Kissinger’s Plan
Oleh: Ndaru Anugerah
Amrik, di masa pemerintahan Presiden Gerald Ford, tepatnya di bulan November 1974.
Dibawah arahan Henry Kissinger, Dewan Keamanan Nasional (NSC) mengeluarkan suatu kebijakan yang bernama Nasional Security Study Memorandum 200: Implication of Worldwide Population Growth for US Security and Overseas Interests disingkat NSSM 200.
Kebijakan tersebut lalu disahkan pada 10 Desember 1974.
Pada awalnya memo tersebut sangat dirahasiakan. Namun belakangan setelah ditelaah oleh para peneliti, kebijakan tersebut baru dibuka di publik pada dasawarsa 1990-an.
Apa isi memorandum tersebut?
Kurlebnya, keamanan nasional AS bakal terancam oleh pertumbuhan penduduk di negara-negara terbelakang, dengan adanya resiko kerusuhan dan ketidakstabilan politik karena dipicu oleh tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.
Solusinya?
Perlu dibuat kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat tersebut, utamanya pada 13 negara. Antara lain: India, Bangladesh, Pakistan, Thailand, Filipina, Turki, Nigeria, Mesir, Ethiopia, Meksiko, Kolombia, Brasil dan juga Indonesia.
Berdasarkan laporan dinas intelijen, ke-13 negara tersebut punya kontribusi besar terhadap keamanan regional sekaligus keamanan nasional AS.
Singkatnya, Memorandum tersebut mengamatkan agar setiap pemimpin AS dapat mempengaruhi para pemimpin negara-negara tersebut terkait kontrol jumlah penduduk.
Nggak tanggung-tanggung, badan dunia sekelas PBB ikut digerakkan selain USAID tentunya, yang juga menyalurkan dana segarnya bagi banyak LSM lokal.
Pada tataran teknis, program yang paling sering kita dengar semasa kepemimpinan eyang Harto, yaitu: Keluarga Berencana. “Cukup 2 anak saja,” itulah slogan yang paling sering kita dengar berulang-ulang. Tujuannya nggak lain adalah untuk mengurangi jumlah penduduk.
Bagaimana bisa laju pertumbuhan penduduk yang cepat dapat mempengaruhi kepentingan nasional AS?
Kuncinya pada ketersediaan SDA pada negara-negara tersebut. “Ekonomi AS akan memerlukan mineral yang besar sebagai bahan baku bagi pertumbuhannya dan kepentingan nasional.”
Masalahnya, pada negara-negara yang misqueen tersebut sudah lumrah kalo sering terjadi pemberontakkan yang dipelopori kaum Kiri. Bukankah sosialisme sangat melekat erat pada kemiskinan?
Kebayang, kalo misalnya kaum Kiri yang berkuasa di negara-negara tersebut, AS bakal dapat apa? Belum lagi kepentingan rakyat negara tersebut yang juga butuh SDA. Sementara kebutuhan nasional akan bahan baku mereka kian hari kian meningkat.
Inilah yang kemudian memicu program depopulasi pada negara dunia ketiga, yang dipelopori Kissinger.
Program ini sangat masif digelar pada dasawarsa 1980an, yang menyerukan kontrol terhadap kelahiran. Dan parahnya, program ini dijadikan prasyarat bagi cairnya dana bantuan AS pada negara-negara tersebut. “Kalo dana mau cair, ya harus ikutin program kita.”
Bagi yang masih ngeyel, sudah tentu bantuan AS dan juga PBB nggak akan mengalir ke negara tersebut.
Kalo bisa digambarkan, skema bantuan yang memberikan prasyarat tersebut mirip-mirip program Nazi Jerman. Dimana untuk melestarikan ras master Arya, kepentingan bangsa inferior mau nggak mau harus disingkirkan.
Masa berganti. Dan kini ada lagi program depopulasi yang akan dibesut dalam waktu dekat. Namanya vaksinasi global.
Dan pemainnya bukan Kissinger lagi, melain Bill Gates.
Dalam sebuah opini untuk Wall Street Journal, Kissinger mengatakan: “Langkah pertama yang harus dikerjakan saat ini adalah dengan mengembangkan teknik dan teknologi baru untuk mengendalikan infeksi. Dan vaksin cukup sesuai bagi populasi yang besar.”
Di sisi yang lain, Washington Post (31/3) sempat menurunkan opini Bill Gates pada medianya, yang menggambarkan visinya untuk bisa memvaksinasi orang di seluruh dunia.
“Untuk mengakhiri penyakit ini (COVID-19), kita membutuhkan vaksin yang aman dan efektif. Jika kita melakukan segalanya dengan benar, vaksin akan tersedia kurang dari 18 bulan saja.”
Jadi klop pernyataan yang dilontarkan Kissinger dengan skenario vaksinasi global yang diusung oleh BG. Teknisnya, setiap warga dunia harus mau terima vaksin, apapun resikonya. Sebab jika tidak mau divaksin, akan ada sanksi yang menyertainya. (baca disini)
Iya kalo hanya vaksin yang disuntikkan. Kalo ada material lain yang ikut disuntikkan, atau misalnya kandungan vaksinnya bisa digunakan untuk mengaktivasi penyakit jenis lain di masa depan, apa nggak kacau? Apa ada jaminan bahwa vaksin tersebut aman untuk diaplikasikan pada manusia?
Ini harus diulang-ulang agar bisa menjadi diskursus.
Hal yang perlu dikritisi antara lain: Siapa yang akan menyediakan vaksinnya? Apakah efektivitas vaksin telah teruji? Apakah demikian mendesaknya sehingga setiap orang perlu divaksin?
Kalo yang menyediakan vaksin nantinya Big Pharma dibawah arahan BG, kita wajib bertanya-tanya.
Jangan-jangan program vaksinasi global tersebut terkait dengan tujuan mengurangi populasi dunia, lagi?
Masih ingat ID2020, kan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments