Konflik di Tanduk Afrika
Masih ingat saat saya membahas potensi konflik di Ethiopia pada November 2020 silam? Kali ini situasinya makin ‘panas’ di wilayah Tanduk Afrika tersebut. (baca disini)
Bahkan sekelas BBC, belakangan ‘mendukung’ analisa saya bahwa potensi genosida dan kelaparan tengah mengintai disana. (https://www.bbc.com/news/world-africa-57226551)
Kenapa ini bisa terjadi?
Seperti yang kita ketahui, bahwa AS dan sekutunya mulai menaikan ‘tekanan’ pada Ethiopia, terutama sejak PM. Abiy Ahmed melakukan operasi militer di wilayah Tigray yang sempat memberontak pada November 2020 silam. (https://www.reuters.com/article/us-ethiopia-conflict-idUSKBN28809E)
Situasi ini dapat berlangsung saat Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) putus kongsi dengan pemerintahan Abiy. Padahal kekuatan militer TPLF lumayan mumpuni di Ethiopia sana. Akibatnya TPLF langsung dicap sebagai kelompok teroris oleh pemerintahan Abiy. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-05-06/ethiopia-declares-tigray-oromia-groups-terrorist-organizations)
Aksi TPLF dipicu oleh ambisi Abiy dalam menggelar reformasi sosial-ekonomi di Ethiopia selain ketidaksukaan pada langkah politis yang diambil oleh Abiy dalam mengakhiri konflik dengan Eritrea yang telah berlangsung selama 3 dekade. (https://www.nytimes.com/2020/11/05/world/africa/ethiopia-tigray-conflict-explained.html)
Sejak itu, konflik kian menajam di Ethiopia. Dan belakangan AS dan sekutunya mulai menuduh bahwa Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia (ENDF) melakukan kejahatan perang atas wilayah Tigray dan memicu kelaparan pada penduduk di wilayah tersebut. (https://time.com/6076167/famine-tigray/)
Belakangan, sanksipun dijatuhkan AS pada Ethiopia. (https://www.ft.com/content/c9644a7a-047c-4e2f-92af-061edffbed83)
Nggak cukup sampai disitu.
Mesir juga turut andil dalam konflik di Ethiopia lewat Liga Arab. “Addis Ababa telah mempersenjatai Sungai Nil karena ingin mengisi Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD),” demikian tudingannya. (https://www.aljazeera.com/news/2021/6/16/ethiopia-rejects-arab-league-resolution-on-renaissance-dam)
Kalo ini dibiarkan, bisa-bisa Mesir punya masalah dengan air bagi wilayahnya. (https://www.atlanticcouncil.org/blogs/menasource/egypt-has-a-water-problem-and-no-its-not-only-the-gerd/)
Makanya, Mesir menarik Liga Arab untuk meminta Dewan Keamanan PBB segera campur tangan dalam mengatasi konflik di Ethiopia.
Sialnya, Ethiopia malah punya prinsip bahwa hanya Uni Afrika-lah yang bisa menjadi penengah terhadap konflik di negaranya, dan bukan DK PBB seperti yang diusulkan Mesir.
Dan China langsung menyokong proposal tersebut. “Kami menentang campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Ethiopia,” ungkap Wang Yi selaku Menlu China. (http://ie.china-embassy.org/eng/zgxw/t1883093.htm)
Dalam konteks geopolitik, bagaimana melihat kondisi yang ada di Ethiopia?
Turut campurnya AS dan sekutunya pada konflik di Ethiopia, nggak lain dalam upaya membendung ‘kepentingan’ China pada wilayah Tanduk Afrika tersebut. Nggak aneh jika kekuatan proxy mulai dikerahkan dalam memuluskan rencana tersebut.
Termasuk pakai tangan Mesir yang meminta DK PBB untuk turun tangan. Bukankah memang Mesir menjadi sekodan AS belakangan ini? (https://www.washingtoninstitute.org/pdf/view/10014/en)
Lalu bagaimana peran China?
Asal tahu saja, bahwa sejak berakhirnya perang saudara di Ethiopia pada 1991 silam, paradigma pembangunan yang ada di negara tersebut sangat dipengaruhi oleh Tiongkok. Ini bisa terjadi karena China adalah mitra perdagangan dan investor utama di Ethiopia. (http://www.xinhuanet.com/english/2019-12/28/c_138662189.htm)
Apalagi semenjak Belt and Road Initiative diluncurkan oleh Xi Jinping.
China makin gencar membantu Ethiopia dalam membangun jalur kereta api Addis Ababa – Djibouti. Proyek ini digelar sebelum pandemi. Jadi kalo Ethiopia berhasil menjadi negara dengan tingkat perekonomian termaju di Afrika, ya itu salah satu katalisatornya. (https://www.weforum.org/agenda/2018/05/ethiopia-africa-fastest-growing-economy/)
Jadi win-win solution bagi kedua negara. China mendapatkan ‘kue’ yang ada di Ethiopia, sebaliknya Ethiopia mendapatkan porsi untuk mengembangkan infrastuktur negaranya yang sangat dibutuhkan dalam menggenjot perekonomian. (http://www.xinhuanet.com/english/2020-01/29/c_138741928.htm)
Dan sikap yang diambil Abiy dalam memperat hubungan kedua negara, jelas nggak kasih space AS dan sekutunya untuk bisa ‘bermain’ di Ethiopia.
Jika ini dibiarkan, bukan nggak mungkin negara terpadat kedua di Afrika bakalan mengalami konflik perang saudara berkepanjangan akibat penggunaan proxy dalam menggoyang kepemimpinan Abiy Ahmed.
Akankah seorang Abiy cukup mumpuni dalam melawan skenario Barat dengan hanya mengandalkan tangan Tiongkok?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments