Rancangan Masa Depan Yang Indah? (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Bagaimana rancangan dunia di tahun 2030 mendatang?
Seperti yang kita ketahui bersama, PBB telah mendeklarasikan sebuah resolusi di tahun 2015 silam tentang bagaimana dunia baru bakal dibentuk.
Belakangan, rencana ini dikenal dengan nama Sustainable Development Goals (SDG) 2030 alias Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. (https://www.un.org/en/development/desa/population/migration/generalassembly/docs/globalcompact/A_RES_70_1_E.pdf)
Untuk mencapai tujuan ‘keberlanjutan’ yang mulia tersebut, maka dibutuhkanlah yang namanya proses transformasi. Dengan adanya transformasi, maka semua tujuan yang termaktub dalam SDG, dapat diwujudkan.
Salah satu yang hendak dicapai adalah di sektor kesehatan yang merupakan tujuan ke-3 dari SDG 2030. “Tujuan yang ingin diraih adalah membuat layanan kesehatan yang berkualitas dan tersedia untuk semua.” Kedengarannya sungguh mulia, bukan? (https://www.uhc2030.org/)
Untuk itu, Universal Health Coverage 2030 (UHC2030) dibentuk sebagai sarana mewujudkan visi mulia dari PBB pada sektor kesehatan.
Pada tataran teknis, akan ada kemitraan publik dan swasta secara global (Global Public-Private Partnership/G3P) dalam mentransformasi perawatan kesehatan yang berlaku secara global. (https://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/library/global-guide-public-private-partnerships)
Apa yang dimaksud kemitraan publik dan swasta?
Nggak lain adalah kapitalisme pemangku kepentingan (stakeholder capitalism). Ide ini pertama kali menyeruak di dunia pada dekade 1970an oleh kartel sang Ndoro besar.
Isi gagasannya kurleb-nya: dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika perusahaan multinasional bertindak sebagai ‘pamong’ bagi masyarakat global. (https://web.archive.org/web/20191203054643/https://time.com/5742066/klaus-schwab-stakeholder-capitalism-davos/)
Memangnya siapa yang punya perusahaan multinasional selain kartel sang Ndoro?
Stakeholder inilah yang kelak akan menjalankan pembangunan ‘berkelanjutan’ di kolong jagat. Merekalah yang didaulat sebagai algojo guna tercapainya tujuan SDG 2030 yang telah ditetapkan oleh PBB.
Lantas, dimana peran pemerintah yang kita pilih?
Nggak lain sebagai pelaksana teknis atas arahan yang telah ditetapkan oleh pemangku kebijakan, agar transformasi-nya bisa berjalan lancar. Kalo anda tahu istilah ‘jongos’, yah begitulah fungsi pemerintah kelak.
Jongos? Apa maksudnya?
Saya coba kasih ilustrasi sederhana, agar anda paham duduk masalahnya.
UHC2030 terdiri atas 83 pemerintahan di dunia dari mulai AS, Inggris, China, Rusia, Yaman hingga Ukraina, termasuk Iran juga. Nah, negara-negara anggota akan bekerjasama perusahaan penghubung dalam mewujudkan visi UHC2030.
Misalnya, Rusia yang merupakan mitra UHC2030 melalui Inter Parliamentary Union (IPU). Atau China yang bermitra dengan UHC2030 melalui Asia-Europe Foundation (AEF). Ini dua negara yang selalu digadang-gadang sebagai poros perlawanan oleh kaum ‘sengklek’.
Nggak hanya itu, sebab berbagai yayasan filantropi seperti Bill and Melinda Gates Foundation hingga Rockefeller Foundation, juga merupakan mitra UHC2030, selain lembaga resmi PBB lainnya. (https://www.rockefellerfoundation.org/initiative/universal-health-coverage/)
Guna merealisasikan rencananya, maka UHC2030 punya target yang mengharuskan pemerintah yang terlibat dalam keanggotaan untuk meningkatkan investasi di bidang kesehatan dengan menggelontorkan setidaknya 15% dari APBN mereka atau sekitar 5% dari PDB-nya. (https://www.uhc2030.org/what-we-do/voices/civil-society-engagement/)
Kalo negara maju, angka belasan persen atau sekitar 5% dari total PDB, tentu bukan masalah, mengingat rata-rata telah menghabiskan lebih dari 5% dari PDB mereka untuk sektor kesehatan per tahunnya. (https://www.statista.com/statistics/268826/health-expenditure-as-gdp-percentage-in-oecd-countries/)
Nah untuk negara-negara misqueen, bagaimana mencapai angka tersebut agar pembangunan berkelanjutan dapat dicapai?
Salah satunya dengan menggenjot sektor pajak selain mendirikan asuransi kesehatan milik negara ataupun asuransi kesehatan swasta lainnya.
Mungkin anda kenal dengan BePeJeEs yang sangat kondang di Planet Namek, yang ‘katanya’ terus menerus merugi. Itu nggak lain merupakan upaya untuk mendongkrak persyaratan yang telah ditetapkan UHC2030.
Cara kedua yang mungkin dilakukan oleh negara-negara misqueen adalah dengan memangkas sektor lain yang dianggap nggak terlalu penting. Hanya saja cara ini terbilang nggak efektif jika utang yang segunung pada lembaga Bretton Woods nggak bisa dibayarkan.
Disinilah UHC2030 membuka peluang guna restrukturisasi utang negara-negara misqueen pada lembaga Bretton Woods. Ini yang dikenal dengan istilah DSSI alias Debt Service Suspension Initiative. Kelompok G20 yang paling intens menjalankan agenda ini. (https://www.worldbank.org/en/topic/debt/brief/covid-19-debt-service-suspension-initiative)
Contoh DSSI adalah penangguhan pembayaran utang yang jatuh tempo pada negara-negara misqueen akibat plandemi Kopit yang berakhir pada Desember 2021 silam. Sekali lagi, ini skema penangguhan ya, dan bukan penghapusan utang. Dan China berperan utama dalam menjalankan skema ini. (https://www.pinsentmasons.com/out-law/news/china-backs-g20-debt-relief-77-countries)
Ngapain utangnya ditangguhkan?
Guna terciptanya ‘ruang fiskal’.
Dan pemerintah, nggak bisa berbuat apa-apa selain tunduk pada perintah sang Ndoro. Apa namanya kalo bukan jongos?
Lantas, apa arti frase ‘ruang fiskal’?
Pada bagian kedua nanti kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Bang maaf ijin OOT , saat ini lagi lumayan heboh plandemic amnesty, apakah tulisan
Emily Oster itu salah satu narasi para iblis global untuk test the water? Kalau iya kira2 apa tujuannya ya bang?