Itu Bukan Agresi (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan, kita sudah bahas tentang tinjauan historis krisis di Ukraina, dimana Minsk Protocol yang seharusnya memberikan jaminan otonomi khusus bagi warga Donetsk dan Luhansk, justru kesepakatan itu dilanggar oleh otoritas Ukraina. (baca disini)
Bukannya ngajak damai, tapi warga kedua wilayah tersebut malah jadi sasaran penembakan oleh tentara Ukraina plus pasukan Neo-Nazi binaannya. Ini diperkuat dengan temuan kuburan massal di wilayah tersebut oleh Komite Investigasi Rusia pada Oktober 2021 silam. (https://www.republicworld.com/world-news/russia-ukraine-crisis/russia-opens-criminal-case-into-discovery-of-mass-graves-of-295-civilians-in-donbas-articleshow.html)
Dalam konteks politik, tindakan yang diambil pemerintah jelas merupakan provokasi bagi turun tangannya Rusia pada konflik di Donbass. Alasannya jelas: pemerintah Ukraina melanggar kesepakatan Minsk Protocol dengan menembaki warga sipil di sana.
Itu point pertama.
Point selanjutnya adalah rencana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk merebut kembali wilayah Krimea dan kota Sevastopol ke pangkuan Ukraina dari tangan Rusia, dengan ditandatanganinya Dekrit No. 117/2021. (https://www.ukrinform.net/rubric-polytics/3214479-zelensky-enacts-strategy-for-deoccupation-and-reintegration-of-crimea.html)
Bukan itu saja, karena Zelensky melangkah cukup jauh lagi, karena berencana melepaskan status non-nuklirnya di bawah Memorandum Budapest 1994. (https://uawire.org/zelensky-ukraine-may-reconsider-its-nuclear-status)
Kebijakan blunder yang dibuat Zelensky (terutama yang menyakut status nuklir-nya), jelas buat pemerintahan Moskow ketar-ketir.
Kenapa?
Karena pihak Moskow tahu kalo Ukraina mewarisi kompetensi nuklir yang cukup banyak. Bukan saja reaktor nuklir banyak terdapat di bekas wilayah Soviet tersebut, tapi juga mereka telah mengembangkan industri nuklir berikut fasilitas penunjangnya. (https://www.the-sun.com/news/4175095/ukraine-ready-strike-russian-cities-nuke-plants-putin-hypersonic/)
Berbekal semua alasan tersebut, menjadi wajar jika Rusia bereaksi keras. Lha wong Ukraina lokasinya berbatasan dengan Rusia, masa iya kalo sudah buat provokasi lantas didiamkan? Bukankah memberi pelajaran, sesekali diperlukan agar nggak ngelunjak?
Makanya saat Putin mengakui status merdeka kedua wilayah di Donbass, yaitu Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Lugansk (LPR), pada Senin kemarin (21/2), nggak butuh waktu lama bagi Putin untuk merespon permintaan tolong kedua negara tersebut untuk mengusir kekuatan militer Ukraina di wilayah Donbass, sehari kemudian. (https://www.rt.com/russia/550394-donbass-republics-military-help-putin/)
Dengan perencanaan yang matang, maka Kamis kemarin (24/2), Rusia meluncurkan operasi militer khusus untuk melindungi DPR dan LPR, setelah 8 tahun lamanya mereka nggak diperlakukan layak oleh pemerintah Ukraina.
Padahal Minsk Protocol itu diakui secara sah oleh Dewan Keamanan PBB sejak 2015. (https://sputniknews.com/20220224/russias-spec-op-why-kiev–its-western-backers-had-failed-to-implement-minsk-accords-for-8-years-1093345653.html)
Jadi, ini bukan agresi militer Rusia pada wilayah Ukraina, seperti narasi yang dikembangkan oleh media mainstream Barat, tapi upaya menegakkan kedaulatan dan menjunjung tinggi kemanusiaan di wilayah Donbass. Makanya Rusia menggelar operasi militer khusus. Titik.
Putin bahkan menegaskan kalo Rusia nggak berniat untuk menggelar perang dengan Ukraina. “Kami nggak mau melakukan hal itu, jika saja pemerintah Ukraina mau mendengar dan mematuhi Minsk Protocol,” ungkapnya. (https://www.theguardian.com/world/2022/feb/24/we-dont-want-this-russians-react-to-the-ukraine-invasion)
Pernyataan yang dikeluarkan Kemenlu China mungkin bisa dijadikan petunjuk tambahan, bahwa tudingan media mainstream tentang upaya Rusia untuk ‘menduduki’ Ukraina adalah omong kosong belaka.
