“Liat tuh bong, berapa juta orang yang kumpul di GBK pada hari Minggu kemarin. Mereka berkumpul karena ingin mengganti Jokodok. Ngerti apa kagak, bong,” begitu bunyi cuitan yang beredar pada laman twitter (7/4).
Berkumpulnya massa dalam jumlah besar, pasti menarik untuk dicermati. Mengapa? Karena ini bisa jadi pertanda banyaknya orang yang memiliki kesamaan ide dan menginginkan sesuatu pastinya.
Merujuk pada asumsi ini, maka wajar para kampret menjadi jumawa atas berkumpulnya lautan massa di GBK. Kesimpulannya mereka sederhana: rakyat menghendaki pergantian tampuk kepemimpinan nasional. Pertanyaannya: apa iya?
Begini ya… Massa alias orang berkumpul, dapat dibedakan atas 2 jenis. Pertama adalah massa solid, dan kedua massa cair.
Massa solid adalah massa militan yang bersedia melakukan apapun demi memenangkan kelompoknya. Jadi mereka available kapanpun, tak kala kelompok mereka membutuhkan kehadiran mereka.
Nah, kelompok kampret yang bersedia menginap di GBK dan datang dari berbagai daerah pada Minggu kemarin, tak lain adalah massa solid. Merekalah kader, simpatisan maupun relawan yang bergerak demi satu tujuan. Paslon yang mereka gadang, akan bisa memenangkan kontestasi pilpres 2019.
Terus, massa cair-nya dimana? Massa cair adalah massa yang bisa dilibatkan pada suatu aksi, karena kesamaan isu yang diusung. Pada demo 212 saat gelaran pilkada DKI 2017, disanalah massa cair berkumpul. Mereka bukan kader, simpatisan apalagi relawan. Namun mereka bergerak bersama para kampret karena kesamaan isu. Mereka nggak mau keyakinannya ‘dinista’.
Berdasarkan sasus, massa cair aksi 212 kebanyakan adalah kaum Nadliyin. Masuk akal, karena mereka bergerak karena kesamaan isu, bukan karena mereka terikat sebagai massa solid. Jumlah merekalah yang sebenarnya merupakan kontribusi terbesar lautan massa 212.
Tapi saat polarisasi terjadi antara kelompok kampret yang mengusung Khilafah dengan kaum sarungan yang nasionalis, praktis jumlah peserta aksi kelompok Monaslimin dan Monaslimat jauh berkurang dengan absennya kelompok abangan tersebut. “Udah nggak semeriah dulu, aksinya,” demikian keluh para kampreters.
Sadar karena peserta aksinya mulai menyurut, klaim psikologis segera dimainkan. Jangan aneh bila kampret mengklaim setiap aksi massa yang mereka gelar, selalu sukses dan dihadiri oleh jutaan massa. Tak terkecuali kampanye akbar paslon 02 di GBK, Minggu kemarin. Seperti biasa, klaim jutaan pun dilontarkan.
Padahal merujuk pada fakta di lapangan, luas zona maksimal GBK adalah 80.640,52 meter2. Dengan asumsi ada 7 orang empet-empetan yang mengisi luas per meter persegi-nya, maka paling pol Stadion Utama GBK serta jalanan yang melingkarinya hanya mampu menampung 642.486 orang. Itupun sudah ditambahkan jumlah kursi yang ada di dalamnya sebanyak 78ribu.
Aliasnya klaim jutaan yang didengung-dengungkan para kampret adalah klaim kosong semata.
Cukup? Aksinya-pun tak kalah memicu polemik.
Pertama, materi kampanye akbar-nya yang hanya menampilkan politik identitas semata. Tidak ada keberagaman disana yang merupakan ciri khas ke-Indonesiaan. Semua acara dikemas, serba yang berbau surga dengan dagangan Khilafah khas mereka.
Sampai tokoh sekelas Pepo-pun dibuat terusik dengan kampanye akbar ala kampret tersebut. “Pemilihan presiden yang segera akan dilakukan ini adalah untuk memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin kita semua. Karenanya,…mindset kita haruslah tetap ‘Semua Untuk Semua’,” demikian isi curhatan sang Pepo.
Kenapa Pepo terusik? Karena narasi kampanye-nya bersifat feodal. Tidak ada bau Indonesia disana. Ini pilpres di Indonesia apa di Saudi? Kebayang jika kelak paslon 02 meraih kemenangan, mungkinkah keberagaman bisa diwujudkan di Indonesia? Yang bokir….
Mungkin karena alasan itulah, AHY urung menghadiri acara kampanye akbar tersebut. “Nggak usah hadir disana nak, karena kamu bukan kampret,” begitu kurang lebih arahannya.
Kedua yang nggak kalah set, adalah aksi sholat berjamaah, dimana laki-laki dan perempuan berada pada satu shaf yang sama.
Merujuk pada Syeikh Musthafa Dib Bugha dalam Fiqhul Manhaji: “Bila di belakang imam ada banyak laki-laki dan perempuan, maka laki-laki berdiri di samping imam, di belakangnya perempuan.”
Hadis ini merupakan aturan ideal shaf laki-laki dan perempuan, bahwa yang lebih sunah adalah shaf wanita berada di belakang pria. Semakin jauh dari lelaki, maka semakin baik.
Terus bagaimana kondisi shaf campur bisa terjadi?
Saat kondisi darurat. Misalnya saat kondisi perang atau bencana, yang nggak memungkinkan aturan tersebut diterapkan. “Lha emang situasi di GBK Minggu kemarin, sama dengan kondisi perang atau darurat bencana?”
Hari pencoblosan hanya tinggal bersisa beberapa hari lagi. Namun aroma panasnya mulai menunjukkan eksistensinya. Percayalah, bahwa banyak manuver yang akan digelar jelang hari H. Bagi saya pribadi, klaim kosong tak lain adalah pernyataan kalah sebelum bertanding.
“Mereka (kampret), nggak banyak jumlahnya tapi militan. Disinilah militansi cebongers diperlukan untuk menjawab siapa pemenang sesungguhnya pada kontestasi pilpres 2019,” demikian ungkap temanku.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments