Ketika Kita Buta Akan Fakta (*Bagian 3)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian 1, saya sudah jelaskan tentang si Kopit yang selama ini dianggap mematikan bagi kebanyakan orang, nyatanya hanya penyakit flu biasa pada umumnya. (baca disini)
Dan pada bagian kedua, saya juga sudah jelaskan berdasarkan fakta bahwa test si Kopit dengan menggunakan RT PCR, hasilnya nggak menggambarkan apa-apa. Titik.
Kalo anda dinyatakan positif, bukan berarti anda memiliki virus atau anda dapat menularkan virus. Sebaliknya kalo anda negatif, bukan berarti anda tidak terinfeksi si Kopit.
Kenapa bisa demikian?
Karena test RT PCR nggak bisa diandalkan dalam mendeteksi adanya si Kopit dalam tubuh seseorang. (baca disini)
Lantas, kematian yang terus bertambah akibat si Kopit, apakah itu data yang direkayasa?
Ada 2 hal yang menyebabkan angka kematian akibat si Kopit terus meningkat. Pertama karena definisi yang cacat tentang kematian akibat si Kopit, dan kedua karena hadirnya penyakit penyerta (komorbid) pada mayoritas orang yang mati.
Maksudnya apa?
Pertama soal definisi. Dalam medis, ada istilah kasus yang terkonfirmasi, ada juga kasus yang berupa dugaan. Istilah kerennya, confirmed case (CC) dan probable case (PC).
Ini meruncing pada jumlah angka kematian: mati karena si Kopit (confirmed case) atau mati dengan si Kopit (probable case).
Misal, anda mati karena ditabrak bis, dan setelah di test Kopit anda dinyatakan positif. Maka anda yang harusnya probable case, akan otomatis dinyatakan mati akibat si Kopit. Ngawur sekali, bukan?
Padahal, definisi penyebab kematian kematian yang dirilis WHO sudah sangat jelas, “Penyebab kematian adalah penyakit atau cedera yang memulai rangkaian peristiwa yang mengarah langsung pada kematian seseorang.”
Jadi ada rangkaian peristiwanya. Masa iya kita sudah tahu kalo si A punya penyakit kanker, lalu karena nongol si Kopit, tetiba dituding bahwa si Kopit-lah sebagai biang keladi kematiannya. Dimana logikanya? (https://www.cdc.gov/nchs/data/nvss/coronavirus/Alert-2-New-ICD-code-introduced-for-COVID-19-deaths.pdf?fbclid=IwAR2XckyC93jfKqvOue5EdPlNA8LlKKgz4vPZTU1whI4vXLSOADSjsL9XY-M)
Masalahnya, banyak negara (termasuk di negeri berflower) mendefinisikan angka kematian total sebagai kematian karena si Kopit plus kematian dengan si Kopit. CC + PC. Ya nggak nyambung. Sama saja menambah apel sama jengkol. Mana bisa begitu? (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/downloads/pui-form.pdf)
Lagian, gimana bisa tahu kalo seseorang terkena si Kopit atau nggak, lha test-nya saja nggak bisa mendeteksi keberadaan virus?
Memang, kalo kita bedakan angka kematian akibat si Kopit dengan kematian dengan si Kopit, berapa angka kematian sesungguhnya kalo dinyatakan mati karena si Kopit doang?
Hasilnya terjun bebas, alias turun 90,2%. (https://childrenshealthdefense.org/news/if-covid-fatalities-were-90-2-lower-how-would-you-feel-about-schools-reopening/)
Hal ini berhubungan erat dengan masalah kedua.
Fakta berbicara bahwa 94% orang yang mati akibat si Kopit, nyatanya disebabkan karena orang tersebut memiliki penyakit penyerta (komorbid), bukan karena si Kopit. (https://data.cdc.gov/NCHS/Conditions-contributing-to-deaths-involving-corona/hk9y-quqm)
Dengan kata lain, angka kematian yang disebabkan si Kopit semata, hanya 6% saja jumlahnya.
Apakah anda tahu tentang semua ini? Saya yakin anda nggak tahu. Makanya saya kasih tahu, biar anda paham duduk masalahnya. Harapannya, anda jangan mau ditakut-takutin dengan data cacat yang di-publish secara berkala lewat media tentang si Kopit.
“Bang, apakah si Kopit ada?” tanya si Fulan. Si Kopit sudah tentu ada.
Cuma kalo ditanya apakah si Kopit mematikan?
Jawabannya nggak.
Dan disini kita bicara fakta dan bukan asumsi belaka yang gak jelas juntrungannya.
Sampai sini paham kan, sayang?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments