“Jokowi tunjuk Luhut sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi,” begitu pesan tautan yang dikirim oleh seorang teman diujung sana. Pesannya hanya mengingatkan saya, bahwa analisa saya meleset soal rencana tidak dipasangnya kembali LBP pada Kabinet Indonesia Maju.
Kalo diakui salah menganalisa, memang saya akui hal tersebut. Cuma ada kisah dibalik kisah yang sebenarnya malas juga untuk mengulasnya. Tapi karena dipaksa, terpaksa saya akan mengungkap alasan gagalnya rencana awal untuk tidak memasang LBP di kepemimpina Jokowi yang kedua.
Kita mulai, ya…
Sebenarnya ini kasus mirip pencalonan Mahfud MD yang gagal dipasangkan oleh Jokowi saat paslon bakal diusung parpol menjelang gelaran pilpres 2019. Saya kebetulan dapat bocoran, kalo awalnya Mahfud bakalan disandingkan dengan pakde. Dan ini nggak main-main. Udah ukur baju segala, bray.
Namun ada faktor X seperti yang pernah saya ulas (baca disini), yang kemudian menggagalkan skenario utama tersebut. Nggak hanya saya, banyak yang kecele kemudian. Karena memang bukan seperti itu jalan ceritanya semula bakal digelar.
Kasus terpilihnya LBP sebenarnya buntut ricuhnya Susi dengan dirinya. Selaku Menko, LBP merasa banyak kewenangan dirinya yang dipotong kompas oleh seorang menteri bertato, tersebut. Banyak kasus, dan saya malas untuk mengulasnya.
Dan puncak perseteruannya adalah saat seorang Susi, menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 ini diteken tanggal 4 Oktober 2019, terhadap pembekuan proyek reklamasi Tanjung Benoa di Bali.
Awalnya Jokowi akan tetap mempertahankan Susi, mengingat image ‘tenggelamkan’ yang sudah demikian melekat pada diri Susi dan ini boleh dipandang sebagai keberhasilan kerjanya. Namun. Susi kemudian mengambil langkah offside, dengan mengeluarkan keputusan strategis menjelang akhir masa jabatannya.
Sah-sah saja sih, kalo nggak dilakukan di last minute. Masalahnya, Jokowi pernah keluarkan instruksi berupa larangan bagi setiap menteri untuk membuat keputusan apapun menjelang masa jabatannya berakhir. Tak terkecuali seorang Susi.
Bagi Jokowi, langkah yang diambil Susi dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap seorang atasan. “Gimana bisa sinergis, lha wong sama atasan saja mbalelo,” demikian pikir sang tukang kayu. Singkat cerita nama Susi, dihapus dari daftar nama calon pembantu presiden.
Apa karena semata-mata mengeluarkan SK, maka nasib Susi diujung tanduk?
Nggak sesederhana itu juga. Karena proyek reklamasi Tanjung Benoa merupakan proyek strategis yang tentu saja melibatkan dana lumayan gede. Rp. 30 trilyun budget-nya. Dan siapa yang punya kepentingan atas proyek tersebut? PT. Tirta Wahana Bali Internasional. Siapa yang punya?
Taipan tajir mlintir di Indonesia yang bernama TW. Paling tidak, Yayasan AG Network yang mengkonfirmasi hal tersebut.
Kalo sudah menyangkut TW bakalan ribet. Terpaksa saya buka, bahwa dana pilpres dari kubu JOMIN, salah satu pengumbang terbesarnya adalah TW. Pertanyaan sederhana, apa mungkin pengusaha menyumbang dana kampanye dalam jumlah wow atas prinsip ikhlas lahir batin?
Dengan kata lain, akan ada yang namanya take and give. “Gue nyumbang berapa, dapatnya apa.” Begitulah kurang lebih hukum lisan yang berlaku. Jadi saat nanti paslon yang telah disumbang menang, bakalan diminta janji yang tidak tertulis tadi. Dan itu lumrah…
Dan sebagai bocoran, proyek reklamasi Tanjung Benoa adalah proyek besar yang dibesut oleh taipan kawakan di Indonesia tersebut. Kasarnya, jangan coba ganggu proyek tersebut. Dan LBP selaku pihak yang cukup dekat dengan pakde, sudah beberapa kali kasih statement tersebut.
“Jangan usik-usik proyek tersebut,” begitu pesan tersiratnya.
Sayangnya Susi nggak menggubris hal tersebut, dan justru mengeluarkan SK. Dan parahnya SK meluncur saat waktu pertandingan (sudah) menjelang berakhir.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa proyek tersebut mati-matian digagalkan oleh seorang Susi? Apakah proyek bermasalah?
Pada awalnya sebelum berencana menggarap proyek raksasa tersebut, PT TWBI meminta AMDAL dilakukan pada daerah tersebut. Pihak Universitas Udayana-lah yang kemudian ditunjuk untuk melakukan kajiannya.
Singkat cerita, studi kelayakan yang menyangkut 4 hal, yaitu: teknis, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi finansial, menyatakan bahwa proyek reklamasi TB tersebut nggak mendapatkan rekomendasi karena akan bermasalah dengan lingkungan sekitarnya, kalo seandainya digelar.
Pusinglah pihak TWBI menanggapi hasil amdal dari pihak UNUD tersebut. Padahal rencananya lahan seluas 838 hektar tersebut akan dijadikan hunian terpadu, lengkap dengan fasilitas hiburan dan infrastrukturnya. Yah, mirip-mirip Sentosa Island di Singapura, lah.
Sejak itu, rencana reklamasi jadi polemik yang nggak berkesudahan. Terjadi penolakan kanan kiri. Dan puncaknya, SK dari Susi yang kemudian menegaskan bahwa proyek tersebut bakal dibatalkan, makin membuat pihak TWBI meradang.
Nggak ada hal lain yang bisa dibuat, kecuali menganulir SK tersebut lewat seorang menko. Dan wewenang tersebut terpaksa diberikan kepada seorang LBP.
Apa alasan pakde yang pada awalnya tidak memasang LBP pada postur kabinetnya?
Karena tahu akan ada konflik kepentingan dengan Prabowo yang sudah jelas mendapatkan jatah menteri berdasarkan politik nasgor ala mama Mega.
Dengan hadirnya Om Wowo dan LBP pada satu perahu, sama saja dengan menaruh kucing dan anjing pada satu kandang. Dan pakde sangat sadar akan hal itu. Pada lain tulisan saya akan mengulasnya.
Namun apa lacur, buah simalakama-pun harus diambil pakde, walaupun sulit untuk ditelannya.
So, brother…ini mungkin jawaban singkat dari seorang teman. Maafkan kalo daku salah dalam menganalisa ya, jangan sewot. Yah namanya aja orang dan bukan Tuhan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments