Asumsi Cacat Lainnya
Oleh: Ndaru Anugerah
“Ayo ikutan booster, agar kita bisa terbebas dari si Kopit,” begitu bunyi spanduk yang terpasang di pinggir jalan. Asumsinya, makin banyak suatu populasi menerima suntikan, maka makin aman-lah populasi tersebut dari si Kopit yang kini mulai bervariasi layaknya varian donat JCo.
Pertanyaan kritisnya: kalo begitu asumsinya, makin sedikit negara yang menjalankan program enjus massal bagi penduduknya, maka makin sedikit orang yang bakal selamat dari amukan si Kopit, yang konon mulai kebal vaksin.
Kalo si Kopit telah kebal vaksin, ngapain juga repot-repot divaksin, coba?
Sekarang kita coba jawab asumsi cacat tersebut, tentu saja dengan menggunakan logika yang sederhana, disertai dengan data penunjang, tentunya.
Maksudnya gimana?
Kita coba cari negara yang sedikit menjalankan program enjus massal bagi warganya. Dari situ kita mau lihat, benarkah asumsi yang menyatakan bahwa makin banyak suntikan diberikan pada populasi, maka makin aman status dari serangan si Kopit yang katanya ‘mematikan’.
Anda tahu Haiti, bukan?
Negara yang terletak di Kepulauan Karibia tersebut termasuk negara yang paling minim menjalankan program enjus massal bagi warganya. Berdasarkan data, Haiti baru memvaksin lengkap sekitar 1,5% dari penduduknya yang berjumlah 11,68 juta jiwa. (https://graphics.reuters.com/world-coronavirus-tracker-and-maps/countries-and-territories/haiti/)
Angka yang sangat sedikit, bukan?
Dengan melihat data ini, logikanya akan banyak korban kematian akibat si Kopit, sesuai dengan asumsi di atas, pada negara Haiti.
Apakah demikian?
Sekali lagi, berdasarkan data, kematian akibat Kopit di Haiti hanya 838, dengan 32.464 kasus yang terkonfirmasi, sejak plandemi Kopit berkecamuk di dunia. Silakan anda hitung sendiri berapa persentase kematiannya. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/haiti/)
Terus kita coba bandingkan dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya telah dienjus secara komplit. Pertanyaannya: mana yang justru lebih banyak mendatangkan kematian: Haiti atau negara-negara tersebut? Coba lihat grafik berikut ini:
Saya nggak mau menyimpulkan, karena memang itu nggak perlu disimpulkan. Setidaknya asumsi cacat di atas, telah terjawab sudah.
Bagaimana mungkin penyakit flu biasa mendatangkan kematian yang fatal?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments