Belakangan ini banyak ulasan tentang skenario rusuh pasca gelaran pilpres 2019. Banyak sudah dan bertebaran dimana-mana. Akibatnya orang jadi parno dan resah, padahal baru analisa. Coba kita telaah bersama, bagaimana analisanya?
Isu tentang surat suara yang tercoblos atas nama paslon 01 JOMIN yang ‘katanya’ diimpor dari Cina sebanyak 7 kontainer, adalah pemicunya. Apa motifnya? Untuk menggiring opini publik untuk tidak percaya pada pemerintahan yang sah dan otomatis mendelegitimasi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
Ini bukan tanpa sebab. Karena isu ini dimainkan secara masif dan sistematis dan ujung-ujungnya bisa ditebak. Publik bisa jadi termakan isu tersebut dan percaya bahwa rejim Jokowi cukup panik dengan melakukan cara-cara inkonstitusional. Singkat kata terjadilah migrasi besar-besaran atas sikap yang diambil rejim pakde.
Walhasil, pada pemilu presiden nanti, perolehan suara pakde bakal jeblok, sehingga pemenangnya adalah paslon 02 BOSAN. Dan kampret bisa teriak gembira ala Dora: Berhasil-Berhasil….
Pun, let’s say kalo seandainya pakde terpilih kembali pada 17 April nanti. Dengan menuai isu akan pemilu yang sarat kecurangan yang dilakukan oleh rejim Jokowi, maka akan terjadi akumulasi ketidakpuasan ‘rakyat’ menyambut hasil final perhitungan suara.
Rakyat akan berbondong-bondong turun ke jalan, dan bola salju yang besar bukan tidak mungkin akan terjadi. Akibatnya presiden terpilih akan dipaksa turun dari singgahsana oleh tekanan aksi parlemen jalanan yang bersuara “Turunkan Presiden Jokowi karena Pemilunya Curang!”
Begitul kurang lebih skenario-nya.
Ini bukan isapan jempol, karena Moeldoko-lah sebagai wakil TKN JOMIN yang menyuarakan hal tersebut.
“Untuk itu dari awal sudah saya ingatkan jangan main-main dengan itu. Saya ingatkan jangan main-main tapi kalau masih main-main, saya juga punya ‘mainan’. Ya ada permainan yang tidak enak,” demikian pernyataan Moeldoko (8/1).
Lebih lanjut Moeldoko menambahkan, “Dalangnya (kita) sudah tahu, nanti akan ketahuan satu persatu akan ketahuan.”
Kesimpulannya, isu surat suara tercoblos adalah upaya menggiring opini publik secara otomatis untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu secara umum dan pemerintahan Jokowi secara khusus.
Lantas kemudian, benarkah akan terjadi kerusuhan pasca pemilu nanti?
Untuk membuat kerusuhan, perlu kekuatan massa yang masif. Siapa yang akan kira-kira bisa digerakkan nantinya? Paling ya cuma para kampret yang kemarin mengadakan reuni Monas 212. Jumlahnya nggak signifikan. Karenanya mereka perlu mengandeng kekuatan massa cair untuk bersimpati terhadap gerakan mereka lewat gerilya door to door yang kini mereka jalankan.
Bagimana keefektifannya? Kita lihat nanti. “Kalaupun terjadi, yang jelas jumlahnya nggak akan nyampe juta-jutaan,” demikian prediksi seorang analis politik. Dengan jumlah yang hanya demikian, bisa buat apa?
Berikutnya, karena Indonesia negara kepulauan, maka akumulasi massa, tidak boleh hanya terjadi di Jakarta. Di daerah-daerahpun musti terjadi akumulasi massa untuk memberikan tekanan politik. Pertanyaannya, apa kampret punya jaringan yang demikian masif di seantero nusantara?
Selanjutnya, untuk kerusuhan, butuh pengorganisasian yang baik. Kerusuhan Mei 1998 adalah contoh kasus yang baik. Demikian masifnya, sehingga memberikan efek chaos yang luar biasa. Namun kita bisa lihat bersama, skenario pasca rusuh yang diharapkan, toh gagal mencapai sasarannya.
Karena apa? Kekuatan angkatan bersenjata gagal dipecah. Aliasnya, walaupun ada upaya ‘kudeta’, tapi karena tidak mendapat sokongan militer yang solid, walhasil upaya take over kekuasan gagal mencapai targetnya.
Pertanyaan sederhana, apakah kubu TNI khususnya matra darat, terpecah? Kenapa harus kubu angkatan darat, karena mereka-lah yang punya lembaga territorial dari tingkat Babinsa hingga Kodam, yang bisa mendeteksi sekaligus membubarkan konsentrasi massa. Aliasnya kubu kampret perlu pedekate sama matra darat.
Coba kita tilik, siapa KASAD-nya? Jenderal Andika Perkasa. Siapa dia, kita sudah tahu bersama orangnya siapa. Siapa Pangkostrad-nya? Letjen Besar Harto Karyawan. Siapa dia, kita juga sudah tahu bersama. Belum lagi, panglima TNI-nya, sudah jelas orangnya siapa.
Dengan kata lain, kubu angkatan bersenjata boleh dikatakan sangat solid. Bahwa ada beberapa kasus yang coba ‘dimainkan’ untuk memecah kubu angkatan bersenjata, tapi it’s just a case… yang nggak kasih kontribusi apa-apa.
Kalau kubu angkatan bersenjata demikian solidnya, bagaimana mungkin terjadi kerusuhan pasca pemilu?
Belum lagi, upaya preventif yang dilakukan oleh Kapolri Tito Karnavian untuk meredam setiap upaya menggalang isu yang dimainkan oleh kubu kampret. Boleh dikatakan sangat efektif. Tolak ukurnya jelas, tidak ada pengerahan massa sebagai lanjutan penggalangan isu.
“Tapi bang, apakah kasus Venezuela tidak bisa terjadi di Indonesia?” demikian sebuah pertanyaan terlontar. Untuk itu saya akan membahasnya pada tulisan berikutnya. Sekarang saya mau kerja dulu, sambil liat-liat pesan WA. Kali aja sudah ada yang nge-share link video 1 menit neng Vanessa…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments