Ketika Asumsi Terus Dibangun (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang membuat si Kopit menjadi sesuatu yang berbahaya dan menakutkan?
Terletak pada asumsi yang dibangun oleh media mainstream sebagai alat propaganda. Bayangin, anda tiap hari baca media mainstream yang menyajikan kisah kematian atau bertambahnya jumlah kasus si Kopit. Apa nggak konslet kepala anda, lama kelamaan?
Dan ini dilakukan saban hari. Lihat TV beritanya si Kopit, Baca koran, beritanya si Kopit. Buka media sosial, si Kopit kembali ngongol disana.
Nggak aneh kalo anda jadi paranoid dan akhirnya takut dan cemas. Mau begini salah, mau begitu salah. Takut sama si Kopit. Pegang kata-kata saya, saat nanti vaksin dari elite global nongol, anda-lah yang pertama bersedia untuk divaksin.
Ya nggak apa-apa juga. Wong itu hidup anda sendiri, kok. Mo jungkir balik, itu terserah anda. Mo mati konyol juga, itu hak anda.
Tugas saya sebagai analis, hanya mau ingetin, bahwa semua informasi yang disajikan media mainstream tersebut, nggak lebih dari ASUMSI belaka.
Tujuannya apa? PERTAMA BUAT ANDA TAKUT.
KEDUA MEMBUAT ANDA AKHIRNYA MEMBENARKAN SKENARIO YANG MEREKA JALANKAN (dari mulai pakai masker, membuat jarak sosial, karantina/isolasi dan ujungnya adalah vaksinasi wajib disertai penanaman chip pada tubuh anda).
Lewat tulisan ini saya akan mengungkapkannya kembali, biar anda sadar kalo anda selama ini hanya dibuat takut tanpa alasan yang mendasar oleh media mainstream.
Asumsi pertama yang sering disodorkan media mainstream adalah mengenai ANGKA KEMATIAN. Beritanya sedikit-sedikit tentang orang yang mati akibat si Kopit.
Nyatanya, semua angka kematian itu bukan disebabkan oleh si Kopit semata, tetapi karena orang yang meninggal tersebut memiliki penyakit penyerta/komorbid seperti: jantung, diabetes, kanker, gagal ginjal hingga paru-paru. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.06.11.20128926v1)
Selain itu, ini yang patut dicatat. Dibanyak negara, pihak berwenang telah memanipulasi (menggelembungkan) angka kematian akibat si Kopit. Coba anda lihat disini (https://www.bitchute.com/video/9GWhQ4v9H53E/), disini (https://www.youtube.com/watch?v=g5f_6ltv7oI) dan juga disini (https://www.youtube.com/watch?v=3Fic2dlKlhw)
Jelas saja, jumlah kematian terus meningkat. Lha wong dimanipulasi.
Asumsi kedua yang terus didengung-dengungkan oleh media mainstream adalah tentang test PCR untuk di Kopit yang dianggap akurat.
Tentang ini lumayan saya sering bahas. Setidaknya anda bisa baca disini, dan disini.
Test PCR ditemukan oleh pemenang Nobel bernama Dr. Kary Mullis sebagai TEKNIK REPLIKASI dan BUKAN SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK. Jadi hanya bisa mereplikasi urutan DNA milyaran kali, tapi nggak bisa mendeteksi adanya virus, hanya jejak virus bukan viral load-nya.
Padahal keberadaan virus itu yang sesungguhnya perlu diketahui, bukan jejak yang ditinggalkan si virus.
Kesalahan fatal kedua akibat menggunakan test PCR adalah bahwa hingga saat ini virus yang katanya mematikan di dunia tersebut tidak pernah diisolasi dan dimurnikan. Dengan kata lain tidak terbukti bahwa si virus ada apalagi menyebabkan penyakit.
Yang ada karena tindakan ini belum dilakukan, orang jadi salah deteksi. Disangka virus, tahunya exosome. Sehingga treatment dalam menangangi si Kopit (dengan menggunakan test kit) jadi nggak tepat sasaran. Mo ngukur jarak, kok pakai timbangan? (https://thefreedomarticles.com/covid-19-umbrella-term-fake-pandemic-not-1-disease-cause/)
Apa hanya itu masalah penggunaan test PCR?
Banyak tentunya.
Pertama adalah tidak adanya standar emas dalam membandingkan hasilnya. Maksudnya begini: dalam kedokteran, diagnosis penyakit infeksi dikenal dengan istilah standar emas, alias cara yang dilakukan sebagai pedoman utama dan pasti dalam menentukan suatu penyakit.
Misal nih, anda di test pakai test pack dan hasilnya positif, terus nggak lama terbukti bahwa anda hamil, maka standar emas akan alat uji tersebut terpenuhi. Di test hamil, dan memang anda hamil.
Tapi test PCR nggak demikian adanya. Di test positif, eh beberapa hari lagi di test kembali, hasilnya negatif. Atau sebaliknya. Nggak aneh bila banyak hasil positif palsu (false positive) akibat penggunaan alat test tersebut.
Saya kasih tahu: hasil positif tidak menjamin virus yang ditemukan adalah virus yang menyebabkan penyakit.
Aliasnya: test PCR (untuk mendeteksi si Kopit), tidak ada gunanya untuk dilakukan.
Lalu test yang baik itu yang seperti apa?
Yang bisa menyajikan sensitivitas, spesifisitas dan standar emas. Inilah alat test yang paling akurat.
Dalam suatu wawancara dengan TV ABC, spesialis penyakit menular asal Australia – Dr. Sanjaya Senanayake – mengatakan, “Jika kita mengambil sampel bakteri dalam darah, kita punya tes kultur darah sebagai standar emasnya. Dan kita bisa membandingkan hasilnya dengan menggunakan test kultur darah manapun. Tetapi untuk C19, kita tidak memiliki standar emas untuk test-nya.” (https://off-guardian.org/2020/06/27/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless/)
Dr. Senanayake nggak sendirian.
Jessica C. Watson dari Universitas Bristol juga mengamini hal tersebut. Dalam makalahnya yang berjudul “Interpreting a COVID-19 Test Result” yang diterbitkan oleh The British Medical Journal menyatakan: kurangnya standar emas yang jelas untuk menguji C19. (https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1808/rapid-responses)
Bahkan badan kesehatan sekelas CDC dan FDA yang kesohor di Amrik sana juga menyatakan, “Deteksi viral load (mungkin) tidak mengindikasikan keberadaan virus penyebab penyakit seperi C19. Tes ini (PCR) tidak dapat mengesampingkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri/virus lain.” Dengan kata lain, alat test-nya nggak akurat. (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Jika alat test-nya saja nggak akurat, lalu kenapa banyak pihak menyuruh melakukan test si Kopit pakai alat yang nggak bisa diandalkan? Dan parahnya ini diterapkan diseluruh dunia, sesuai arahan WHO.
Lantas, apakah asumsi seputar Kopit hanya sampai disini?
Tentu tidak Rudolfo. Pada bagian kedua nanti saya akan jabarkan tentang banyak asumsi lainnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments