Suatu ketika, saya ditanya oleh seorang teman, “Apa yang salah dengan pendidikan kita?” Untuk menjawab ini, jawabannya sangat dialektik. Nggak bisa kita simplifikasi bahwa masalahnya hanya ini atau itu. Banyak masalah, campur aduk dan menciptakan benang kusut.
Butuh kesabaran dalam mengurai benang kusut itu. Dan yang lebih penting adalah cetak biru yang kita ajukan sebagai pengganti sistem pendidikan yang selama ini kita pakai.
Pendidikan sebenarnya buah politik. Inilah yang kemudian melahirkan istilah politik pendidikan. Untuk memahami masalah itu, maka anda perlu tahu dulu yang namanya politik etis.
Politik etis adalah hasil pemikiran pemerintah Belanda dalam bentuk “politik balas budi”kepada warga pribumi yang telah dirampas habis-habisan kekayaan alamnya oleh pemerintah kolonial. Jadi rasa iba melihat bangsa pribumi yang terus-terusan kere, menghasilkan politik balas budi tadi.
Nah salah satu bentuk balas budinya adalah dalam bidang edukasi alias pendidikan. Pribumi kelak mempunyai hak yang sama dengan warga kolonial untuk mengenyam pendidikan.
Yang namanya politik, nggak mungkin juga polos adanya. Pasti ada udang dibalik rempeyek-nya. Selalu ada modus terselubung dibalik ‘kebaikan’ yang diberikan bangsa kolonial kepada warga pribumi. “Nothing is for free.”
Sayangnya, politik balas budi ala pemerintahan kolonial Belanda tetap berlanjut hingga kini. Walaupun kita sudah berstatus merdeka, tetapi dalam pendidikan selalu ada ‘tangan-tangan’ tak terlihat yang menjadikan sistem pendidikan kita nggak bisa maju ke depan.
Itu bisa jadi sistem pendidikannya, ataupun eksekutor dan legislator yang bertanggungjawab atas nasib pendidikan nasional kita.
Masalahnya, sudah banyak tokoh yang berperan sebagai menteri pendidikan jebolan Barat, kenapa kok pendidikan kita nggak maju-maju juga seperti negara-negara Barat? Berarti kan ada yang salah. Dimana salahnya?
Apa jangan-jangan tokoh-tokoh tersebut, yang kemudian diletakkan sebagai menteri pendidikan, tak lebih merupakan komprador alias agen kepentingan Barat di Indonesia?
Kalo ditelusur, banyak kesalahan dalam sistem pendidikan kita. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang mematikan tingkat kreativitas selain minimnya encouragement.
Coba anak anda memiliki kreativitas di atas rata-rata, percaya deh dengan gampangnya guru-guru bakal menyalahkan pemikiran itu. “Kenapa harus begitu sih, kenapa nggak begini aja?”
Sistem inilah yang kemudian memandulkan daya nalar siswa. Padahal, di Barat sana, kreativitas dipuja setinggi langit. Karena apa?
Mereka sadar bahwa untuk punya daya kreativitas itu nggak gampang. Bahkan dalam taksonomi yang dikembangkan Benjamin Bloom pada ranah kognitif, yang namanya creating alias mencipta itu berada pada puncak piramida (C6).
Nah untuk seseorang bisa mencipta, apa mungkin tanpa kreativitas?
“Pendidikan model begitu, kelak menghasilkan fixed mindset pada diri siswa,” demikian ungkap pakar psikologi pendidikan dari Universitas Stanford yang bernama Dr. Carol Dweck.
Dalam bukunya yang terkenal “Mindset: the new psychology of success” beliau mendefinisikan dua istilah. Yang satu bernama fixed mindset, dan yang lain bernama growth mindset. “Ibarat otot, growth mindset itu dapat dikembangkan, sedangkan fixed mindset itu cenderung mengkerut.”
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak-anak cerdas, ternyata didapat temuan yang mengejutkan. Anak-anak yang katanya smart tersebut, mudah dikenali dari sifatnya yang mengejar gelar dan prestasi akademik, menolak tantangan, anti kritik dan tentu saja nggak mau kalah dari orang lain alias egois.
Menurut Dweck, anak-anak cerdas mengidap apa yang disebut sebagai fixed mindset. Cenderung arogan dan menganggap orang lain yang memiliki kecerdasan lebih dari dirinya sebagai pesaing. Dan parahnya, tiap menemukan kegagalan, anak-anak tersebut lebih mudah menyalahkan keadaan, ketimbang introspeksi diri.
Mantan petenis John McEnroe adalah contoh klasik orang dengan fixed mindset. Tiap kali kalah bertanding, selalu saja dicari kambing hitam kesalahannya, dari mulai lapangan hingga hakim dengan keputusan yang berat sebelah. Akibatnya otaknya menciut bukan malah bertumbuh.
Sementara, anak-anak dengan growth mindset justru memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Mereka menerima kritik atas kekurangan dirinya, menyukai tantangan baru karena merupakan bagian dari hidup dan terlebih mau belajar dari orang lain yang punya kemampuan di atas dirinya.
Singkatnya, orang dengan fixed mindset, terjebat pada ruang ‘tyranny of now’ dimana keadaanlah atau orang lain yang membuat diri mereka terpuruk. Mereka nggak akan bisa maju ke depan, karena baginya hanya dirinya yang boleh hebat. Nggak boleh orang lain.
Darimana fixed mindset dan growth mindset diperoleh? Ya dari pendidikan, dan sekolah merupakan kontributor terbesarnya.
Jangan heran, teman semasa kecil yang dulunya kita anggap pintar, sekarang justru hidup blangsak dan hilang entah kemana. Sebaliknya, teman-teman yang mungkin prestasi akademiknya biasa-biasa saja, justru sekarang karirnya malah sukses. Temuan Dweck-lah dasar pembenarannya.
Ironis bahwa pendidikan di Indonesia justru mencetak orang-orang cerdas dengan fixed mindset ketimbang growth mindset. Prestasi di sekolah kerap dijadikan rujukan sukses sesorang ke depannya. Orang tua berlomba-lomba mendorong anaknya untuk jadi juara, tanpa sadar konsekuensinya. Akibatnya anak jadi arogan.
Akibatnya sekolah mencetak pemimpin-pemimpin yang korup, intoleran dan cenderung gampang menyalahkan keadaan. “Sedikit mengalami kesusahan, langsung menyalahkan orang lain. Harga naik dikit, otomatis salah Jokowi.” Ampun dijeh…
Sistem pendidikan yang jadul, dimana melihat tolak ukur keberhasilan hanya dari prestasi semata sudah selayaknya dikubur dalam-dalam. Sekarang sudah era digital, dimana prinsip kolaborasi justru jadi tumpuan dalam hidup yang sesungguhnya. Bukan lagi one-man show.
Pertanyaannya, akankah kita berubah? Rasanya elegi itu masih kental, brader…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments