Kalo ingat masa sekolah dulu, ada beberapa teman yang cukup populer. Dan teman yang nggak populer saat itu, kalo mau populer, bisa tempuh dua cara instant. Pertama, pacarin orang yang sudah populer, atau buat sesuatu yang sensasional.
Dengan melakukan tindakan yang konyol, dijamin bisa langsung terkenal satu sekolah, walau kadang berurusan dengan bagian kesiswaan. Walhasil, skorsing pun menanti. Persetan dengan semua itu, yang penting sudah ngetop.
“Bang, kenapa gabener sering membuat sesuatu yang konyol. Dari mulai kali Item yang ditutupin waring buat ngilangin bau, sampai hormat kudu niru gaya power ranger?” tanya temanku.
Itu namanya cari sensasi. Tujuannya? Untuk cari popularitas. Biasanya ini dilakukan oleh mereka yang minim prestasi kerjanya, namun ingin terkenal dengan cara cepat. Daripada kelamaan, short-cut pun ditempuh.Dibuatlah kebijakan yang sensasional. Media meliput. Abrakadabra… dalam sekejap viral-lah apapun yang diambilnya.
Ini bukan tanpa perhitungan. Sekilas berasa konyol. Kok bisa konsultan politiknya membiarkan itu terjadi. Pikir kita, bukannya itu bisa membuat orang makin antipati sama sosok gabener?
Gini ya…dalam term politik, ada 2 istilah yang sering kebalik-balik pemaknaannya. Satu popularitas, yang satu lagi elektabilitas. Popularitas berkaitan dengan keterkenalan, sementara elektabiltas berhubungan dengan keterpilihan.
Kita sering mencampur aduk kedua istilah itu. Kalo seseorang punya popularitas yang mumpuni, maka elektabilitasnya pasti sami mawon. Atau sebaliknya. Padahal, kenyataannya ya nggak juga. Seorang Rhoma Irama terbilang cukup populer. Tapi apa iya punya elektabilitas yang tinggi untuk nyapres, misalnya?
Dalam politik praktis, ada tahapannya. Untuk memiliki elektabilitas yang tinggi, seseorang harus dikenal publik terlebih dahulu. Dia harus populer. Aliasnya, popularitas harus direngkuh.
Dan cara paling gampang mendongkrak popularitas seseorang, adalah dengan membuat sesuatu yang konyol. Baik dari tindakan, perkataan maupun kebijakan.
Gak percaya? Coba lihat media sosial, mana yang lebih gampang jadi viral, sesuatu yang normal-normal aja atau sesuatu yang warbiyasah?
Disini peran media sangat dominan untuk mendongkrak popularitas seseorang. Apa cuma media yang diuntungkan? Tidak juga. Semua pihak diuntungkan. Win-win-win solution. Medianya jadi banyak visitor-nya, visitor juga merasa terhibur atau jengkel dengan berita itu, dan yang buat aksi konyol terkatrol popularitasnya.
Jangan heran seorang gabener kerap mengeluarkan kebijakan ataupun tindakan yang seolah-olah konyol. Padahal, tanpa kita sadar, itu adalah bagian dari skenario untuk mendongkrak popularitas-nya. Biar orang seantero nusantara kenal sama sosok beliau, walaupun dari sisi negatif. Itu bukan soal.
Kelak sudah terkenal, lewat polesan “pencitraan”, maka semua yang semula negatif, akan berbalik arah menjadi positif. Dan soal pencitraan, kita tahu siapa yang ahli dibidang ini…
Terus bagaimana cara agar popularitas bisa dibendung?
Ada dua cara, sebenarnya. Pertama jangan nge-share sesuatu tentang orang yang ingin meraih popularitas, baik itu perkataan, perbuatan maupun kebijakan publik yang dibuatnya. Makin kita sering nge-share, makin jadi viral dan ujung-ujungnya akan populer-lah sosok tersebut. Cuekin aja, itu cara yang terbaik…
Gimana kalo kita udah nggak tahan ngeliat aksi konyol yang sudah dibuatnya? Nah, ini bisa pake cara kedua. Ini namanya name calling. Pake nama alias jangan sekali-kali pake nama asli-nya untuk sekedar berkomentar atau maki-maki si orang tersebut.
Ini hanya akan beroleh kesuksesan kalo kita kompakan untuk memanggil si orang dengan satu julukan saja. Ingat ya, jangan dengan banyak julukan. Selain itu, kasih julukan dengan konotasi negatif semisal gabener BEOL ataupun Wan Abud. Setau saya, orang Arab paling tersinggung kalo disebut Wan Abud, karena terlihat OON-nya.
Apa ini akan berhasil? Pasti…asal kita kompak. Masalahnya, bisakah kita kompak?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments