Oleh: Ndaru Anugerah
Bolivia, 2005. Terjadi demonstrasi besar-besaran terhadap presiden Carlos Mesa. Penyebabnya adalah rencana Mesa yang akan menjual cadangan gas alam Bolivia kepada perusahaan multinasional asing AS dan Spanyol.
Masalahnya, terlalu sedikit marjin keuntungan yang akan didapat bagi rakyat Bolivia.
Demonstrasi menuai sukses. Mesa terjungkal. Padahal baru 2 tahun dia berkuasa setelah memenangkan pemilu.
Diantara para demonstran tersebut, ada satu sosok yang berasal dari partai Movimiento al Socialismo, alias MAS yang kelak akan didaulat memimpin Bolivia selama 14 tahun kemudian. Dialah Evo Morales. Dan ibarat dejavu, peristiwa kembali terulang. Kali ini Morales yang dijungkal.
Kenapa Morales perlu dikudeta?
Selalu ada kesamaan pada negara-negara yang dipimpin oleh rezim sosialis yang dijadikan alasan utama untuk dilancarkannya sebuah kudeta atas arahan Mamarika.
Pertama, negaranya kaya SDA. Kedua pemimpinnya berhaluan sosialis. Dan ketiga, sang pemimpin sudah berani petantang-petenteng sama AS secara frontal.
Ketiga hal tersebutlah yang bisa menjelaskan seorang Morales terpaksa dikudeta dan akhirnya hengkang ke Meksiko untuk mencari suaka politik.
Sudah rahasia umum bila Bolivia kaya akan sumber alam, utamanya migas. Masalahnya, migasnya itu dikasih hak konsesinya ke perusahaan multinasional asing dengan harga obral. Dan ini dilakukan oleh rezim boneka AS yang berkuasa di Bolivia. Walhasil, rakyat Bolivia nggak menengguk manisnya rasa migas.
Praktis setelah Morales naik panggung, pendapatan dari migas langsung naik pesat. Kalo sebelumnya cuma dapat 731 juta USD pertahun, maka angka yang didapat dibawah kepemimpinan Morales menjadi 4,95 milyar USD. Hampir 7 kali lipatnya.
Kok bisa? Karena Morales menasionalisasi perusahaan migas yang ada di negara tersebut, tanpa ampun. Dan ini merupakan kredit point tersendiri bagi Morales dimata rakyatnya, sekaligus tabungan negatif untuk segera dilengserkan bagi kapitalis pemilik perusahaan migas tersebut.
Dengan surplus keuangan nasional dari hasil jualan minyak, Morales mulai membangun Bolivia dengan cara mengangkat status negaranya dari jurang kemiskinan. Tercatat angka kemiskinan mulai terjun bebas dari 60% di tahun 2005, menjadi hanya 35% di tahun 2018.
“Sebagai seorang pemimpin sosialis yang asli Indian, Morales sangat sadar potensi,” demikian ungkap seorang. Maksudnya? Kalo hanya mengandalkan sektor migas, maka kelak nasib Bolivia akan bisa sama dengan Venezuela. Aliasnya, Bolivia nggak boleh bergantung semata-mata pada sektor migas.
Dengan kata lain diversifikasi harus dilakukan dari mulai pertanian hingga bermain di pasar internasional untuk komoditas Litium.
Litium? Iya. Bolivia salah satu negara kaya akan Litium.
Menurut riset, kandungan Litium yang ada di pegunungan Andes Bolivia mencapai 17-20% cadangan dunia. Dengan kandungan Litium sebanyak itu, maka Bolivia bisa menjadi negara kaya ke depannya, mengingat harganya yang terus meroket sesuai dengan banyaknya permintaan.
Nggak percaya?
Uni Eropa saja sudah mendeklarasikan bahwa pada 2040 nanti, kendaraan yang boleh beroperasi di daratan Eropa harus bebas dari bahan bakar fosil. Substitusinya, yah Litium tadi. Dan Tesla sebagai mobil listrik, telah sukses membuat prototype-nya.
