Kebijakan Yang (Selalu) Kontroversial
“Kenapa kita nggak ngedukung gubernur terpilih?” tanya seorang kawan diseberang sana.
Jujur saya malas memberi respon atas pertanyaan tersebut. Terlalu retorik.
Baru kali ini saya liat, seorang gabener terpilih, udah terpilih terus bingung mo ngapain. Macam orang ndeso iseng-seng masang togel. Begitu beneran dapet tuh nomor yang dipasang, eh bukannya bahagia, melainkan malah terkaget-kaget dan ujung-ujungnya awarahum karena gak siap.
Kata kuncinya satu: gak punya program!!
Jadi mau melakukan apapun, bingung. Bener apa nggaknya, dia ragu sendiri. Walhasil, begini dahh hasilnya. Paling pol yang dilakukan cuma sekedar buat kebijakan yang kebalikan dengan gubernur sebelumnya.
Contoh…
Kalo Ahok buat kebijakan rumah susun, dia tinggal buat kebijakan rumah lapis.
Kalo Ahok buat KJP buat warga tidak mampu, dia cuma buat KJP plus. Plus disunat dan dihilangkan, mungkin maksudnya.
Kalo Ahok buat Tanah Abang jadi tidak macet, dia tinggal ijinkan PKL berdagang di ruas jalan, yang berujung pada kemacetan.
Singkatnya, kebijakan yang ujung-ujungnya blunder, karena ya memang gak mungkin bisa dikerjakan.
Terakhir, sang Gabener ngebuat kebijakan tentang roda dua dan becak.
Sebelum saya ngebahas 2 kebijakan tersebut, saya mau kita flashback dikit sama masalah kebijakan transportasi makro yang ada di Jakarta.
Bang Yos yang pernah memimpin Jakarta, jauh-jauh hari sudah ngebuat grand design transportasi massal di Jakarta, yang dikenal dengan PTM alias Pola Transportasi Makro. Inti blue print tersebut adalah pengembangan moda transportasi di Jakarta bertumpu pada angkutan umum massal berbasis rel maupun jalan.
Yang berbasil rel, sebagian sudah dan tengah berlangsung, seperti KRL, MRT dan juga LRT.
Sedangkan yang berbasis jalan, adalah Trans-Jakarta alias Busway.
Juga sudah dipatok, bahwa pada 2030 nanti, angka partisipatif angkutan umum yang dipakai di Jakarta sudah mencapai angka 60%. Ini adalah dampak dari perkembangan kota modern, dimana salah satu tolak ukurnya adalah pemakaian moda transportasi umum dan bukan kendaraan pribadi. Gak percaya? Coba tengok Singapura atau Jepang, dehh. Adakah di 2 negara tersebut kendaraan pribadinya berjubel jalan raya?
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka studi banding-pun digelar. Bahkan saya dengar, perlu ke Bogota (Bolivia) segala untuk membangun moda transportasi sekelas Trans Jakarta. Poinnya jelas, mendorong penghapusan penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) dari Jakarta, untuk beralih menggunakan moda angkutan umum.
Bahkan pada Desember 2014, Ahok sempat melarang sepeda motor untuk melintas di daerah Sudirman-Thamrin. Dan itu sukses. Tolak ukurnya, tidak ada penolakan massa atas kebijakan itu, dan kemacetan agak mulai diurai.
Kok sepeda motor pake dilarang sama Ahok?
Sebab Ahok sadar tiga hal penting.
Pertama, kalo sepeda motor adalah mesin pembunuh di jalan, karena rata-rata berdasarkan data, setiap tahunnya angka kecelakaan di Indonesia mencapai 25.000 orang dan 70% lebih atau sekitar 17.500-nya adalah pengguna sepeda motor.
Alasan kedua, karena populasi sepeda motor sudah sangat mengkhawatirkan. Udah lebih banyak dari penduduk Jakarta. Mending jalannnya tertib, nah tau sendiri kan, ulah mayoritas bikers pas di jalan?? Belum lagi polusi udara dan polusi suara yang ditimbulkan….gedek-gedek dahh..
Dan terakhir, mengacu pada cita-cita mewujudkan kota modern, sedapat mungkin penggunaan sepeda motor di ibukota dibatasi. Kita lihat di Vietnam saja, Hanoi udah deklarasi kalo tahun 2025 motor udah dilarang melintas di kota tersebut.
Singkatnya tidak ada satupun kota besar di dunia yang kebijakan transportasi-nya mengandalkan sepeda motor maupun mobil pribadi. Yah setidaknya mengacu pada alasan-alasan di atas.
Nah kalo sekarang, larangan sepeda motor yang udah langsam, ehh tiba-tiba dicabut sama gabener terpilih. Coba saya tanya, apa layak kebijakan itu disokong?? Mendingan coli dahh…
Satu masalah belom kelar, eh udah ditambah kebijakan untuk menghidupkan kembali becak di ibukota. Watdepak… Padahal sebentar lagi Jakarta jadi tuan rumah event Asian Games di tahun 2018 ini. Image orang asing sama Jakarta, pasti semrawut, kumuh dan …. ahhh udah mumet duluan mikirinnya.
Jadi inget kata-kata koh Ahok: “Kita tidak butuh lagi orang pintar, yang kita butuhkan adalah orang yang peduli terhadap sesama.”
Cepat bebas, Hok!! Kami membutuhkanmu…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Setuju sih. Tapi liat ajja dah dulu kayak gimana hasil program kebaliknya