Antara Fakta, Opini dan Analisis
Oleh: Ndaru Anugerah
“Data yang anda sajikan nggak bisa dibuktikan. Artinya hoax,” begitu pungkas sebuah sumber media mainstream menanggapi sebuah postingan seseorang yang ada pada platform media sosial.
Saya cuma tersenyum membaca pernyataan tersebut. Karena saya yakin banyak orang yang misqueen literasi, sehingga agak sulit membedakan fakta, opini dan analisis. Sebagai akibatnya keluar pernyataan model begitu. (baca disini)
Saya coba ulas dengan bahasa yang mudah untuk dipahami.
Mengacu pada definisinya, fakta adalah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. (https://en.wikipedia.org/wiki/Fact)
Jadi fakta adalah data empiris. Ukurannya bukan benar atau salah, tapi valid atau invalid.
Contoh paling gampang adalah anda berjualan gorengan saat Ramadhan. Anda terus membukukan catatan tentang berapa banyak gorengan terjual saban hari. Saat ditanya orang lain tentang berapa banyak gorengan terjual dalam sehari, anda akan punya datanya. Itulah fakta.
Karena ada data empirisnya, dan bisa dibuktikan kebenarannya. Jika tidak, maka bukan fakta alias fiktif atau hoax, karena tidak tervalidasi datanya.
Saat pemerintah mengumumkan/merilis data resmi tentang C19 secara online, tiba-tiba ada ‘pihak’ yang mengklaim data yang disajikan pemerintah ‘ngawur’, dan lucunya hanya klaim tanpa ditunjang data yang bisa divalidasi, maka bisa dipastikan itu hoax.
Nenek-nenek juga bisa kalo cuma maen klaim.
Karenanya, dalam penulisan ilmiah, meencantumkan sumber data baik secara primer maupun sekunder, wajib dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka tulisan yang akan ditampilkan, misalnya, hanya akan berupa opini semata.
Apa itu opini?
Opini adalah ide/pendapat untuk menjelaskan kecenderungan tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak obyektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian. (https://id.wikipedia.org/wiki/Opini)
Dengan kata lain, opini bersifat subyektif karena memasukkan keyakinan atau nilai-nilai yang dianutnya. Opini bisa memasukkan fakta valid, bisa juga nggak. Nah kalo yang nggak ada datanya sama sekali, yang begituan disebut ‘bualan’.
Nah, karena sudah memasukkan unsur keyakinan atau nilai yang dianutnya, maka opini itu menyangkut masalah integritas. Apakah dia berbicara atas kepentingan diri sendiri (Aristotelian) ataukah demi kepentingan banyak orang (Baconian).
Tanpa memahami ini, maka penulis yang lebih mengutamakan opini, bukan nggak mungkin bisa membawa pembacanya ke arah hasutan, fitnah, penyesatan atau malah kebohongan publik.
Terkadang, para ahli membagikan pendapat mereka dalam berita karena mereka memiliki pengetahuan khusus. Ini jelas berbeda dengan pendapat pribadi yang kurang didasarkan pada keahlian dan lebih kepada preferensi semata.
Saat itulah, kita akan naik tingkat pada apa yang disebut sebagai analisis.
Apa itu analisis?
Analisis merupakan proses memecahkan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik. (https://en.wikipedia.org/wiki/Analysis)
Pada taksonomi Bloom, menganalisa berada pada level ke-4 tangga piramida dari 6 tingkat yang tersedia. Kalo anda pernah dengar istilah ‘soal HOTS’ (high order thinking skills), maka analisa memegang peranan penting pada soal tersebut. Dan biasanya butuh penalaran dalam menjawabnya.
Analisis berbicara soal rigiditas bukan soal benar atau salah. Alat utama dalam analisis adalah logika. Jadi kita hanya bisa mengatakan bahwa analisisnya logis atau nggak logis. Itu saja. Jadi sekali lagi bukan soal benar atau salah.
Dalam menyajikan analisis, biasanya dipakai data-data penunjang. Data-data tersebut kemudian dirangkai dalam suatu hubungan yang bersifat masuk akal atau justru sebaliknya.
Sebuah analisa, bisa mengarah pada kesimpulan akhir, bisa juga nggak. Tergantung data yang disajikan lengkap apa nggak.
Misalnya ada kematian orang nggak dikenal yang ditemukan dipinggir jalan. Kalo analisanya ditunjang oleh visum et repertum yang lengkap, maka akan ada kesimpulan akhir berupa penyebab kematian pada orang tersebut.
Sebaliknya kesimpulan yang diambil tanpa data penunjang yang valid, maka hanya akan sampai pada yang namanya hipotesa, atau malah spekulasi. ‘Jangan-jangan….,” kurlebnya begitu.
Suatu kesimpulan bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, sangat bergantung pada rigiditas suatu analisa. Bagaimana penulis mampu membangun hubungan logis antar fakta. Disinilah pentingnya teori yang dimiliki penulis, sebagai penunjang analisis yang dilakukannya.
Untuk menjadi seorang analis yang handal, diperlukan latihan menulis yang sangat lama. Kebayang donk, untuk mau menulis saja sudah butuh waktu yang lama dan melelahkan, gimana dengan menganalisis? Dan parahnya gak ada jaminan juga analisa yang dihasilkan bakal dianggap penting sama orang lain atau justru malah dicuekin.
Nggak apa-apa juga. Anda sudah berani tampil beda.
Setidaknya, dengan berani menulis, anda sudah mendekati tahap analisa dan tentunya lebih baik dari mereka yang hanya mampu copas tulisan orang, atau malah hanya bisa nyinyir atas karya tulis anda. Yang kaya begituan mah jangan diambil hati, Bray…
Kenapa kita harus mau menulis? Karena menulis adalah kemampuan produktif tingkat tinggi dalam berbahasa, menurut Spratt, Pulverness & William (2005:26) dalam bukunya The Teaching Knowledge Test Course. Dan di negeri ber-flower ini, keterampilan menulis merupakan barang langka di pasaran.
Sampai sini clear ya…
Kalo kemudian ada yang bilang, analisis anda tidak bisa dibuktikan, kita bisa cukup tersenyum. Karena yang bisa dibuktikan, itu namanya data. Tugas seorang analis bukan untuk membuktikan sesuatu. Itu mah kerjaan detektif Connan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments