tahun Baru (Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan kita sudah mengulas tentang prinsip interoperabilitas yang memungkinkan data bisa dipertukarkan dengan hadirnya perangkat teknologi digital.
Singkatnya data akan bisa dikenali dan dipertukarkan dengan prinsip pengkodean yang bernama interoperabilitas. (baca disini)
Lantas apa kaitan interoperabilitas dengan penggunaan mata uang digital yang kelak akan diluncurkan dalam waktu dekat atas arahan Bank of International Settlements?
Pernyataan yang diluncurkan World Economic Forum pada Juni 2023 silam, mungkin bisa dijadikan rujukan.
“Bank sentral dapat berupaya menciptakan ekosistem CBDC yang kohesif dan saling berhubungan, dengan cara mengembangkan serangkaian prinsip dan standar yang komprehensif,” begitu kurleb-nya. (https://www3.weforum.org/docs/WEF_Central_Bank_Digital_Currency_Global_Interoperability_Principles_2023.pdf)
Bahasa sederhananya, akan ada sistem perbankan yang memungkinkan penggunaan mata uang digital oleh bank sentral, dimana antara bank sentral yang satu dengan bank sentral lainnya akan saling terkoneksi alias prinsip interoperabilitas.
Dengan kata lain, akan ada koordinasi global dalam penggunaan mata uang digital.
Bayangkan jika kita kelak menggunakan mata uang digital. Apa yang memastikan bahwa mata uang tersebut bisa dikontrol transaksinya?
Ini perlu dipertanyakan karena kontrol digital yang akan jadi tujuan akhirnya.
Jawaban yang paling masuk akal adalah dengan menjalankan skenario kartu identitas digital. Dengan menggunakan digital ID, maka semua transaksi akan bisa dipantau dengan prinisp interoperabilitas.
Makanya, dibanyak negara, proyek integrasi data kependudukan secara digital makin digiatkan, karena adanya proyek digital ID. Termasuk di Planet Namek. (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/22/satu-data-indonesia-untuk-digitalisasi-layanan/)
Dengan hadirnya digital ID, maka semua transaksi yang ‘membahayakan’ bisa dilacak, dari mulai pendanaan terorisme, human trafficking dan perdagangan narkoba hingga judi online. Semua itu akan bisa terlacak secara otomatis.
Apalagi ada program yang menyatakan bahwa identitas digital berencana mengeliminasi kemiskinan dengan cara mendorong terbentuknya inklusivitas sektor keuangan. (https://www.electronicpaymentsinternational.com/comment/the-interconnected-role-of-financial-inclusion-and-digital-identity/)
Dengan semua kebaikan tersebut, siapa yang menolak program ‘mulia’ ini?
Ada benarnya.
Namun orang mungkin lupa.
Di sisi yang lain, siapa yang telah melakukan vaksinasi Kopit atau belum ataupun menolak program yang dicanangkan oleh pemerintah, juga akan terlacak dengan adanya kontrol data digital tersebut. (https://coingape.com/press-releases/proof-of-humanity-to-boot-bad-bots-off-chain-and-digital-identity-for-crypto-to-thrive/)
Tapi orang nggak akan berpikir sampai ke situ, mengingat hanya sisi baik saja yang akan dipromosikan dari penggunaan identitas digital.
Sekelas World Bank bahkan menyatakan, “Prinsip interoperabilitas sangat penting untuk mengembangkan ekosistem identitas yang efisien, berkelanjutan dan tentu saja berguna bagi umat manusia.” (https://id4d.worldbank.org/guide/interoperability)
Dengan demikian, identitas digital akan dikembangkan bukan saja untuk konsumsi nasional, tapi bersifat lintas batas antar negara yang akan terkoneksi secara global. Dan ini bisa berjalan karena adanya prinsip interoperabilitas tadi. (https://mobileidworld.com/nordic-baltic-ministers-to-push-for-cross-border-digital-id-interoperability/)
Jika ini berjalan, maka semua transaksi keuangan, kesehatan hingga pergerakan semua orang, akan bisa dikontrol secara digital.
Dan ini nggak perlu pemerintahan tunggal global dalam bentuk formal. Pemerintah akan tetap ada seperti sediakala, hanya saja fungsi mereka bukan lagi menjadi faktor penentu kebijakan, melainkan hanya sebagai eksekutor kebijakan yang sejatinya bukan mereka rancang.
Bagaimana skenario ini bisa berjalan?
Perubahan iklim-lah yang bisa jadi pintu masuknya.
Dengan adanya narasi perubahan iklim, maka digambarkan bahwa negara-negara dibuat tidak berdaya untuk menanggulanginya. “Manusia nggak cukup mampu untuk memerangi perubahan iklim,” demikian kurleb-nya. (https://www.theguardian.com/science/2010/mar/29/james-lovelock-climate-change)
Karena dianggap inkompeten dalam mengatasi perubahan iklim, maka harus ada kerjasama antar negara dibawah naungan otoritas global untuk menanggulanginya.
Dengan adanya kerjasama ini, maka konsekuensinya, setiap negara yang terlibat kerjasama harus mau melepaskan kedaulatannya. (https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2021-11-03/climate-change-will-kill-national-sovereignty-as-we-ve-known-it-since-1648?leadSource=uverify%20wall)
Kok bisa melepas kedaulatannya?
Karena kalo ada kebijakan yang bersifat global yang muncul dari kerjasama antar negara (dalam rangka memerangi perubahan iklim), maka setiap anggota otomatis ‘dipaksa’ mematuhi keputusan yang telah dibuat bersama, meskipun harus mengorbankan kedaulatan dan kebijakan nasionalnya sekalipun.
Contoh yang paling sederhana adalah pertemuan COP (Conference of the Parties) yang digelar saban tahun atas prakarsa United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Adakah negara yang terlibat dalam kerjasama itu kemudian menegasikan keputusan yang telah dibuat bersama?
Misalnya, hasil keputusan COP mensyaratkan bahwa setiap negara diharuskan untuk tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil karena dinilai memicu pemanasan global. Adakah yang berani menolak keputusan tersebut? Ini terlalu retorik untuk ditanyakan.
Kalo bisa diringkas, maka skenario perubahan iklim digelar bukan saja untuk membuka jalan bagi identitas digital dan mata uang digital, melainkan untuk menyasar 2 sisi penting yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian global, yaitu energi dan transportasi.
Mungkinkah tatanan dunia saat ini akan bisa bertahan jika sektor energi dan transportasi yang menjadi penunjangnya selama ini, kemudian dikebiri?
Kejatuhan status quo sudah terpampang di depan mata.
Percayalah, bahwa narasi perubahan iklim ini akan merembet kemana-mana, mulai dari kesehatan, keuangan, perdagangan, pendidikan, hingga penerapan pajak karbon.
Nggak akan pernah ada pemerintahan global. Cukup stakeholder sekelas panel perubahan iklim PBB, maka semua negara bisa diatur sesuai ‘pesanan’.
Dan sebuah panel sekelas UNFCCC bukanlah pemerintahan tunggal global karena mereka tidak memiliki kekuasaan legislatif.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Dulu sya kira beneran pak soal iklim eh ternyata emang bener tipuan. Pantesan sekelas Trump menentang “iklim” dengan berkata soal iklim berbau politis