Jokowi dan Ratangga


512

 

Setelah melewati masa vakum sekian lama dan tahap pengerjaan yang tidak sebentar, MRT alias Mass Rapid Transport diresmikan oleh Jokowi pada minggu kemarin (24/3) di Bundaran HI, Jakarta.

Pada kesempatan itu Jokowi mengucapkan kalimat, “Ini adalah peradaban baru yang akan kita mulai.” Apa maksudnya? Sebelum menjawab masalah itu, saya coba flashback, bagaimana proyek MRT akhirnya berhasil diwujudkan.

Ide awal MRT sebenarnya sudah ada dari jaman Orde Baru, saat Indonesia masih dibawah rejim otoriter Soeharto. Adalah Habibie sang pencetus gagasan dibuatnya masterplan moda transportasi massal saat itu.

Namun, ujung-ujungnya ide besar tersebut terbentur birokrasi dan modal. Gimana mau jalan tuh proyek, kalo dikit-dikit uangnya ditilep sama kroni orba? Yang ada, utang nambah numpuk, tapi hasil nggak jelas kemana juntrungannya. Singkat kata, proyek transportasi massal hanya tinggal khayalan semata.

Seiring kejatuhan Orba, proyek MRT kembali digadang-gadang dan dijadikan komoditas politik saat pilkada DKI digelar per lima tahunan. Dari mulai Bang Yos hingga Foke, semuanya ‘jualan’ MRT sebagai komoditas mereka untuk mendapat dukungan suara warga Jakarta. Tapi toh, semua hanya sebatas retorika, karena kenyataannya MRT toh sebatas mimpi di siang bolong.

Baru saat Gubernur dijabat oleh Jokowi, peta konstelasi berubah drastis. Dibawah kepemimpinannya yang terkenal koppig, Jokowi justru tampil berani dengan mendobrak birokrasi di lingkungan pemda DKI saat itu, yang terkenal bermental magabut alias muda leha-leha, tua kaya raya, mati masuk sorgaa…

Berbagai kendala dibeberkan oknum pemda, demi menghempaskan impian proyek transportasi massal tersebut. Seribu macam alasannya. Dari mulai pembebasan lahan, analisa Amdal, hingga kajian untung rugi. Dan yang jadi jurus pamungkas, “Uangnya dari mana, pak?”

Berbekal intuisi bisnis yang dia miliki, Jokowi cermat berhitung. Berapa kerugian yang diderita pemprov DKI, seandainya moda transportasi massal tidak diwujudkan?

Berdasarkan data Bapennas, kerugian yang harus diderita akibat kemacetan setahun, mencapai angka Rp. 67 Trilyun. Angka dari Dewan Transportasi Kota Jakarta, lebih spektakuler lagi. Rp. 187 Trilyun.

Darimana angka tersebut muncul? Yah banyak faktor, dari mulai banyaknya BBM terbuang hingga banyaknya komponen kendaraan yang harus sering diganti akibat kemacetan. Angka itu belum termasuk stress, polusi udara hingga produktivitas kerja. Jangan heran, kemacetan selalu dijadikan alasan utama kalo karyawan telat masuk kerja. “Macet pak.” Case-closed.

Kerugian yang ditimbulkan nggak sebanding dengan subsidi yang harus dikeluarkan pemprov DKI untuk menyokong proyek MRT tersebut. Cuma Rp.3 Trilyun-an setahun. Aliasnya pemda DKI bisa menang banyak. Belum lagi hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Jakarta diproyeksikan akan macet total pada 2020 nanti.

Ditambah lagi sedikit bisikan, “Kalo bukan kita, siapa lagi? Kalo bukan sekarang, kapan lagi pak?” maka singkat cerita tiang pancang MRT didirikan atas kalkulasi politik Jokowi-Ahok, setelah sempat mangkrak 26 tahun lamanya. “Masa bangun moda transportasi massal kok ngitung untung-rugi segala,” demikian pikir Jokowi saat itu.

Uangnya darimana? Yah hasil hutang. Biaya pembangunan yang menelan biaya Rp. 37,2 Trilyun tersebut, mendapatkan pinjaman lunak dari Jepang. Ngapain Jepang mau repot-repot modalin tuh proyek? Yah karena memang prospeknya bagus. Masa iya orang mau ngutangin, kalo nggak yakin bahwa yang diutangin sanggup ngebayar?

Terus apa kaitan MRT sama membangun peradaban?

Bicara peradaban, yah bicara peradaban modern yang tolak ukurnya adalah pembangunan fisik yang kena dirasakan. Salah satunya adalah infrastruktur. Dan MRT adalah perwujudan dari peradaban itu sendiri.

Negara yang memiliki kota Megapolitan di dunia, hampir semua memiliki ikon transportasi massal sebagai wujud peradaban modern semisal MRT. Dari Inggris, AS, Jepang, Perancis, Korsel hingga Singapura. Kenapa mereka membutuhkan itu? Alasannya sederhana, memangkas biaya ekonomi yang bisa ditimbulkan karena kemacetan, selain dijadikan ikon peradaban modern.

Masa iya, kota megapolitan, kok moda transportasinya pake angkot atau becak onlen? Apa kata dunia, bray?

Kereta MRT yang di impor dari Jepang itu-pun kini telah beroperasi di Jakarta. Namanya pun disesuaikan dengan nama yang khas ke-Indonesiaan. Ratangga, namanya yang artinya kereta perang.

Dan seperti biasa, bukan ucapan selamat yang diterima Pakde, malah nyinyiran yang didapat dari para kampret. Dibilang lah, “Ahh itu Jokowi cuma maen ngeklem doang. Mang dia apa yang punya ide bangun MRT di Jakarta?” Ingin nge-granat rasanya…

Rencananya, pada kepemimpinannya yag kedua, Ratangga-Ratangga yang lain akan menyusul untuk dibangun diseantero Indonesia. Singkatnya, cita-cita untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju, kini sudah mulai ada gambaran. Dan ini sangat tidak diinginkan oleh negara tetangga, semisal Singapura. Indonesia harus terus berada dibawah negara Singa tersebut.

Coba pikir, apa nggak ada kontribusi Singapura terhadap permasalahan kemacetan yang ada di Jakarta? Siapa negara yang punya perusahaan untuk memproduksi kendaraan dalam jumlah besar di Indonesia? Kalo seandainya moda transportasi missal misalnya berhasil, apa yang terjadi pada perusahaan otomotif milik negara tersebut nantinya?

Inilah yang kemudian menjadikan pilpres 2019 ini menjadi menarik untuk terus diikuti. Karena ada upaya dari setidaknya dari negara Singa tersebut untuk ‘menjatuhkan’ Jokowi sebagai pemegang tampuk kepemimpinan nasional, lewat pion-pionnya di Indonesia.

A developed country by means a country which adopts technology to humanize human-being.”

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!