“Rusia adalah anggota tetap DK PBB, jadi nggak mungkin melakukan invasi ke Ukraina tanpa sebab yang jelas, khususnya yang menyangkut kepentingan nasionalnya,” ungkap Hua Chunying. (https://www.rt.com/russia/550450-china-comments-on-russian-operation/)
Menjadi masuk akal jika Rusia nggak meminta bantuan China untuk tindakan ini, karena memang bukan perang yang dikehendaki Rusia, melainkan ‘menegakkan’ aturan main yang telah dilanggar pemerintah Ukraina selama ini terhadap wilayah Donbass.
Chunying menambahkan bahwa baik Rusia dan China, keduanya memiliki kesamaan dalam kebijakan LN-nya, yaitu non-blok dan non konfrontasi. Jadi nggak ada kamus bagi keduanya untuk menginvasi suatu negara, karena prinsip yang mereka miliki.
Apakah langkah yang diambil Rusia adalah agresi?
Sama sekali bukan.
Apakah ini akan menyulut konfrontasi yang lebih besar lagi?
Saya katakan dari awal, bahwa ini bukan agresi apalagi perang. Jadi konflik nggak akan diperpanjang seperti narasi yang dibuat oleh media mainstream Barat. Itu lebay.
Apa tandanya?
AS yang dari semula mengompori Ukraina untuk berkonflik dengan Rusia, nyatanya nggak akan mengirimkan pasukannya ke Ukraina. Sialan, bukan? (https://www.vox.com/policy-and-politics/2022/2/25/22949351/ukraine-russia-us-troops-no-fly-zone-nuclear-weapons)
Bahkan presiden Zelensky merasa ‘ditinggalkan’ oleh para sekutunya dalam menghadapi serangan Rusia pada wilayah Donbass. (https://www.timesnownews.com/videos/mirror-now/society/russia-vs-ukraine-zelensky-says-world-abandoned-us-latest-news-world-news/122429)
Jika AS nggak mau terlibat konflik dengan Rusia di Ukraina, dan Ukraina sendiri telah merasa ‘ditinggalkan’ dalam perkara ini, silakan pakai nalar anda: apakah perang akan terjadi dalam eskalasi yang lebih besar?
Sekarang kita coba gali, apa agenda terselubung yang ada dibalik provokasi Ukraina pada Rusia?
Sedari awal saya curiga bahwa aksi provokasi sengaja dilakukan karena ada 3 agenda yang mau diluncurkan. Apa itu?
Pertama, dengan adanya aksi militer yang dilakukan Rusia pada wilayah Donbass, nggak butuh langkah sulit untuk melakukan framing pada Rusia yang dianggap sebagai negara aggressor. Kebencian dunia internasional akan makin mendalam pada Rusia karena dianggap ‘gila perang’.
Kedua, ada tangan kepentingan AS pada konflik ini, utamanya dalam menjual gas serpih miliknya di Eropa. Dengan hadirnya Gazprom yang membesut Nord Stream 2 dengan harga ‘miring’, maka gas serpih AS punya saingan potensial bagi pasar Eropa.
Dengan hadirnya konflik ini, setidaknya Jerman yang sedari awal ragu untuk memakai gas alam cair asal Rusia, menjadi diyakinkan dengan aksi yang dilakukan Rusia pada Ukraina. “Ngapain harus beli gas sama aggressor?” demikian bisik AS kepada Jerman. (https://news.yahoo.com/overnight-energy-environment-germany-uses-000519313.html)
Dan yang terakhir, anda perlu tahu bahwa ini sangat berkaitan dengan agenda utama Ndoro besar, yaitu The Great Reset. Resetting nggak akan mungkin bisa digelar tanpa lumpuhnya ekonomi global. Harus ada langkah yang dibuat dalam memicu situasi ini.
Perhatikan baik-baik. Apa yang dilakukan oleh AS dan sekutunya terhadap Rusia? Menerapkan sanksi ekonomi, bukan? (https://www.reuters.com/world/us-impose-blocking-sanctions-state-owned-russia-direct-investment-fund-2022-02-25/)
Diharapkan akan ada aksi balasan dari Rusia dalam menjawab sanksi ini, meskipun sekali lagi Rusia nggak akan melakukan hal itu.
Jika kemudian ada aksi peretasan jaringan internet secara global, siapa yang kira-kira akan dijadikan kambing hitamnya?
Bukankah aksi yang diklaim sebagai peretasan, telah terjadi di Ukraina dan menyasar perbankan dan situs pemerintahn disana? (https://www.cnbc.com/2022/02/23/cyberattack-hits-ukrainian-banks-and-government-websites.html)
Apa iya ini hanya aksi peretasan ini bersifat spontan dan nggak akan diperbesar? (baca disini dan disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments