“Kami (KPK) tidak dilibatkan lagi dalam menyusun kabinet kerja jilid II oleh pemerintah mendatang,” demikian ungkap seorang pejabat KPK pada suatu forum diskusi yang dihadiri para pegiat LSM.
Aksi ini, lantas mendapatkan respon cepat dari pihak istana. Adalah Ngabalin selaku orang istana yang kemudian memberikan klarifikasi. Kenapa perlu diklarifikasi?
Karena dragon-dragon’nya ada upaya untuk menggiring opini publik yang dilakukan pihak KPK, bahwa seolah-olah, presiden nggak lagi bebas kepentingan dalam memilih calon menterinya.
Aliasnya, kalo mau memilih menteri yang bebas dari masalah korupsi, kenapa nggak melibatkan KPK? Begitu kurleb framing yang dimainkan.
Memang ada kewajiban dari seorang presiden bahwa dalam memilih calon menteri, maka dia harus melibatkan KPK?
“Tidak ada aturan undang-undangnya,” demikian papar Ngabalin. “Lagian kalo mau diajak diskusi tentang seleksi calon menteri, yah ngomong kesana (Jokowi), bukan malah berteriak ke NGO-NGO,” tambahnya (16/10).
Dan situasi jelang pelantikan dan pengumuman postur menteri Kabinet Kerja jilid II pun kembali memanas.
Kasus renggangnya hubungan antara istana dan KPK, dipicu oleh aksi RUU KPK yang kemudian mendapat pengesahan dari pihak pemerintah. Klimaksnya adalah saat pimpinan KPK membuat sebuah pernyataan menyerahkan kembali mandat tugasnya kepada presiden Jokowi, tempo hari.
Tentang kasus ini, saya telah membahasnya dengan gamblang (baca disini).
Ada beberapa alasan sebenarnya, mengapa seorang presiden nggak perlu lagi melibatkan KPK dalam menyeleksi calon menterinya.
Pertama, seperti kata Ngabalin tadi bahwa nggak ada keharusan atau undang-undang yang mengamanatkan hal tersebut.
Kalo pada masa kepemimpinan yang pertama, wajar jika Jokowi melibatkan lembaga anti rasuah tersebut dalam memilih menteri. Semata-mata karena nggak mau beli kucing dalam karung.
Dalam periode kedua kepemimpinannya, masa iya seorang Jokowi masih nggak tahu model orang yang bisa kerja kek gimana? Atau mungkinkah seorang mantan koruptor dijadiin menteri?
Kedua, menyangkut efektivitas. Dalam masa pertama kepemimpinannya, Tercatat pelibatkan KPK dalam menyeleksi calon menteri, terbukti nggak ngefek. Apa tolok ukurnya? Ada 2 orang menteri yang kemudian terciduk KPK. Ada Idrus Marham dan juga Imam Nahrawi. Padahal sudah ada rekomendasi KPK.
Pertanyaannya: masih efektif-kah pelibatkan KPK dalam penyusunan postur kabinet? Udah diseleksi, tapi tetap aja korupsi jalan terus. Kenapa? Karena korupsi itu bicara mentalitas alias karakter dan bukan semata-mata rekam jejaknya.
Lagian, ditengah situasi yang memanas, akan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya kalau pemerintah masih ngotot mengundang KPK dalam menyusun postur kabinet. Padahal Jokowi sudah menyatakan jauh-jauh hari bahwa komposisi parpol dan professional dalam kabinet sekitar 45% : 55%.
Udah susah-susah nyusun komposisi, terus dicorat-coret sama KPK, kebayang nggak gimana kacaunya? Emang dipikir nyusun kabinet sama aja dengan nyusun pengurus RT?
Lebih jauh lagi, lha yang jadi presiden siapa, kok malah situ yang ribut bin baper?
Daripada memicu polemik, mendingan nggak usah diajak aja! That’s it!!
Jadilah kasus ini terus digoreng-goreng kesana kemari. Seolah-olah presiden mau memilih menteri yang nggak bebas kepentingan. Seolah-olah, calon menterinya bakalan bermasalah dengan korupsi ke depannya karena nggak melibatkan KPK. Dan masih banyak fantasi liar lainnya…
Saya analisa, bahwa ke depannya akan ada aksi-aksi yang bisa menyulut suasana makin panas. Karena apa? Pihak opisisi yang berencana menyorong gabener untuk maju di 2022 dan 2024, akan terus mati-matian mempertahankan status quo, dimana nggak boleh ada Dewan Pengawas dalam tubuh KPK.
Jika ada fungsi Dewan Pengawas, maka akan mati suri-lah rencana matang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Bisa-bisa sang gabener pujaan ummat 212 kemudian terciduk oleh lembaga anti rasuah tersebut, gegara DP bekerja lewat prosedur yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Padahal, lewat nalar saja kita bisa bicara, “Mungkin nggak sih, gelondongan bambu harganya 500-an jeti?” Bisa aja sih, kalo belinya impor dari Republik Wakanda.
Anyway, akan kita lihat siapa yang lebih cerdik dalam mengatasi konflik, sang tukang kayu atau kubu KPK?
Sekedar gambaran, kalo aksi 212 yang berencana mengkudeta sang tukang kayu saja belakangan bisa digagalkan, apalagi cuma sekelas KPK yang hanya bisa mengandalkan gerakan mahasewa?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments