Ketika Lanskap Pendidikan Diubah (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, kapan anak-anak bisa sekolah normal seperti dulu lagi? Apakah harus menunggu semua anak untuk divaksinasi?” tanya seorang ibu melalui messenger.
Sedih juga mendengar nada pertanyaannya.
Kenapa?
Karena memang anak usia sekolah jadi korban kebijakan dibalik penutupan aktivitas sekolah. Meskipun kini beralih ke gaya pendidikan online, pertanyaannya apa yang kemudian didapat siswa dengan memakai model belajar kek gini selain stress? (https://www.bestcolleges.com/blog/coronavirus-survey/)
Ngajarin nggak pernah, tetiba gurunya kasih tugas seabreg-abreg. Yang ada kemudian, anaknya bingung mau ngerjain apa selain keterbatasan alat dan kuota dalam belajar yang dia punya.
Ujung-ujungnya anak bukan nambah pinter, tapi nambah puyeng dan juga stress.
Kembali ke laptop…
Sekarang saya coba jawab kedua pertanyaan yang dilontarkan ke saya.
Apakah anak-anak bisa sekolah normal seperti dulu lagi?
Untuk bisa jawab ini, anda perlu tahu dulu apa itu Educational Technology alias EdTech yang kini banyak menjamur di seluruh dunia.
Secara definitif, EdTech adalah praktik penggunaan IT ke dalam ruang belajar, guna menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik, inklusif dan individual. Bisa dikatakan kalo EdTech sudah pasti bersifat personal. (https://builtin.com/edtech)
Dengan masuknya EdTech dalam ruang kelas, maka diharapkan akan memudahkan siswa untuk tetap terlibat dalam pembelajaran yang menyenangkan.
Kok bisa menyenangkan?
Karena hadirnya perangkat Internet of Things (IoT) yang mampu menghadirkan ruang kelas digital bagi siswa dan juga teknologi blockchain yang membantu pekerjaan guru dalam membuat test dan meminta pertanggungjawaban siswa atas pekerjaan yang dibebankan pada mereka.
Nggak heran jika EdTech kemudian menjamur, karena konsep yang ditawarkan tadi: ‘bisa belajar, tapi menyenangkan’ karena hadirnya teknologi dalam pembelajaran. Jadilah banyak pihak (tak terkecuali guru) menggunakan EdTech.
Ya menyenangkan, kalo tugasnya nggak seabreg. Tapi (mungkin) karena tuntutan kurikulum, nggak begitu yang terjadi kemudian.
Alih-alih agar target kurikulum bisa kelar sesuai jadwa, gaya belajar offline kemudian disulap jadi belajar online. Cuma sebatas ganti kulit. Tugas tetap seabreg.
Gurunya pusing karena harus buat buat tagihan macam-macam (belum lagi kapan kasih nilainya), muridnya lebih jumpalitan lagi ngerjain tugas yang diberikan. Keduanya kena imbas gaya pembelajaran online tersebut.
Sekarang kita sedikit review tentang sistem pembelajaran online.
Asal tahu saja, pembelajaran online banyak diterapkan di banyak negara di dunia, sejak plandemi terjadi. Walhasil gaya belajar konvensional yang dikenal dengan brick and mortar, kini digeser ke arah pembelajaran lewat dunia maya.
Alasannya klasik. Selain bisa tetap belajar, anak mereka juga lebih aman untuk tidak tertular si Kopit saat belajar bersama dengan temannya di sekolah.
Pada akhir Maret 2020 saja, diperkirakan sekitar 1,4 miliar siswa, terpaksa belajar secara online gegara sekolahnya pada ditutup oleh otoritas berwenang. (https://www.statista.com/chart/21224/learners-impacted-by-national-school-closures/)
Namun proses ini nggak semudah membalikan telapak tangan, mengingat guru harus mengkonfigurasi ulang kurikulum dan pola pengajaran mereka. Salah satunya dengan integrasi EdTech tadi pada program yang mereka rancang.
Apakah upaya para pejuang tanpa tanda jasa tersebut membuahkan hasil yang sepadan?
Nggak juga.
Buktinya banyak ortu di AS sana yang komplain terhadap sekolah yang telah mengadopsi pembelajaran online, meskipun dengan sentuhan teknologi. (https://www.wsj.com/articles/the-tragedy-of-the-schools-11612392369?mod=opinion_featst_pos1)
Terus, apa bentuk ideal penggantinya?
Menurut analisa saya, bisa 2 hal. Pertama sekolah digital dan kedua nggak sekolah tapi mengandalkan EdTech sebagai sarana cari ilmu. Selain murah, toh materi yang didapat juga sama saja, tergantung anaknya mau belajar atau nggak.
Namun keduanya saya prediksi akan berinterpolasi. Seperti apa? Nanti saya akan jelaskan.
Yang jelas, teknologi pembelajaran digital terus mengalami peningkatan pada laju investasinya, bahkan jauh sebelum plandemi terjadi. Apa ini hanya kebetulan?
Misalnya pada tahun 2018, sebanyak USD 16,3 miliar telah di-investasikan di bidang tersebut. Angkanya terkerek naik di tahun 2019, dengan USD 18,7 miliar. (http://users.neo.registeredsite.com/9/8/1/17460189/assets/Metaari-2019-Global-Learning-Technology-Investment-Patterns.pdf)
Dengan angka sebanyak itu, apa iya investor nggak punya kepentingan?
Dan percayalah, EdTech boleh dibilang ‘ketiban pulung’ selama plandemi si Kopit.
Nggak percaya?
Pada tahun 2020 saja, EdTech sudah berhasil membukukan keuntungan sekitar USD 16,1 miliar secara global. (https://www.holoniq.com/notes/16.1b-of-global-edtech-venture-capital-in-2020/)
Dengan margin keuntungan sebanyak itu, apa mungkin pembelajaran online yang mengandalkan EdTech dapat dihentikan? Lha wong karena uang goceng saja, orang bisa bacok-bacokan, gimana uang sebanyak itu?
Lantas bagaimana dengan nasib anak-anak? Apakah akan tetap belajar secara online selamanya atau ini hanya temporal saja, sifatnya?
Pada bagian kedua, saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
xixi, betul mas, gegara cembanan manusia bisa tikam sana tikam sini. Apalagi utang ribuan trilyun, para londo ireng bakal jadi agen resmi agenda2 NDoro besar, sampai mati.
Cant wait the part 2