“Mengapa Jokowi sangat ingin dijatuhkan?” demikian isi pertanyaan yang dialamatkan kepadaku.
“Jawabannya bisa pendek, bisa juga panjang,” balasku kepadanya. “Kalo secara pendek, karena Jokowi sudah berani mengusik kepentingan bisnis Paman Sam di Indonesia,” ungkapku.
“Kalau secara panjang?” timpalnya. Ini yang akan saya ulas pada tulisan saya kali ini.
Sudah rahasia umum, bahwa Indonesia adalah negara yang kaya SDA-nya dari mulai minyak hingga emas. Hal ini sudah diketahui oleh negara AS paska kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Tak heran bila sekelas mantan presiden AS Eisenhower pernah berkata, “Kalau Vietnam sampai jatuh ke angan komunis, maka negara tetangganyapun akan segera menyusul. Kita tidak boleh kehilangan Indonesia, yang lebih luas dan lebih banyak sumber daya alamnya.”
Namun kenyataan tak seindah yang diharapkan Eisenhower. Indonesia saat itu tengah dipimpin oleh seorang Soekarno yang Nasionalis dan agak dekat dengan ‘golongan kiri’. Tambah lagi pertumbuhan PKI sebagai kiri di Indonesia, merupakan ancaman tersendiri bagi kepentingan AS.
Hal ini bukan isapan jempol, mengingat British Commissioner General Officice di Singapura pernah mengeluarkan analisanya menjelang pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Apa isinya? Kalau pemilu dilangsungkan saat ini (1955), maka bisa jadi PKI akan memenangkan kontestasi.
Berbekal hasil analisa di lapangan tersebut, maka AS-pun panik. Skenario segera disusun. Pertama PKI harus digembosi. Caranya? Cari partai potensial yang bisa diajak ‘kerjasama’ untuk melakukan tujuan tersebut. Setelah kasak-kusuk, nemulah satu partai yang bernama Masyumi sebagai proxy war-nya.
Setidaknya, mantan anggota CIA yang bernama Joseph B. Smith mengamini langkah ini. Segera perintah rahasia dari Gedung Putih dengan No.NSC 5518 meluncur. Isinya jelas: untuk membendung kekuatan komunis di Indonesia, maka Masyumi kudu dikasih bantuan, agar bisa memenangkan pemilu di parlemen.
Nggak pake lama, dana sebesar USD 1 Juta segera digelontorkan buat dana kampanye partai Masyumi di lapangan. Satu agendanya, agar PKI jangan sampai mendominasi apalagi menang pemilu. Bisa rugi bandar..
Setelah gerilya door to door, dari daerah yang satu ke daerah yang lain plus lobi-lobi kelompok-kelompok anti PKI dan PNI di Indonesia, maka Masyumi bisa meyakinkan ‘tuannya’ bahwa aroma kemenangan itu sudah tercium kuat baunya. “Aha..rencana berjalan lancar, kek nya..”
Apa lacur. Hasil pemilu 1955 tak sesuai dengan yang dijanjikan Masyumi. Udah keluar uang lumayan banyak, tapi Masyumi yang diharapkan menang, dipaksa keok dengan meraih posisi runner up dibawah PNI dengan hanya beroleh 7,9 juta suara alias 20,92%.
Dengan hasil yang demikian, maka rencana untuk menguasai parlemen, bubar sudah. Padahal dollar segitu banyak digelontorkan, tapi target nggak sesuai janjinya. “Speak-speak gokil, rupanya..”
Gagal pada rencana A, maka rencana B-pun digelar. Targetnya: Soekarno harus dilumpuhkan, lewat upaya pembunuhan. Untuk yang satu ini, maka operator lapangan yang didaulat adalah gerombolan DI/TII, yang kerap menyuarakan pembentukkan Darul Islam di Indonesia.
Serangan demi serangan untuk menjungkal Soekarno dilancarkan. Serangan pertama terjadi pada 30 November 1957, saat Soekarno menghadiri malam amal di Sekolah Rakyat Perguruan Cikini, sekolah dimana Megawati dan Guntur anaknya mengenyam pendidikan.
Saat hendak pulang sekitar pukul 20:45, bom dan granat-pun diledakkan menyasar diri sang Proklamator tersebut. Serangan ini setidaknya menewaskan 10 orang dan 100 orang lainnya luka-luka. Namun serangan yang dilakukan oleh Jusuf Ismail dkk ini (anggota DI/TII) gagal mencapai targetnya untuk membunuh Soekarno.
Serangan kedua terjadi pada tahun 1960. Saat hendak menuju ke Makassar dari bandara Mandai, rombongan Soekarno diberondong dengan senapan dan mortir. Pelakunya nggak lain gerombolan Kahar Mudzakar, pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan. Namun, serangan inipun kembali gagal membunuh sang Putra Fajar, walaupun beliau hanya memakai jip dengan kap terbuka, karena ingin disambut oleh rakyatnya dijalanan.
Rencana serangan berikutnya nggak kalah seru, yaitu saat Soekarno hendak melakukan shalat Ied 1381 H di Jakarta. Walaupun senjata berupa pistol dan granat telah dipersiapkan, tapi belum sempat terlaksana, upaya pembunuhan ini berujung kegagalan. Lagi-lagi kelompok Iding dan Hidayat yang merupakan anggota DI/TII ada dibalik rencana pembunuhan tersebut.
Dan terakhir, adalah rencana pembunuhan Soekarno pada Hari Raya Idul Adha 14 Mei 1962, tepatnya saat shalat Ied berlangsung. Lagi-lagi upaya yang dilakukan oleh jaringan DI/TII tersebut (Harun dan Hidayat), menemui kegagalan. Soekarno tidak lecet sedikitpun alias selamat.
Dan belakangan, lewat pidato Soekarno pada hari Pahlawan 10 November 1953, kita ketahui bersama bahwa upaya melenyapkan sang Proklamator ternyata sudah ada grand design sebelumnya.
Lewat surat-surat Kartosoewirjo kepada para pengikutnya, beliau menyerukan upaya jihad dibawah panji-panji Negara Islam Indonesia, dengan cara melenyapkan Soekarno dari muka bumi dengan segala cara. Dalam suratnya tersebut ada ungkapan “Amerika staat achter ons” yang berarti Amerika ada dibelakang kita. Klop sudah, skenarionya.
Memang upaya pembunuhan Soekarno lewat tangan DI/TII menemui kegagalan. Tapi sejarah juga mencatat bahwa jatuhnya Soekarno lewat peristiwa G-30S, karena ada andil AS didalamnya.
“Jokowi itu mirip-mirip Soekarno. Makanya saat dia (blusukan) kemana-mana tanpa ada pengawalan yang ketat, karena memang nggak mau ada jarak dengan rakyatnya,” demikian celoteh temanku.
Tapi yang paling penting, ide-ide Jokowi yang sudah berani mengusik kenyamanan bisnis Paman Sam di Indonesia walau tidak se-ekstrim Soekarno, sudah layak dipandang sebagai ancaman. Dan ancaman harus dilenyapkan.
Karenanya sangat menarik mengikuti alur cerita pilpres 2019 kali ini. Kalo ada yang mengatakan bahwa pilpres kali ini kurang gregetnya dibanding pilpres 2014, maka saya pastikan bahwa analisa itu salah besar. Ada nuansa ‘cold war’ didalamnya. Dimana Jokowi tengah menjadi bidikan untuk segera ‘dilumpuhkan’ lewat jalur konstitusional.
Dan cara termurah dan termudah menjatuhkannya bukan lewat skenario penembakan, pengeboman atau bahkan kudeta, melainkan lewat gerakan door to door yang kini masif digelar proxy AS di Indonesia. Masalahnya, tegakah kita membiarkan pakde berjuang sendirian?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments