Ketika Nilai Humanisme Hilang


522

Ketika Nilai Humanisme Hilang

“Ada yang salah dengan dunia pendidikan,” demikian ungkap seorang netizen yang juga merangkap ibu rumah tangga. Lontaran ini menanggapi aksi seorang remaja yang menghujat Jokowi sebagai simbol negara dalam suatu aksi konyol di sosial media.

Teringat saya pada ungkapan Plautus dalam karyanya Asinaria (195 SM) yang kemudian disundul kembali lewat karya seorang Thomas Hobe yang berjudul De Cive (1651). Dikatakan “Man to man is an errand wolf” Manusia adalah serigala bagi manusia lain. Bahasa kerennya homo homini lupus.

Sampai pada simpulan demikian, bukan berarti tanpa sebab. Semuanya lewat proses hingga timbullah hipotesis tersebut. Untuk menghalau hipotesis tersebut, maka pendidikan adalah solusinya. Iya!! Lewat pendidikan, diharapkan manusia kembali ke khitahnya menjadi seorang manusia yang sejati.

Apa pendidikan sekarang ini sudah tidak bersifat humanistik?

“Sangat. Bahkan sudah berada pada titik nadir.”

Permasalahan yang paling esensial adalah gagapnya pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan untuk mengantisipasi globalisasi yang masuk melalui industri pendidikan. Pendidikan yang harusnya bertujuan untuk membangun dan menguatkan karakter bangsa, gagal menjawab tuntutan itu.

Pendidikan hanya diarahkan untuk menjadi orang pintar, tapi tidak menjadi orang cerdas. Semua pencapaian harus bisa diukur melalui angka. Meraih angka baik dalam mata pelajaran, jauh lebih penting daripada memiliki akhlak mulia. Akibatnya siswa berlomba-lomba untuk mengejar angka an sich. Tak peduli prosesnya apakah dari hasil mencontek, yang penting angka bagus.

Proses ini diperburuk dengan sekolah yang berlomba-lomba untuk menjual label sekolah unggulan.
Unggul berarti meraih nilai baik di UN. Unggul berarti banyak alumninya yang jadi orang kaya. Unggul berarti banyak yang meraih medali di OSN (Olimpiade Sains Nasional). Seolah sukses masa depan seorang siswa hanya dipatok pada parameter-parameter tersebut.

Kondisi ini diperburuk dengan gagalnya mata pelajaran yang berfungsi sebagai ‘benteng’ arus deras globalisasi.

Coba lihat, apa yang sudah diajarkan para guru Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan? Semuanya hanya kaji hapal dan indoktrinasi semata. Bukan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Yang ada, dia nilai bagus di mapel tersebut, tapi jadi gak bermoral. Jadilah makhluk hipokrit.

Tak heran, banyak kasus merebak di dunia pendidikan, dari mulai tawuran pelajar, seks bebas, narkoba sampai perilaku menghujat yang sangat sering terjadi di media sosial. Semua bermula dari rusaknya karakter bangsa. Dan ini harus jujur diakui adalah produk dunia pendidikan, yang gagal dalam mengantisipasi arus global.

Saya ingat, seorang romo Mangun pernah berkata bahwa angkatan sekarang mengalami kemunduran yang sangat parah dalam dunia pendidikan. Ini ditandai dengan sempitnya cara berpikir sehingga hilangnya rasionalitas dalam berpikir. Padahal rasionalitas itu diperlukan dalam mencapai kearifan seseorang dalam bertindak secara humanistik.

Lalu, langkah apa yang harus diambil?

Seperti saya ulas dalam tulisan saya sebelumnya, pendidikan karakter harus digelar dengan massif. Gak usah yang muluk-muluk lah. Karakter dasar aja dulu yang jadi concern, yang mencakup nilai kejujuran, toleransi dan sikap nasionalisme. Itu saja!!

Dan itu butuh langkah yang cepat. Jujur saya ragu kalo Mendikbud yang sekarang akan mampu mengurai benang kusut yang ada di dunia pendidikan dengan cepat. Langkah apa yang sudah diambilnya selain gagasan full-day school yang kontroversial itu?

Menurut hemat saya, Indonesia butuh orang muda dengan idealisme yang tinggi dan berwawasan kebangsaan dalam mengambil kebijakan di dunia pendidikan. Masak sih nyari seorang dengan kriteria tersebut aja susah? Apa perlu kita tanyakan pada kandang kambing yang bergoyang??

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!