Bukan Tanpa Masalah
Oleh: Ndaru Anugerah – 11072024
Apa yang menjadi trending topic selama 2 tahun belakangan ini?
Jawabannya mungkin bisa bervariasi. Tapi satu yang pasti, Artificial Intelligence (AI) merupakan salah satu pokok bahasan yang paling banyak diperbincangkan.
Bagaimana tidak?
Saat anda berkeinginan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen di kampus tapi anda punya sedikit waktu untuk mengerjakannya, anda bisa meminta bantuan AI untuk menangani pekerjaan anda.
Saat seorang penulis lagu bingung tentang lirik yang harus dipakainya pada karya terbarunya, tinggal minta bantuan AI, maka masalah langsung terpecahkan.
Atau saat orang tua bingung mencarikan sekolah buat anak tersayangnya karena harus mencari referensi kemana, tinggal minta bantuan AI maka semua informasi mulai dari biaya, lokasi hingga apa prestasi yang diperoleh sekolah tersebut langsung tersedia dalam waktu sekejap.
Semua karena hadirnya AI yang digadang-gadang akan membuat hidup manusia menjadi jauh lebih mudah.
Pertanyaanya: apakah AI sebagai produk teknologi, nggak mendatangkan masalah?
Anda perlu tahu bahwa dalam mengoperasikan AI, butuh energi yang nggak sedikit. Pada kenyataannya, banyak kalangan menuding AI sebagai karya teknologi yang paling boros energi, sehingga keberadaannya bisa mengancam kelangsungan jaringan energi listrik.
Kok bisa?
Ini karena hadirnya pusat data AI. Menurut laporan penelitian, pusatdata AI mengonsumsi listrik 10 hingga 15 kali lebih banyak. Ini terlihat pada pertumbuhan energi pada pusat data di seluruh dunia, dari mulai 100 TWh di tahun 2012, menjadi 350 TWh di tahun 2024. (https://www.bloomberg.com/graphics/2024-ai-data-centers-power-grids/)
Bagaimana bisa secepat itu?
Karena untuk membangkitkan pusat data AI, perlu perangkat-perangkat canggih yang terkenal boros energi untuk men-generate sistem datanya. Dan ini nggak sebanding dengan perangkat tradisional yang biasa kita pakai sehari-hari, dimana saat kita enter, hasilnya baru tersedia setelah jedah beberapa saat. (https://www.vox.com/technology/2023/3/6/23624015/silicon-valley-generative-ai-chat-gpt-crypto-hype-trend)
Nah, pusat data yang AI yang bekerja dengan perangkat canggih haus energi itu untuk melakukan macam-macam tugas, mulai dari membuat email, melakukan cat-video, hingga memutar video-video Hollywood agar bisa berjalan lancar saat digunakan oleh users.
“Sektor AI diperkirakan akan menghabiskan energi sekitar 85 TWh hingga 134 TWh dalam beberapa tahun. Ini belum lagi ditambah dengan penggunaan energi listrik untuk PC yang menghabiskan 75 TWh ataupun penambangan kripto yang butuh 110 TWh,” ungkap Dr. Alex de Vries seorang peneliti asal Belanda. (https://www.theverge.com/24066646/ai-electricity-energy-watts-generative-consumption)
Pendapat senada juga dilontarkan oleh IEA (International Energy Agency) yang memperkirakan kebutuhan energi bagi AI bagi pusat datanya sekitar 620 TWh hingga 1050 TWh di tahun 2026 mendatang. (https://iea.blob.core.windows.net/assets/6b2fd954-2017-408e-bf08-952fdd62118a/Electricity2024-Analysisandforecastto2026.pdf)
Jadi, penggunaan teknologi AI nggak ramah lingkungan, karena boros energi. Ini kontras dengan isu pemanasan global yang selama ini didengang-dengungkan oleh sang Ndoro besar yang harus segera ditanggulangi. Salah satunya dengan mengirit penggunaan konsumsi listrik.
Irlandia salah satunya. Karena pusat datanya (yang memakai AI) menggunakan hampir 20% konsumsi listrik nasional-nya, akibatnya penggunaan listrik keluarga terpaksa diminta untuk dikurangi. (https://www.bbc.com/news/articles/cpe9l5ke5jvo)
Inggris juga punya kasus yang sama, karena untuk mengaktivasi pusat data dengan penggunaan AI, permintaan listrik jadi meningkat 6 kali lipat selama satu dekade belakangan. Ujung-ujungnya konsumsi listrik nasional yang bukan nggak mungkin akan dikorbankan. (https://www.bbc.co.uk/news/articles/cj5ll89dy2mo)
Berbekal temuan ini, nggak aneh jika banyak kalangan (dari mulai akademisi hingga LSM) menuding AI sebagai teknologi yang memicu pemanasan global.
Apakah AI bakal dimusnahkan?
Tentu tidak. Saya pernah bahas soal alasan mengapa AI akan digunakan sebagai alat penambang data yang potensial bagi kartel sang Ndoro besar. Masuk akal jika AI akan dipertahankan, meskipun nggak ramah lingkungan sekali-pun. (baca disini dan disini)
Salah satu pembela AI adalah Bill Gates. Berbicara pada publik di London, Gates mengatakan, “Jangan berlebihan dalam mendiskreditkan AI yang boros energi dalam menjalankan sistem generatif-nya. Pada gilirannya, teknologi AI akan mengimbangi konsumsi listriknya yang besar.” (https://www.ft.com/content/68495f0d-4d35-4270-a33d-02e9e537460f)
Memangnya berapa peningkatan dalam penggunaan listrik global untuk keperluan pusat data?
Sekitar 2-6%. Itu kalo merujuk data yang diberikan Bill Gates. Itupun data kasar. Data sesungguhnya nggak ada yang tahu pasti.
Pertanyaannya: apakah AI akan bisa mengurangi laju penggunaan listriknya yang besar seperti klaim Bill Gates? Itu jadi tanda tanya besar.
Yang jelas, corporate sekelas Microsoft saja telah mengakui bahwa emisi gas rumah kaca global telah meningkat hampir sepertiga sejak 2020 silam. Ini dipicu oleh pembangunan pusat data berbasis AI yang banyak dikembangkan di banyak negara. (https://www.msn.com/en-us/money/other/microsoft-signs-carbon-credit-deal-with-occidental-to-tackle-ai-related-emissions/ar-BB1pHj2I)
Dengan kata lain, tudingan bahwa teknologi AI nggak ramah lingkungan, tentu tidak berlebihan, karena memang ada datanya. Namun demikian, demi kepentingan sang Ndoro besar dalam menambang data penggunanya, maka AI akan tetap digunakan, apapun taruhannya.
Kalo anda pikir AI adalah masalah, anda salah besar.
Ada yang lebih ngeri lagi ketimbang penggunaan AI.
Apa itu?
Pada tulisan lain saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)