Anehnya, banyak negara seperti AS, Kanada, Jerman hingga Korsel yang banyak memproduksi smartphone mencoba menguasai tambang Litium di Bolivia, namun berakhir kecewa. Karena Morales jelas-jelas menampiknya. Pilihan justru jatuh ke perusahaan kalo nggak China ya, Rusia.
Makin meradanglah para koprorasi besar tersebut pada sosok Morales. “Sialan, gue ditendang, Aseng malah diterima,” demikian umpat mereka.
Dan tingkah Morales makin jumawa saat dirinya mulai bersuara vokal, “Musuh terburuk umat manusia adalah kapitalisme AS.”
Cukup sudah kesabaran Mamarika melihat tingkah pola Morales. Singkat cerita, rencana kudeta mulai disusun, lewat momen pilpres di bulan Oktober 2019 yang lalu. Skenarionya sebenarnya mirip-mirip yang pernah terjadi di negeri ber-flower.
Lewat tangan USAID, para operator lapangan alias para oposisi Bolivia yang akan bermain, mulai di berikan briefing di Washington. Wikileaks-lah yang memberikan bocoran akan rencana kudeta tersebut.
Skenario yang dimainkan adalah apapun yang terjadi pilpres harus dinyatakan curang. Bahkan sebelum penghitungan suara selesai dilakukan.
Untuk yang satu ini, lembaga sekelas OAS alias Organisasi Negara Amerika yang berkantor di Washington, yang diberikan kewenangan. Plus media mainstream, tentunya. Tujuannya satu, membentuk opini publik, bahwa benar proses pilpres-nya curang.
Operator dilapangan yang didaulat untuk mengadakan demonstrasi penolakkan Morales, adalah Uni Juvenil Crucenista, dibawah komando Luis Camacho. Organisasinya mirip-mirip 212 yang ada di negeri +62. Kerap mengobral ayat agama untuk menghantam musuh politiknya.
“Bolivia adalah negara milik Kristus dan karenanya Morales harus ditumbangkan,” demikian ucapan viralnya. Padahal Camacho sendiri bukan makhluk kudus tak bercela. Namanya telah sukses tercantum pada dokumen Panama Papers yang melegenda itu. Yaelah…
Dan terakhir, perang asimetrik berupa “isu-aksi-pendudukan”, tidak akan berhasil tanpa dukungan pihak militer. Maka Washington segera mengontak para Jenderal angkatan bersenjata yang pernah mengenyam pendidikan di School of America. “Ini saatnya kalian balas budi pada kami.”
Singkat kata, dukungan militer yang didaulat oleh Jenderal Williams Kaliman pada rencana kudeta, sukses didapatkan. Apalagi dengan iming-iming bahwa sang Jenderal akan dapat kompensasi besar saat rencana berhasil dijalankan.
“Demi alasan stabilitas, kami angkatan bersenjata Bolivia mendesak agar Morales mundur dari jabatannya,” demikian ultimatum sang jenderal.
Walaupun secara de facto Morales memenangkan pilpres dengan skor 47% alias beda 11% dari pesaingnya Carlos Mesa, nyatanya Morales dipaksa mundur. Dan Morales lebih memilih lengser, ketimbang memaksakan diri untuk terus berkuasa, demi menghindari jatuhnya korban dari rakyat jelata yang merupakan pendukung setianya.
Pupuslah harapan rakyat Bolivia untuk menjadi negara kaya kedepannya, walaupun memiliki cadangan “minyak masa depan” yang lumayan banyak. Dan kita tahu bersama, siapa yang paling diuntungkan dengan lengsernya Morales.
Dari kasus Bolivia, kita bisa belajar satu hal. Bahwa sekelas negeri +62 yang kaya akan sumber alamnya, apa mungkin dibiarkan melenggang dengan merdeka? Jokowi sangat sadar akan hal ini. Karenanya nggak aneh kalo kebijakan yang dibuat olehnya nggak mungkin sefrontal Morales.
“Pemimpin yang baik adalah yang sadar akan kemampuannya, tahu persis siapa musuhnya serta akan menghancurkannya menjadi abu.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments