Charlie Hebdo (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama saya telah mengulas bagaimana kejanggalan demi kejanggalan terjadi ikhwal penyerangan teroris yang menyasar kantor majalah satir Charlie Hebdo di tahun 2015 silam. (baca disini)
Keanehan yang saya telah ungkapkan pada bagian pertama, baru sebagian. Ada beberapa keanehan lainnya yang dapat ditemukan kalo kita jeli melihatnya.
Pertama, para teroris (Kouachi bersaudara) dapat info darimana bila pada hari Rabu (7 Januari 2015) akan ada pertemuan editorial di kantor Charlie Hebdo? Apakah ini serangan dadakan atau justru serangan yang direncanakan, mengingat pada hari itu editor CH, Stephanie Charbonnier hadir di TKP?
Masa iya mereka bisa dapat informasi dari dukun beranak? Yang paling masuk akal, mereka dapat ‘bocoran’ terhadap agenda internal CH dari sumber ‘terpercaya’. Siapa yang mampu menyediakan akses informasi tersebut?
Yang kedua, intelijen Perancis sendiri memiliki catatan khusus pada lebih dari 1000 warganya yang ada berada dalam pengawasannya di tahun 2012, terkait dengan perjalanan ke Irak dan Suriah terkait perang di wilayah tersebut.
Jadi, para pelaku serangan teroris pada CH telah ‘dikenal dengan baik’ oleh intelijen Perancis. Jadi kalo Perancis bilang kecolongan terhadap aksi tersebut, logikanya kemana? (http://www.nbcnews.com/storyline/paris-magazine-attack/french-intelligence-tracking-1-000-who-have-been-iraq-syria-n282066)
Bahkan menurut laporan Telegraph, Said Kouachi telah melakukan perjalanan ‘rahasia’ ke Yaman di tahun 2011 guna ‘berguru’ pada Anwar al-Awlaki selaku tokoh senior Al-Qaeda di Semenanjung Arab. Masa informasi begini nggak dianggap penting? (https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/11334524/Paris-shooting-suspected-killers-were-on-no-fly-lists.html)
Bukan itu saja. Menurut laporan Telegraph, otoritas Perancis telah diperingatkan akan adanya serangan terhadap CH oleh Said dan Cherif Kouachi. Kalo anda dapat peringatan, mungkin nggak sih anda abai dan nggak melakukan apa-apa? Apalagi ini menyangkut nyawa banyak orang. (https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/11337147/Paris-Charlie-Hebdo-attack-as-it-happened-January-9.html?service=artBody)
Dan keempat, kita semua tahu bahwa Perancis sebagai bagian koalisi NATO telah terlibat dalam membantu, melatih dan mendanai jaringan teroris Al-Qaeda yang bercokol di Timur Tengah dan Afrika, yang dipakai dalam menggulingkan pemimpin Libya Muammar Gadaffi. (https://www.france24.com/en/20110801-france-gives-millions-frozen-gaddafi-funds-rebels-national-transitional-council-libya)
Selain itu, jaringan teroris ISIS yang beroperasi di sepanjang perbatasan Suriah, juga tak luput dari sokongan NATO dimana Perancis merupakan salah satu bagiannya. (http://www.thehindu.com/news/international/article3874842.ece)
Apa iya sudah kasih dukungan dengan menjadi state sponsor for terrorism, Perancis sampai nggak tahu peta jaringan kelompok teroris yang ‘dibinanya’?
Lalu apa yang bisa disimpulkan?
Bahwa serangan tersebut jelas false flag operation, dimana Perancis menggunakan prajurit proxy-nya untuk tujuan tertentu. Ya, kurleb sama dengan Global War on Terrorism yang kerap dimainkan Mamarika.
Jadi kalo ada agenda yang ingin dieksekusi, maka mereka menggunakan proxy jihadis guna melakukan aksi teror terlebih dahulu. Nah begitu jatuh korban, maka agenda mereka yang ‘sesungguhnya’ bakal dijalankan.
“Wajar bila kami bertindak karena ingin menumpas aksi teror. Masa salah sih?” begitu deh bunyi alasannya.
Lantas apa target utama dari serangan teror yang menyasar Charlie Hebdo?
Teka-teki ini terjawab setelah beberapa bulan aksi ‘teror’ tersebut berlangsung. Berbekal alasan serangan teroris tersebut, maka Perancis mengambil langkah untuk mengesahkan UU Pengawasan yang baru terhadap warganya, alih-alih guna memberantas aksi terorisme. (http://www.theguardian.com/world/2015/may/05/france-passes-new-surveillance-law-in-wake-of-charlie-hebdo-attack)
“Bukankah sebelumnya Perancis sudah mempunyai UU Pengawasan yang disahkan pada tahun 1991 tentang penyadapan?”
Betul sekali. Namun sayangnya, UU tersebut nggak up to date alias jadul. Tahun 1991 penggunaan internet dan seluler nggak secanggih tahun 2015. Kalo nggak diperbaharui, mana bisa menyadap warga yang menggunakan akses ponsel dan internet? (http://www.theguardian.com/world/2015/may/05/france-passes-new-surveillance-law-in-wake-of-charlie-hebdo-attack)
Dengan hadirnya UU Pengawasan yang baru, maka akan memberikan otorisasi bagi badan intelijen dan keamanan negara untuk menyadap ponsel dan email tanpa meminta persetujuan dari hakim. Dan ini tentu saja melanggar HAM berupa hak dan privasi individu yang selama ini didengung-dengungkan oleh negara tersebut.
Bahkan PM Perancis kala itu, Manuel Valls dengan ‘bangganya’ menyatakan bahwa UU Pengawasan yang baru nggak kalah ‘hebatnya’ dengan Patriot Act yang berlaku duluan di AS pasca peristiwa 9/11. Ajigile…
Apakah sejarah kembali berulang dengan kasus di Perancis saat ini?
Tentu saja. Kan saya sudah membahasnya pada ulasan saya sebelumnya. (baca disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments