“Kenapa ya oom, teman-teman kuliahku nggak pernah percaya pendapat orang lain yang berbeda dengan mereka, meskipun faktanya yang mereka percayai gak lebih dari hoax,” begitu pertanyaannya keponakanku melalui whatsapp.
Sebenarnya pertanyaan tersebut diluncurkan saat perhelatan jelang pilpres 2019 lalu, dimana para kampret kerap menebar hoax secara masif meskipun tahu konsekuensi hukumnya. Pertanyaannya: kenapa mereka berkeras pada apa yang mereka percaya, walaupun itu sudah jelas-jelas hoax?
Kali ini saya mencoba menjawabnya.
Kelakuan para kampret bisa dipahami karena dua alasan. Pertama, bahwa sekarang adalah era post-truth (baca disini) dimana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini seseorang, melainkan emosi dan keyakinan personal. Jangan heran kalo berita bohong (hoax) menemukan momentumnya saat era post-truth ini.
Yang kedua adalah efek ruang gema. Berdasarkan teori ini, seseorang hanya akan mendengarkan sesuatu yang sepemikiran saja, sehingga mampu memperteguh sikap yang telah mereka miliki sebelumnya. Pikiran yang berulang-ulang akan mampu memperkuat pandangan yang mereka miliki secara ekstrim.
Ruang gema alias echo-chamber pertama kali diperkenalkan oleh Anatoliy Grudz dan Jeffrey Roy (2014) dalam karyanya: Investigating Political Polarization on Twitter: A Canadian Perspective. Menurut mereka berdua, internet menciptakan ruang gema yang berputar di situ-situ saja mengelilingi si penggunanya.
“Media sosial bekerja dengan sistem algoritma,” demikian tukas temanku. Apa maksudnya? Media sosial berperan sebagai ‘pengatur’ yang mengarahkan mana postingan yang dianggap relevan buat para penggunanya, dan canggihnya kerap diberikan tanpa persetujuan dari pihak pengguna.
Jadi kalo kita berinteraksi dengan postingan seseorang dan kita menyukainya misalnya, maka yang akan muncul di newsfeed kita bukanlah postingan-postingan terdahulu melainkan yang sesuai dengan minat dan histori kita.
Yang akan disajikan di laman media sosial kita kemudian adalah apa yang kita sering klik, sering like, sering share, sering kasih komen, sering kita baca-baca dan sering kita cari-cari. Singkatnya apa yang sesuai dengan cara kerja algoritma tadi.
Wajar media sosial menyajikan algoritma tersebut, karena pertama media sosial nggak mau kehilangan user-nya. Karenanya guna menyajikan rasa aman dan nyaman dari perundungan (bully) bagi si pengguna, media sosial menyajikan informasi yang sifatnya familiar, disukai dan otomatis menyenangkan.
Akibatnya, si pengguna media sosial akan terseret ke dalam ruang gema. Kita berada dalam lingkungan pertemanan yang sepemikiran saja. Pikiran yang dilontarkan pada ‘ruang tersebut’ akan mendapat penguatan dari teman-temannya secara berulang-ulang hingga kemudian dia mempercayai ‘pikiran tersebut’ sebagai sebuah kebenaran.
Yang pro semakin pro begitupun sebaliknya. Dan ini telah berlangsung secara masif sejak pilpres 2014 silam di media sosial yang kita pakai.
Efek dari ruang gema ini sungguh dahsyat, karena menciptakan situasi dimana seseorang akan lebih mempercayai kabar bohong alias hoax ketimbang fakta yang sebenarnya. Mereka akan menjadi tuli akan kebenaran, karena efek gema yang ditimbulkan dari ruangan yang tersedia buat dia dan teman-teman yang satu pemikiran saja.
Singkatnya, si pengguna media sosial akan dipaksa hidup dalam dunianya sendiri tanpa mau menerima pendapat yang berbeda dari pemikirannya. Bila ada hal yang berbeda, maka dia akan cari pembenaran menurut versinya sendiri.
Kalo sudah begini, fakta sebaik dan sebenar apapun, akan menjadi mentah karena efek ruang gema tersebut.
Jadi tahu kan, kenapa para kampret setinggi apapun pendidikan mereka apalagi yang nggak berpendidikan, akan sulit menerima kebenaran/fakta, yah karena efek ruang gema tersebut.
Apa solusinya?
Kalo pakai cara persuasif apalagi nasihat untuk bertobat ke jalan yang benar, akan percuma.
Satu-satunya cara adalah dengan ‘sedikit ofensif’. Timbulnya berita bohong berasal dari sebuah sumber yang difabrikasi. Maka pemerintah kudu tegas ‘mengamankan’ para penyebar hoax secara masif dan intensif.
Selain itu, para penceramah yang kerap berujar kebencian baik secara online maupun offline, juga perlu ditertibkan. Dan ini butuh keberanian pemerintah untuk mengambil langkah berani tersebut. Apa mau hal ini terus dibiarkan dan Indonesia menjadi luluh-lantak seperti Irak atau Suriah?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments