Industri Pencitraan
Dalam konteks analisa sosial, maka yang muncul ke permukaan-lah yang akan kita telaah. Di era pertengahan 1990-an, saya pernah beberapa kali diundang untuk menjadi pemateri dalam sesi analisis sosial. Dalam sesi tersebut, saya diamanatkan untuk melatih proses berpikir seseorang untuk mampu menganalisa keadaan, lewat tulisan maupun gambar yang tersaji.
Perhatikanlah yang kita temui di media sosial akhir-akhir ini. Gak usah terlalu jauh lihatnya. Tilik lah kelakuan duo gabener dan wagabener DKI. Apa yang kerap mereka ucapkan? Apa yang sudah mereka lakukan? Lebih lanjut: apa aktivitas menata KATA lebih penting dari menata KOTA?
“Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra,” begitu kata filsuf Jean Paul Baudrillard. Era dimana batas antara realitas dan citra setipis kondom. Sulit untuk dibedakan.
Simulacra sendiri adalah term yang digunakan Baudrillard dalam bukunya Consumer Society (1967) yang merujuk pada citra suatu peristiwa yang telah menggantikan peristiwa itu sendiri. Maksudnya gimana?
Yah pencitraan. Dimana semua telah digeser, dari yang bernilai guna menjadi hanya simbolis. Dimana kebutuhan hidup diubah menjadi gaya hidup. Term yang dipakai adalah hyper-reality alias realitas semu, produk kebohongan yang diusung oleh simulacra tadi.
Jangan heran sekarang, kalo semua ditentukan oleh brand/merek tertentu. Rasanya hidup kita menjadi tidak percaya diri kalo tidak memiliki mobil tertentu. Belanja menjadi kudet alias kurang apdet kalo nggak ke mall tertentu. Dan liburan menjadi tidak berkenan kalo hanya dirumah ketimbang traveling.
Prinsip yang diusung: “I shop, therefore I am.” Saya belanja maka saya ada. Maka gak heran kalo kita melihat, bahwa ada proses masif yang mengubah pola berpikir semua orang.
Kalau kita mau makan, harus nyari tempat yang instagramable. Padahal esensinya, mau makan apa mau selfie-selfie? Mau nyari baju, harus yang branded biar tambah pede. Padahal esensinya kan kita pakai baju, bukan telanjang, apalagi nambah pede??
Trus, siapa yang mengusung konsep pencitraan ini? Merujuk pada pendapat Milan Kundera dalam novelnya Immortality (1991), mereka adalah agen periklanan dan konsultan politik. Mereka-lah yang paling berkehendak untuk mengubah mindset seseorang dari life-need menjadi sekedar life-style.
Di Indonesia, Pepo-lah yang mempopulerkan istilah pencitraan ini. Tak tanggung-tanggung, Partai Demokrat rela menggelontorkan Rp. 59,143 milyar untuk sekedar beriklan di televisi sepanjang tahun 2009 saja. Citra yang coba dibangun: Lanjutkan!! Gak jelas juga, apa maknanya? Apa lanjutkan korupsinya, atau lanjutkan ngoceh di-twitter-nya??
Ada lagi? Tentu saja. Lihatlah kelakuan dynamic duo, gabeber dan wagabener DKI. Semua yang diucapkan di media, selalu kontroversial. Dan itu tak lepas dari arahan konsultan politiknya. Citra yang harus dibangun: pemimpin yang santun & pemimpin yang agamis. Persetan dengan yang lain.
Konyol memang, tapi lewat proses ini, maka seorang Ahok yang dicitrakan sebagai guberner yang KASAR & KAFIR, harus tersisih dalam proses demokrasi..walaupun etos kerja dan kejujurannya tak perlu diragukan.
Padahal, yang esensi dari seorang pemimpin adalah KERJANYA, bukan yang lain, apalagi kesantunannya atau sifat agamisnya. Apa iya kalo rakyat mendapat musibah, cukup dengan didoakan? Apa iya dalam berurusan dengan preman dan mafia anggaran, kita cukup berkata-kata santun?
Seperti kata Baudrillard, orang yang sudah terjebak dalam simulacra, dapat dipastikan telah berakhir kehidupan sosialnya. Semoga kita bukan salah satunya…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments