Apa yang bisa menyatukan gerakan mahasiswa 98? Isu, jawabannya.
Bermodalkan kesamaan isu untuk melengserkan Soeharto dan Orde Barunya, gerakan 98 sukses menorah catatan sejarah, dengan aksi klimaksnya yaitu pendudukan gedung MPR/DPR oleh mahasiswa, walaupun ‘dengan catatan’ (seperti yang pernah saya ulas sebelumnya).
Setelah 98 berlalu, masih ada aksi-aksi sporadis. Namun karena tidak adanya perekat berupa kesamaan isu, demonstrasi yang digelar pasca 98 mengalami kegamangan. Kubu mahasiswa yang satu mengusung isu TOLAK SIDANG ISTIMEWA, sedangkan kubu yang lain cukup puas dengan lengsernya rejim Soeharto. “Itu juga sudah Alhamdulillah,” ujar mereka.
Mungkin karena adanya kegamangan tersebut, beberapa coba cari peruntungan, dengan menjadi anggota parpol tertentu. Idealisme mulai bergeser, dari aksi parlemen jalanan, menuju parlemen yang ada di Senayan. Mereka pragmatis berpikir, kalo hanya mengandalkan jadi aktivis, terus mau makan apa ke depannya?
Walhasil, aksi coba-coba dilakukan, dengan mengusung konsep: “Ah, siapa tahu ntar terpilih menjadi anggota dewan yang terhormat.” Wajar-wajar saja sih, namanya orang usaha. Toh dalam sistem perpolitikan kita, dikenal istilah siklus 20 tahunan.
Artinya, mahasiswa yang jadi aktivis di tahun 1998, maka diproyeksi akan menjadi pemimpin-pemimpin politik potensial di negeri ini. Jadi kalo utak-atik togel, 20 tahun setelah reformasi 1998 adalah 2018-2019. Saat itulah, apa yang ditabur saat jadi aktivis jalanan, akan dituai di tahun tersebut.
Inilah yang dinamakan investasi gerakan. Jadi motif untuk menjadi parlemen jalanan sejujurnya hanya sebatas retorika belaka. Bukan jadi pembela rakyat, tapi jadi pembela kepentingan pribadi dengan embel-embel kata rakyat dibelakangnya. Biar lebih heroik, kesannya.
Apakah ini salah? Salah benar bukan jawaban pastinya, karena ini menyangkut motif.
Jadi menurut saya, yah sah-sah saja. Ibarat mau nolong cewek dari aksi pencopetan, motif yang utama bukanlah menindak aksi kejahatan, tapi lebih pada ceweknya, yang rupanya parasnya mirip Vanessa Angel. Coba kalo mukanya jelek, apa iya itu cewek masih mau ditolong?
Tapi setelah melenggang ke Senayan, justru masalah baru mulai. Mentalnya nggak siap.
Jadi teringat saat masa-masa SMA di tahun 1990an, dimana banyak teman berlomba-lomba untuk mendapatkan beasiswa STAID alias Science and Technology for Industrial Development. Program ini dibesut oleh BPPT dibawah naungan pak Habibie selaku Menristek saat itu.
Teknisnya, calon mahasiswa yang lolos seleksi, akan dikirim ke kampus-kampus terkenal yang ada dibelahan dunia. Siapa yang nggak kesengsem bisa kuliah di Harvard dengan hanya modal dengkul alias gretonk.
Banyak yang lolos program ini, adalah siswa yang berasal dari daerah-daerah, terpencil pulak. Wong ndeso, tapi otaknya moncer. Karena kecerdasan dan sedikit peruntungan, maka dikirimlah mereka ke negeri Paman Sam dan negara-negara Barat, misalnya.
Disana, mental mereka ternyata banyak yang nggak siap. Kebayang dong, di kampung mereka bahkan belum ada televisi, tapi di Amrik bukan saja tayangan TV yang mereka saksikan, tapi juga tayangan ‘panas’ ada dimana-mana? Belum lagi soal makanan. Wong biasa nasi putih, ini dipaksa makan steak dan burger plus minum alkohol.
Maka kecerdasan tanpa disertai kesiapan mental, akan kontra-produktif jadinya. Ke-Indonesiaan mereka luruh pada budaya setempat, dimana mereka mengenyam ilmu.
Banyak yang pulang kembali ke tanah air dengan gelar yang mereka banggakan, namun tak sedikit yang ‘gagal’ saat kuliah. Karena apa? Mentalnya gak siap.
Begitupun dengan aktivis 98 yang berhasil melaju ke Senayan.
Dari kondisi gembel mereka teriak-teriak di jalanan pada siang hari bolong, nah sekarang tinggal duduk nyaman di parlemen, uang gaji perbulannya saja sudah bingung mau dihabisin buat apa? Dulu biasa makan di warteg, sekarang lifestyle harus diubah. Gagal pahamlah mereka atas realita yang ada.
Aliasnya, nasib mereka tak ubahnya anak-anak daerah yang mengikuti program STAID tadi. Secara kualifikasi mumpuni, tapi gagap dalam hal mentalitas.
Saking banyak uang yang didapat tiap bulannya, belum lagi tunjangan kanan-kiri, plus kalo ada yang mau nakal dengan cara ngakalin anggaran, maka makin bingunglah mereka. Uangnya mau dihabisin kemana?
Setelah kenyamanan demi kenyamanan mereka dapatkan, maka pragmatisme mulai bicara. Bukan bela rakyat lagi yang diusungnya, tapi bela parpol dan bela kepentingan pribadi. Saat itu, idealisme sebagai aktivis jalanan, tergadai sudah.
Parahnya, kalo aktivis yang stereotype-nya adalah pria, punya banyak uang dan asisten pribadi yang prikitiuw, tapi bingung mau dihabiskan kemana, maka wanita dan narkoba-lah yang mungkin jadi jalan keluarnya.
Makanya, saya nggak heran saat Andi Arief yang dulunya sangat vokal menentang rejim Orde Baru, bahkan sempat diculik, kini setelah mapan jadi Sekjen partai Cikeas, terpaksa jatuh pada kedua godaan tersebut. Jawabannya ringkas: mentalnya nggak siap.
Mengutip ungkapan Bob Kerrey, “Jika seorang aktivis menjadi politisi, maka mereka akan berkompromi demi mendapatkan hasil tertentu.” Apa hasil tertentunya? Bisa uang, bisa ketenaran, bisa wanita, dan bisa juga narkoba.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
likewise