Ketika Tak Ada Lagi Jalan


518

Menarik untuk mengikuti gejolak yang terjadi di Venezuela. Apa yang terjadi disana, saya telah banyak mengulasnya. Namun bagaimana ending-nya, banyak yang menanyakan kepada saya. “Bagaimana nasib Venezuela ke depannya? Apakah Maduro akan tunduk pada tekanan AS?”

Lewat tulisan ini saya akan mengupasnya.

Awalnya Venezuela adalah negara kaya minyak di kawasan selatan, Amerika. Tercatat sekitar 95% keuntungan minyak negara tersebut masuk sebagai kas negara. Ini artinya, semakin tinggi harga minyak dunia, maka akan semakin kaya juga negara Venezuela.

Dengan pemasukan dari hasil jualan minyak tersebut, almarhum presiden Hugo Chavez semasa berkuasa menggunakannya untuk membiayai sejumlah program sosial guna mengurangi ketimpangan antara kaum kaya dan miskin di negara tersebut. Dari mulai program beasiswa sekolah sampai pembangunan perumahan bagi kaum papa hingga kenaikan upah.

Wajar dilakukan, karena ideologi yang diusung Chavez adalah sosialisme. Program-program populis yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat kelas bawah, sangat menyentuh mayoritas masyarakat Venezuela. Tak aneh bila Chavez dipuja bak dewa penyelemat di Venezuela.

Seiring berjalannya waktu, harga minyak anjlok pada tahun 2014. Akibatnya pemerintah Venzuela yang dipimpin Maduro dihadapkan pada masalah pembiayaan sejumlah program sosial tersebut. Dapat uang dari mana? Belum lagi dari bahan kebutuhan pokok yang harus disantap oleh mayoritas warga Venezuela yang juga harus dipikirkannya.

Pusing tujuh keliling, maka dikeluarkanlah peraturan yang menetapkan harga barang dan jasa. Singkatnya, rakyat diberi jatah untuk mengeluarkan uang guna membeli barang kebutuhan pokok yang harganya sudah dipatok oleh pemerintah.

Kebijakan ini sukses ‘menewaskan’ banyak perusahaan yang bergerak dibidang barang dan jasa, karena nggak dapat untung malah buntung. Biaya produksi tidak bisa ditutup oleh harga-harga yang telah dipatok oleh pemerintah sehingga menyebabkan kebangkrutan massal di Venezuela.

Ini diperburuk dengan peraturan pemerintah yang melarang penjualan uang dollar AS secara bebas. Akibatnya pasar gelap berkembang pesat yang menyebabkan inflasi meningkat setinggi langit. Parahnya pemerintah Maduro malah mencetak banyak uang untuk mengatasi masalah tersebut.

Bisa ditebak, angka inflasi bukannya hilang, malah makin menggila. Terciptalah kondisi hiper-inflasi yang mencapai angka 800.000%. Mata uang Bolivar-pun nyaris nggak ada nilainya lagi.

Sebagai gambaran, untuk mendapatkan kertas tisu saja, kita harus merogoh kocek 2,6juta Bolivar. Makan daging ayam, harganya 14,6juta Bolivar. Yang lebih gila, kalau mau makan di restoran, kita harus siapkan uang 1,7milyar Bolivar.

Bahkan untuk sekedar makan pagi saja, seorang wanita karir di Venezuela rela menjual tubuhnya. Tragis. Karena orang butuh makan untuk sekedar bertahan hidup.

Dan ini diperburuk oleh tindakan embargo ekonomi yang dilakukan oleh AS terhadap rejim Maduro. Walhasil makin terpuruklah negara tersebut diambang kebangkrutan.

Sebenarnya apa yang menyebabkan AS begitu menginginkan tumbangnya pemerintah Maduro?

Ada 2 penyebabnya. Pertama karena ideologi sosialisme yang diusung Maduro dan yang kedua karena aksi boikot yang dilancarkan almarhum Chavez saat berkuasa, atas Israel.

Sebagai informasi, di tahun 2009, Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai protes atas Operasi Menuang Timah, dimana tentara Israel membombardir jalur Gaza selama 3 pekan lamanya dipenghujung tahun 2008. Aksi ini menewaskan 1398 orang diantaranya anak-anak. Tragedi kemanusiaan inilah yang membuat darah Chavez mendidih.

Cukup menarik, mengingat Venezuela adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik Roma, malah memiliki empati atas rakyat Palestina. Sebuah aksi nyata. Bandingkan dengan Erdogan yang kerap menghujat Israel, tapi hubungan diplomatik dengan negara zionis tersebut masih terus dipertahankan.

Kedua faktor itulah yang menyulut api kebencian AS atas Venezuela. Kalo kita bicara AS, yah kita bicara soal kepentingan Israel yang harus diperjuangkan oleh siapapun pemimpin di negara adidaya tersebut.

Jangan aneh bila kemudian Maduro harus dimakzulkan. Dan kali ini lewat aksi demonstrasi yang dipimpin oleh Juan Guaido yang telah mendapatkan dukungan penuh dari negeri Paman Sam tersebut sebagai presiden interim Venezuela.

Kok bisa ya, Guaido dipilih jadi presiden? Pasalnya pilpres saja dia nggak pernah ikutan sebagai kandidat.

Ditengah tekanan ekonomis dan politis yang dilancarkan AS, Rusia dan China akhirnya memberikan bantuan kepada rejim Maduro. Akibat bantuan ini, kudeta militer yang dilancarkan pihak oposisi yang telah mendapatkan restu Washington pada 2018 lalu, mengalami kegagalan.

Angin surga inilah yang menyebabkan presiden Maduro bisa tetap eksis ditengah gempuran pion-pion Mamarika. Pertanyaannya: apa yang akan terjadi selanjutnya? Perang akan digelar di Venezuela. Bila sebuah rejim yang akan ditumbangkan masih bisa bertahan, maka perang akan menemukan salurannya.

Maka bersiaplah untuk menyaksikan tayangan “Suriah jilid 2” di semenanjung Amerika.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!