Ponsel Bodoh


506

Ponsel Bodoh

Oleh: Ndaru Anugerah – 05082024

Kalo anda perhatikan di beberapa negara maju, khususnya di Eropa dan AS, terdapat trend yang cukup unik saat ini, dimana beberapa warganya mulai menggunakan ponsel bodoh alias dumbphone untuk kegiatan sehari-hari.

Karena animo penggunanya mulai bertambah dari hari ke hari, akibatnya persediaan barang mulai kekurangan stok, sehingga dumbphone mulai sulit ditemukan di pasaran. (https://www.bbc.com/future/article/20240515-the-dumbphones-people-want-are-hard-to-find)

Ini aneh, karena secara prinsip fitur yang ditawarkan handphone tersebut tidaklah selengkap fitur yang ditawarkan smartphone yang saat ini banyak dipakai orang. Fungsi yang paling banyak ditawarkan hanyalah untuk melakukan panggilan telpon dan mengirim pesan alas SMS. Hanya itu.

Fungsi yang lain otomatis nggak ter-cover oleh telpon bodoh.

Jadi kalo anda terbiasa menggunaka fitur media sosial dari mulai Instagram, Tiktok hingga Facebook, handphone jenis ini nggak bisa menyediakannya untuk anda.

Kebayang, gimana tersiksanya orang yang biasa menggunakan smartphone, tiba-tiba harus menggunakan cellphone model begini. Otomatis mati gaya. Fixed!

Namun ajaibnya, animo warga untuk menggunakan dumbphone justru meningkat.

Ada apa ini?

Selidik punya selidik, trend penggunaan ponsel bodoh bisa meningkat gegara timbulnya kesadaran banyak orang akan bahaya penggunaan smartphone terhadap kesehatan mental dan juga hubungan sosial yang mereka jalani dengan orang lain. (https://med.stanford.edu/news/all-news/2022/11/children-mobile-phone-age.html)

Maksudnya gimana?

Dengan menggunakan smartphone secara eksesif khususnya di kalangan anak muda, ini dapat memicu ketidak-sehatan mental. Ini bisa terjadi karena kaum muda nggak punya pengalaman, penilaian dan pengendalian diri dalam memakai fitur-fitur di smartphone, utamanya pada media sosial.

“Platform media sosial sengaja didesain secara inheren yang tidak aman bagi anak,” ungkap Asosiasi Psikologi Amerika. (https://www.apa.org/topics/social-media-internet/youth-social-media-2024)

Akibatnya gampang ditebak. Saat anak yang masih polos dipaksa eksplorasi fitur di media sosial, anak mulai punya gejala kesehatan mental dari mulai addicted, stress, depresi hingga sulit mengekspresikan emosi-nya secara langsung.

Apalagi adanya gejala Fear Of Missing Out pada anak-anak, saat mereka tidak mengaktualisasi diri dengan mengakses akun media sosial. Sudah pasti anak yang ketinggalan ‘berita’ bakal di bully sama teman-temannya dan dianggap kudet.

Sebuah penelitian di Harvard menemukan bahwa respons otak saat menggunakan media sosial mirip dengan respons zat adiktif. Makin banyak dipakai, maka semakin banyak hiburan yang didapat, sehingga mereka makin ketagihan untuk menggunakannya. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9912146/)

Padahal menurut Prof. Jonathan Haidt dari Universitas New York, anak-anak sebaiknya tidak diberikan akses ke smartphone, hingga usianya mencapai 16 tahun, karena mereka dirasa belum mapan dalam mengelola tingkat emosi-nya. (https://booksff.com/the-anxious-generation-pdf-download/)

Nyatanya, di lapangan bukan itu yang terjadi.

Entah karena malas ngurusin anak atau apa, orang tua justru kasih kebebasan pada buah hatinya yang masih belia untuk mengekspos smartphone mereka.

Yang terjadi bukannya anaknya berperilaku baik, malah ansos alias anti sosial.

Parahnya, jika disindir sedikit saja, emosi anak-anak tersebut bisa langsung meledak tanpa bisa mereka kontrol. Mereka kesulitan untuk membedakan mana dunia maya dan mana dunia nyata, sehingga saat mereka tersentuh emosinya, mereka nggak tahu ini riil dan bukan khayalan.

Mungkin karena alasan inilah, para orang tua mencoba membatasi akses smartphone bagi anak-anak mereka agar tidak ketagihan dan beralih ke dumbphone.

Belakangan aksi ini mulai meluas dikalangan orang dewasa, sehingga keberadaan dumbphone mulai diburu di pasaran.

Tujuannya satu: untuk mengelola kebiasaan digital mereka agar tidak berlebihan mengekspos fitur media sosial pada smartphone.

Apakah trend penggunaan dumbphone akan berhasil?

Setidaknya pengakuan yang dibuat Luke Martin, bocah 16 tahun asal Kanada, bisa dijadikan acuan.

Kepada publik Martin mengatakan bahwa dirinya yang dulu kecanduan smartphone, kini bisa berubah sejak menggunakan dumbphone. Paling banter dirinya kini hanya menggunakan smartphone sekitar 20 menit sehari. (https://www.bbc.com/news/articles/c7227njm45eo)

Coba kalo anak-anak dibatasi menggunakan smartphone hanya sekitar 20 menit sehari, apa yang bakal terjadi?

Membayangkan saja sudah sulit rasanya, bukan?

Pertanyaannya sekali lagi: akankah publik mengalihkan pilihannya untuk tidak menggunakan smartphone dan lebih memilih dumbphone yang misqueen fitur?

Sepertinya mustahil membalikkan trend ini.

Kenapa?

Karena perilaku orang sudah terbentuk. Bahwa smartphone telah terbukti menawarkan segudang fitur dari mulai kenyamanan hingga aksesibilitas lainnya, sehingga orang sudah ‘kecanduan’ untuk terus menerus menggunakannya.

Sungguh mustahil orang akan mau meninggalkan kemudahan-kemudahan ini, dan beralih pada dumbphone yang minim fitur dan nggak bisa buat mereka eksis.

Lagian, dunia ini kan mau dialihkan ke sistem digital ala Ndoro besar. (baca disini, disini dan disini)

Akankah skenario receh ala dumbphone menjungkir balikkan grand scenario sang Ndoro besar?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!