Ada persepsi yang salah, menurut saya, tentang pilkada-pileg dan pilpres. Banyak orang yang mengaitkan ketiganya sebagai sesuatu yang paralel. “Kalo mau menang di pilpres, harus menang dipilkada dan pileg.” demikian selorohnya. Apa iya?
Tercatat, pada pileg 2014, di Jawa Barat PDIP jumawa. Tapi kemudian di pilpres 2014, keok hampir 19% ketika Jokowi lawan Prabowo. Begitu juga yang terjadi di Banten. Walaupun jumawa, toh cagub PDIP dipaksa keok di pilgub 2017 lalu serta Jokowi yang dijago PDIP dipaksa keok hampir 15% lawan Prabowo.
Jadi tidak ada paralelisme disana. Yang ada hanya kecenderungan. Kalo itu saya sepakat. Pemanasan menuju pilpres 2019. Bahasa gaulnya road to 2019. Kalo mau mendukung Jokowi, dipemanasan-pun harus pilih paslon yang bisa diajak kerja sama dengan beliau. Jangan seperti di DKI. Bisa tersandera program-program pakde. Kurang lebih begitu…
Banyak pertanyaan dilontarkan kepada saya seputar pilkada yang akan digelar rabu besok (-27 Juni 2018). Siapa yang harus mereka pilih? Paling tidak ada 2 lokasi pemilihan yang strategis. Jabar dan Sumut. Untuk Jatim dan Jateng, gak perlu dibahas, sebab di jatim, partai finalnya adalah orang-orang Jokowi juga. Sedang Jateng sudah rahasia umum adalah kandang banteng.
Sekarang saya bertanya, sumber ketidaknyamanan yang ada di sosial media, siapa penyebabnya? Ini penting dijawab karena sangat terbuka kemungkinan untuk 2019 suasana akan kembali memanas seperti 2014 atau saat pilkada DKI. Apa itu yang kita inginkan?
Sejak kepemimpinan rejim Cikeas, PKS meminta 2 pos kementrian sebagai imbalan atas sokongan mereka kepada SBY. Kominfo dan Pertanian. Bukan tanpa alasan mereka meminta posisi tersebut.
Saya pernah menulis, jika ingin menguasai medan pertempuran, kuasai dulu pangannya. Dan di Indonesia, tata niaga pangan ada di kewewenangan menteri pertanian. Sedangkan di era digital, posisi kominfo adalah penentunya. Bagaimana mempelajari jaringan dan berpropaganda lewat sosial media, tata kelolanya ada di pihak menteri kominfo.
Dan ini sangat PKS manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kalo sekarang banyak akun-akun buzzer dan haters penyebar hoax sekelas Saracen, portal piyungan dan juga Jonru, itu adalah hasil karya nyata PKS. Akan sulit memberantasnya, karena mereka sudah lebih dulu menguasai tata kelola dunia maya.
Di pertanian-pun 11-12. Masih ingat kasus beras oplosan di Bekasi, yang melibatkan PT Indo Beras Unggul (IBU) yang menjual beras medium dengan merek premium (Maknyus dan Ayam Jago)? Siapa orang dibelakangnya? Tak lain dan tak bukan, mantan Mentan di era SBY yang juga orang PKS. “Bukan hanya diberas mereka bermain,” demikian kata seorang narsum.
Tak heran aktivis 98 bersuara lantang, “Bubarkan PKS.” Walaupun menurut saya itu sangat emosional ketimbang rasional. Bagaimana-pun untuk membubarkan PKS ada mekanisme yang diatur undang-undang. Jadi nggak bisa seenak jidat juga.
Dalam UU Parpol Pasal 48 ayat 3 disebutkan mekanisme pembubaran parpol. Ada konstitusi yang dilanggar, maka parpol dapat dibekukan sementara. Jika dalam masa pembekuan sementara si parpol kumat lagi, baru bisa dibubarkan. Singkatnya terlalu rumit untuk membubarkan parpol.
Yang paling mungkin digembosi. Caranya? Jangan pilih parpol tersebut, atau calon yang diusung parpol tersebut.
Satu yang mengganjal pikiran saya terhadap PKS adalah fakta bahwa mereka adalah gerakan trans-nasional. Dan gerakan trans-nasional punya suar yang sama – seperti HTI – yaitu pengusung ide khilafah.
Dalam pilkada DKI, perhatikan mereka memakai simbol apa? Simbol tangan O, yang berarti oke-oce. O juga berarti koin, yang punya 2 mata sisi. 2 mata sisi itulah pengusung utama gerakan tersebut. Satu sisi HTI dan sisi yang lain PKS. Dalam ulasan saya yang lain, sama halnya dengan terorisme, mereka adalah proxy-war kepentingan asing di Indonesia.
Jadi sudah jelas, road to 2019, paslon siapa yang harus dipilih baik di Jabar dan Sumut? Yang tidak ada bau-bau PKSnya serta juga bukan juga orang yang mau mengemis dukungan dari PKS.
Jadilah pemilih cerdas!!
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments