Kiblatnya ke China (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 05022025
Mari kita lanjutan pembicaraan kita seputar perbedaan konsep antara kapitalisme pemangku kepentingan dengan ‘kapitalisme’ negara ala Tiongkok? (baca disini)
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita perlu buka pendapat kartel Ndoro besar yang bermarkas di Davos, agar kita tahu apa bedanya.
“Kapitalisme pemangku kepentingan berbeda dengan kapitalisme negara ala Tiongkok dan kapitalisme pemegang saham,” ungkap sang Ndoro. (https://www.weforum.org/stories/2021/01/what-is-the-difference-between-stakeholder-capitalism-shareholder-capitalism-and-state-capitalism-davos-agenda-2021/)
Menurut sang Ndoro besar, kapitalisme pemegang saham yang dipakai hampir di banyak negara, dianggap gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Terciptanya jurang antara si kaya selaku pemegang saham dan si misqueen adalah ciri khas kapitalisme jenis ini. Makanya dianggap produk gagal.
Lalu bagaimana dengan kapitalisme negara ala Tiongkok?
Kapitalisme negara setidaknya memecahkan kekurangan utama kapitalisme pemegang saham karena ada mekanisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas yang dilakukan negara. Disini peran negara menjadi dominan dalam tiga hal.
Pertama, negara mendistribusi sumber daya dan peluang. Lalu negara juga dapat campur tangan dalam hampir semua industri. Dan yang terakhir, negara dapat mengarahkan ekonomi melalui infrastuktur berskala besar, litbang serta proyek-proyek pendidikan, kesehatan, maupun perumahan.
Sekilas peran negara sangat baik, bukan?
Tapi tidak begitu menurut sang Ndoro besar.
“Peran negara menjadi sangat dominan karena terlalu banyak memegang kekuasaan,” begitu kurleb-nya. Hal ini dimungkinkan, karena semua-semua, berada dalam kendali negara.
Karenanya harus ada sistem yang lebih ‘sempurna’ sebagai pengganti kapitalisme negara ala China, yaitu kapitalisme pemangku kepentingan.
“Semua pihak yang berkontribusi dalam sektor ekonomi, dapat berperan dalam mengambil keputusan dan metrik yang ada harus dioptimalkan dengan cara mengintegrasikan kepentingan masyarakat yang lebih luas,” begitu ungkap sang Ndoro.
Bagaimana cara mengintegrasikan-nya?
Tentu saja melalui pengindeksan atas Lingkungan (Environment), Sosial (Social) dan Tata Kelola (Governance) alias ESG. (baca disini dan disini)
Dengan adanya pengindeksan ESG yang dilakukan oleh kapitalisme pemangku kepentingan, maka suara kita diklaim telah diwakili mereka tanpa memberikan kita hak bicara apapun. Kan sudah diwakilkan oleh pihak yang berkontribusi dalam ekonomi.
Kenapa pengindeksan ESG dilakukan?
Menurut sang Ndoro besar, ini dilakukan untuk mencegah bencana lingkungan yang dianggap sebagai krisis akut yang terjadi saat ini, yang ditenggarai telah disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil oleh manusia. Dengan adanya pengindeksan ESG, maka aktivitas manusia yang nggak ramah lingkungan, akan dapat dikontrol.
“Pengindeksan ESG akan dapat menentukan produksi dan konsumsi suatu masyarakat,” demikian kurleb-nya.
Bisa dikatakan bahwa kapitalisme pemangku kepentingan nggak lain adalah kapitalisme negara ala China ditambah aspek lingkungan hidup.
Dan karena suara masyarakat telah diwakilkan oleh para pemangku kepentingan, maka masyarakat luas nggak memiliki suara dalam penilaian ESG ataupun dampak yang bakal ditimbulkannya kelak.
Ini yang menjadi dasar atas ide pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dibesut oleh PBB, karena mendapat endorsement dari kapitalisme pemangku kepentingan yang diklaim akan memantau sektor lingkungan.
Lalu apa fungsi dari para pemangku kepentingan?
Menarik apa yang dikatakan Antony C. Sutton pada bukunya Wallstreet and FDR, “John D. Rockefeller dan rekan-rekan kapitalis-nya yakin akan kebenaran mutlak bahwa nggak akan ada kekayaan moneter yang besar yang dapat diakumulasikan di bawah aturan yang tidak memihak dari masyarakat.”
“Satu-satunya jalan menuju akumulasi kekayaan besar adalah dengan cara monopoli. Usir pesaing anda, kurangi persaingan dan yang terpenting dapatkan perlindungan negara untuk industri yang anda jalankan melalui politisi yang ‘patuh’ dan peraturan pemerintah. Cara ini akan menghasilkan sistem monopoli yang legal, yang akan mengarah pada kekayaan,” tambahnya.
Dengan kata lain, sistem monopoli ekonomi harus diciptakan dalam suatu masyarakat dengan cara menggunakan aparatus negara sebagai regulator-nya. Hanya dengan inilah maka kekayaan dapat diakumulasikan.
Inilah yang menjadi cikal bakal sosialisme korporat, yang direpresentasikan oleh perbankan Barat dan pengusaha perusahaan multi-nasional.
Mereka-lah yang rajin berinvestasi pada negara-negara sosialis, termasuk Uni Soviet selepas Perang Dunia II, untuk tujuan transfer teknologi.
Mereka nggak lain adalah pelaku monopoli yang melihat sosialisme sebagai sarana untuk membangun sistem yang kelak dapat mereka manfaatkan demi keuntungan mereka.
Jadi, saat Uni Soviet melakukan Perang Dingin dengan AS dan Eropa Barat, namun fakta yang nggak bisa dipungkiri adalah bahwa lembaga keuangan dan industri Barat telah berinvestasi di negara sosialis tersebut demi menunjang industrialisasi di negara tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di Tiongkok, dimana kaum ‘sosialis korporat’ juga berinvestasi dan terus berinvestasi di sana.
Apa tujuannya?
Untuk mengembangkan sistem kapitalisme negara yang berlaku di China.
Dengan fakta ini, maka menjadi masuk akal jika kaum penganut ‘sosialis koroprat’ yang nggak lain adalah kartel Ndoro besar, selalu mempromosikan negara Tiongkok sebagai sebuah keberhasilan yang patut ditiru oleh semua negara di dunia. Karena memang keberhasilan di Tiongkok adalah keberhasilan sang Ndoro juga.
Padahal di sisi yang lain, dinarasikan bahwa China merupakan ancaman potensial terhadap kepentingan AS dan negara-negara Barat.
Apakah benar China merupakan ancaman potensial seperti yang digambarkan media mainstream selama ini? Bukankah situasi ini sama dengan situasi saat Perang Dingin?
Silakan anda menjawabnya.
Pada bagian berikutnya kita akan bahas bagaimana membuktikan bahwa para pemain utama dibalik kemajuan Tiongkok, juga merupakan kartel Ndoro besar yang sama.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)