Kalo berbicara tentang Partai Demokrat, apa yang ada dibenak kita? Sosok Pepo itu sudah pasti. Pencitraan, itu kata yang melekat pada dirinya. Dan yang ketiga playing victim. Ketiga fakta tersebut begitu melekat pada diri Pepo, seakan hukum gravitasi dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Gak percaya? Coba cek apa yang kerap dilakukan partai Cikeas di dunia maya? Pasti mengusung salah satu dari ketiga ciri tersebut. Apa tujuannya? Untuk mendongkrak elektabilitas. Dan seperti saya pernah ulas, untuk memiliki elektabilitas yang baik, seseorang/sesuatu harus populer alias dikenal. Setelah dikenal publik, lewat polesan pencitraan, elektabilitas bisa didongkrak setinggi-tingginya.
Namun itu dulu, dulu sekali saat Pepo sedang jaya-jayanya. Walhasil waktu berkuasa, sangat minim suara sumbang yang menarget dirinya. Pertama karena Pepo tidak rakus kue kekuasaan sehingga mau berbagi dengan kelompok lain. Yang kedua, Pepo sangat piawai dalam konsep pencitraan.
Tapi sekarang, seiring berjalannya waktu, pesona Pepo mulai memudar. Kalo dulu performanya layak disandingkan dengan Syahrini, tapi kini tak lebih dari seorang mpok Siti yang sudah menua. Siapa juga yang mau lihat tayangan televisi yang isinya orang udah peot?
Singkat kata, partai Cikeas mulai ditinggalkan konstituennya. Ini lagi diperburuk oleh tingkah sejumlah kadernya yang tercyduk oleh KPK lantaran terlibat korupsi. Dari Andi Malaranngeng, Angelina Sondakh sampai sang ketua partai – Anas Urbaningrum. Dan ini berdampak pada persepsi publik.
Saat berkuasa, Pepo masif dalam menggarap partainya sebagai partai amanah yang bebas korupsi. Namun lantaran kasus tercyduknya elit partai, kini image itu diterima publik dengan makna yang berbeda, “Katakan tidak, PADAHAL korupsi.”
Dan menurut masukan litbang partai Cikeas, kalo tidak segera dibenahi, maka elektabilitas partai hanya tinggal kenangan. “Buat gebrakan, pak agar partai kita tidak ditinggalkan oleh pemilih,” begitu masukkannya.
Dan, jeng-jeng…Pepo pun segera menggebrak belantika politik tanah air. Dimulai dengan pengunduran putra pertamanya (AHY) dari karir kemiliteran, demi mengejar syahwat elektabilitas. Padahal AHY adalah aset militer masa depan yang sangat diperlukan oleh bangsa ini, dengan segudang prestasi gemilangnya.
Sayang beribu sayang, upaya ini menemui kegagalan di gelaran pilkada DKI tahun lalu (2017). Upaya kedua pun dilancarkan dengan secara diam-diam memasangkan AHY dan Anies Baswedan sebagai paslon di pilpres 2019. Sekali lagi ini pun menemui kegagalan, lantaran Pepo yang kalah gesit ketimbang Prabowo. “Terlalu banyak perhitungannya,” demikian ungkap seorang narsum.
Dengan ketiadaan figur yang diusung saat gelaran pilpres 2019 nanti, maka akan mempercepat ajal partai Cikeas menuju liang lahat. Kok bisa? Sekarang kalo orang ditanya, lebih tau Gerindra atau Demokrat, praktis jawabannya Gerindra, lha wong paslon BOSAN keduanya dari Gerindra. Demokrat mah ke laut aja…
Melihat situasi ini, Pepo yang telah didaulat netizen sebagai bapak baper nasional, kembali putar otak, gimana caranya agar partainya kembali dikenal publik?
Ahaa…Akhirnya Pepo kembali menemukan ide, untuk mendongkrak elektabilitas partainya. Bagaimana caranya? Jurus playing victim kembali dimainkan.
Saat kunjungannya ke Pekanbaru, Riau (15/12), sejumlah baliho partainya dirusak oleh ‘orang tidak dikenal’. Padahal dalam masa kampanye, perusakkan atribut kampanye hal yang lumrah ditemui, dan bukan menimpa Demokrat doang. Dan kali ini yang jadi sasaran tembak adalah PDIP.
Kenapa harus PDIP? Karena pakde adalah kader PDIP, dan PDIP adalah partai besar. Cari masalah dengan partai besar, logika untuk membangun image, praktis akan lebih besar peluangnya ketimbang cari masalah dengan partai gurem.
Dengan membangun narasi bahwa seolah-olah perusakkan itu ditujukan untuk menzalimi dirinya, maka secara tidak langsung ingatan publik akan kejayaan partai Demokrat diharapkan bisa terbangun kembali. Bahwa Demokrat bukan partai abal-abal, karenanya rejim panik akan bangkitnya imperium Cikeas ke kancah politik nasional.
Ujungnya bisa ditebak, Jokowi lagi yang disalahkan. Harapannya, publik akan bersimpati untuk beramai-ramai memilih calon-calon yang diusung Demokrat pada gelaran pileg 2019 nanti. “Gak dapat roti, cilok pun jadi..,” demikian skenarionya.
Sebelum skenario mencapai klimaksnya, ternyata malah editansil alias ejakulasi dini tanpa hasil. Akhirnya langkah tersebut malah dimentahkan oleh Wiranto selaku menkopolhukam, dengan mengatakan bahwa pelaku perusakkan adalah oknum partai Demokrat dan PDIP yang tidak mengikuti arahan partai alias bergerak atas kemauan sendiri.
“Karena ada insubordinasi tak mengikuti peraturan dan perintah, mungkin mereka mengikuti untuk mendapatkan pujian atau pahala. Saya menghimbau untuk pimpinan parpol dan masyarakat, jangan coba untuk membuat polarisasi,” demikian kata Wiranto (17/12).
Yah, namanya juga usaha, kan Pep? Kalo kemudian gagal maning, yah mau gimana lagi? Tetap semangat Pep. Saya rindu akan cuitan khasmu “Saya prihatin.” Memang negeri ini makin memprihatinkan sejak Jokowi berkuasa. Kok bisa? “Mau ngetwit aja, kok mati gaya…”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments