Oleh: Ndaru Anugerah
Berawal dari unggahan seorang netizzen di jejaring Twitter (22/11) tentang larangan pemberian ucapan Natal pada kue buatannya, maka kasus Tous Les Jours mendadak viral.
Inti pengumumannya adalah bahwa TLJ tidak memperbolehkan tulisan berisi ucapan selamat hari raya agama lain seperti Natal dan Imlek. Lebih jauh lagi, TLJ juga tidak membuat ucapan selamat pada hari Halloween dan Valentine pada gerai makanan miliknya. Setidaknya di Pacific Place.
Mencium berbau SARA, maka ramai-ramai netizen khas negeri ber-flower ini langsung bereaksi dengan sengit. Dari mulai makian, hujatan hingga seruan boikot-pun bermunculan. Dan puncaknya beredar video emak-emak yang maki-maki outlet TLJ dengan pesan boikot diakhir tayangan.
Otomatis, pihak TLJ sibuk kasih klarifikasi kiri kanan. Pihak manajemen mengakui ‘kecolongan’ dari dalam dan mengklaim sudah memberikan sanksi disiplin pada pihak yang sengaja memasang selebaran beraroma intoleran tersebut.
“Tapi itu bukan kehendak manajemen kami,” pungkasnya. Nah terus siapa dong yang sebenarnya berkepentingan untuk picu keributan alih-alih ingin mendapatkan sertifikasi halal?
Sertifikasi halal adalah hal yang sifatnya tidak mengikat. Kalo perlu dicantumkan, ya silakan. Kalo nggak pun, ya gapapa juga. Selama produsen mencantumkan dalam produknya status kehalalan atau ketidak-halalannya, itu sah-sah saja. Jadi bukan pemaksaan alias sukarela.
Ini wajar dilakukan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Jadi semacam perlindungan konsumen.
Selain itu, sertifikasi ini juga sekaligus memiliki kekuatan hukum. Artinya, kalo ada pihak yang menyebarkan berita bohong bahwa produk yang anda jual haram, disisi yang lain anda sudah mengantongi sertifikasi halal, maka anda bisa menuntut secara hukum pihak tersebut.
Sertifikasi ini mempunyai payung hukum yaitu UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang diteken oleh Pepo di akhir masa kepemimpinannya. Sebagai implikasinya, 5 tahun sejak diundangankan, maka UU tersebut harus dijalankan. Tahun 2019 inilah saatnya UU tersebut resmi berlaku.
Masalahnya, MUI lewat LPPOM-nya yang semustinya menyelenggarakan sertifikasi, kini kewenangannya diambil oleh pemerintah berdasarkan UU JPH tersebut. Adalah Kementerian Agama yang kini bertanggungjawab bukan lagi MUI.
Apakah proses ini berjalan mulus? Tidak semudah itu Rudolfo…
Pihak Ombudsman sendiri menyatakan perlunya masa transisi, mengingat kesiapan Kemenag belum optimal untuk penyelenggaraan serentak di 28 provinsi di Indonesia. “Aturan teknis-nya belum terbit,” begitu penjelasan singkatnya.
Untuk mengisi kekosongan, otomatis pihak MUI-lah yang tetap ambil alih di lapangan tentang proses sertifikasi tersebut.
Selain itu, pihak MUI ngotot untuk tetap memegang kendali atas proses sertifikasi tersebut. Karenanya mereka melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi menyoal UU No.33/2014 tersebut.
Kok ngotot? Karena ada udang dibalik rengginang..
Untuk mendapatkan sertifikasi halal, bukan hal yang mudah. Persyaratan halal dari mulai produksi, penyimpanan hingga pemasaran, semua harus memenuhi syariat Islam.
Dan ini belum cukup. Para pemburu sertifikat juga harus melengkapi syarat administrasi berupa uang. Berapa biayanya? Ada kriteria yang telah ditetapkan, yaitu: ukuran perusahaan, kerumitan proses, banyaknya produk, jumlah bahan baku, serta jumlah pabrik atau outlet untuk restoran.
Berdasarkan hala tersebut, maka diklasifikasilah suatu badan usaha. Ada level A untuk industri besar, level B untuk industri kecil dan juga level C untuk industri rumahan. Levelisasi ini akan berdampak pada jumlah uang yang akan dikeluarkan.
Level A setidaknya menyediakan uang 2-3,5 juta. Level B sejumlah 1,5-2 juta. Dan level C setidaknya menyiapkan 1 juta rupiah. Dan ini hanya berlaku 2 tahun. Sekilas uangnya nggak terlalu besar. Tapi setelah ditelisik, berapa jumlah produk halal yang sudah disertifikasi? Ada sekitar 204.222 banyaknya.
Kalo dikalkulasi, let’s say pukul rata 2 juta saja untuk tiap produk, maka uang yang didapatkan MUI per 2 tahun setidaknya 400an milyar. Angka yang aduhai. Masalahnya, uang yang didapatkan selama bertahun-tahun tersebut, apa sudah ada transparansi publiknya?
Sampai sini, klir ya..
Kembali ke laptop….
Siapa yang paling berkepentingan terhadap hebohnya kasus ini? Kaum kadal gurun-lah yang paling punya kepentingan. Masih ingat kasus Chocolicious yang sempat heboh di Desember 2017 yang lalu, gegara outlet mereka menolak permintaan klien untuk menuliskan selamat Natal di kue tart pesanannya?
Mirip dengan kasus ini, kelompok yang sama-lah yang ditenggarai tengah bermain. Tambahan lagi ini mirip dejavu, kok selalu ramai di tiap momen menjelang natalan.
“Sebab TLJ itu franchise dari Korsel. Investornya di Indonesia adalah Taipan papan atas yang menjadi penyumbang JOMIN saat gelaran pilpres yang lalu. Jadi nggak mungkin pihak investor yang punya keinginan buat keributan. Paling mungkin, pihak manajemen kecolongan dengan staf-nya,” demikian ungkap seorang narsum.
Terlepas dari kecolongan atau tidaknya, belajar dari kasus ini sudah seharusnya pemerintah dengan cepat mengambil alih proses sertifikasi halal biar nggak menimbulkan polemik kewenangan di masyarakat. Aturan teknis harus secepatnya dibuat.
Buat TLJ, yah enjoy the show aja. Sebab setahu saya, kalo emak-emak rempong sudah turun gunung, kasus yang sederhana bakalan jadi ruwet. Bukalapak sudah membuktikannya. Percayalah…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments