Langkah Skak Mat
Oleh: Ndaru Anugerah
“Pokoknya pemerintah harus lockdown guna menghindari jatuh korban lebih banyak lagi,” demikian narasi yang terus didengung-dengungkan oleh media mainstream sebagai bagian operasi berkode panik global. (baca disini)
Sebenarnya lockdown yang selama ini diminta oleh para penggonggong itu mengacu pada UU Karantina Kesehatan No.6/2018, tentang teknis karantina wilayah.
Masalahnya menerapkan karantina wilayah nggak semudah menggelar sunatan massal.
Pertama kali pemerintah pusat akan menetapkan jenis penyakit dan faktor resiko sebagai dampak yang bakal timbul dari penerapan status karantina tersebut. Jadi nggak asal main tebak apalagi berdasarkan feeling atau sekedar panik. Ada mekanisme, tentunya.
Data yang didapat darimana? Tentu saja dari rapid test yang dilakukan oleh pemda. Sudahkah pemda melakukannya? Kalo sudah berapa yang terpapar? Berapa juga fatality rate-nya?
Jangan sampai hanya karena 8 orang mati, lalu serta merta menetapkan status karanatina wilayah.
Lalu bagaimana antisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan, itu juga harus dihitung. Ketersediaan logistiknya gimana? Peralatan medisnya gimana? Lalu pelayanan kesehatan, kebutuhan pangan serta kebutuhan harian lainnya selama masa karantina, juga bagaimana?
Ini semua perlu dipikrkan masak-masak sebelum menerapkan status karantina wilayah. Kalo semua itu sudah dipikirkan, silakan lakukan. Masalahnya apa sudah?
Dan yang paling sulit adalah soal alokasi dananya. Pasal 6 UU No.6/2018 tersebut jelas menyebutkan kalo dananya ditanggung bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Disini timbul masalah.
Jokowi telah menginstruksikan PEMDA bersama DPRD masing-masing wilayah untuk melakukan re-alokasi APBD. Apa sudah dijalankan? Saya sangsikan. Kenapa?
Karena di tiap anggaran itu sudah ada jatah proyek bagi tiap rekanan yang digandeng pemda. Dengan kata lain, sudah ada jatah komisi-nya. Maukah mereka kehilangan pos tersebut?
Di tingkat pusat-pun, rencana Jokowi untuk menerbitkan Perppu tentang recovery bond yang uangnya kelak dipakai sebagai dana talangan COVID-19, belum tentu mulus skenario-nya. Kenapa? Karena harus melalui persetujuan DPR.
DPR sebagai representasi parpol tentu akan melihat skema ini sebagai promosi gratis bagi Jokowi dan juga PDIP, mengingat skemanya yang mirip program populis bernama BLT ala SBY dulu.
Dengan kata lain, tanpa dana, pemerintah pusat sekalipun bisa apa? Nggak heran langkah Jokowi jadi terkendala.
Giliran ditanyain bagaimana soal dana penanggulangan dari pemda, eh rame-rame pada diam berjamaah. Bagi mereka, pokoknya yang penting buat statement politik banyak-banyaknya sebagai modal tabungan di pilkada serentak yang akan digelar tahun ini.
Jadilah setiap kepala daerah bersama-sama jadi banci tampil. Tiap-tiap daerah tanpa berkoordinasi dengan pemerintah pusat, langsung menerapkan karantina wilayah versinya masing-masing. Yang parah di Tegal, sampai menutup akses jalan utama hingga 4 bulan ke depan. Dasarnya apa?
Masalahnya, nggak ada kesadaran warga untuk menerapkan status karantina wilayah sesuai arahan pemimpin daerahnya. Wajar mereka nggak tertib, karena pemda ujug-ujug main terapkan status tanpa pertimbangan yang masak sama sekali. “Lha kalo di lockdown, saya makan apaan?”
Ini diperparah oleh ketidakdisiplinan warga +62 dalam menerapkan physical and social distancing. Kenduri massal, sembahyang di tempat-tempat ibadah sampai kongko-kongko gaje masih saja kerap dilakukan, seolah COVID-19 hanya dongeng pengantar tidur belaka.
Padahal, semua anjuran tersebut perlu diterapkan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Mungkin ditengah tekanan yang demikian masifnya, akhirnya Jokowi memutuskan sesuatu dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) alias large scale social restrictions. (30/3)
Singkat cerita, paling apes Darurat Sipil-lah yang akan diterapkan, guna menertibkan kelakuan warga +62 yang terbilang ngeyel tingkat dewa. “Social distancing sudah terbukti nggak efektif, karena nggak dijalankan dengan benar,” begitu ujar seorang narsum.
Dasar pijakannya adalah PERPPU No.23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam Perppu tersebut disebutkan tentang kewenangan presiden untuk menyatakan bahwa negara atau sebagian wilayahnya dalam keadaan darurat yang tidak bisa diatasi dengan cara biasa.
Merujuk pada Perppu tersebut, pemerintah dibawah otoritas presiden sebagai pemimpin tertinggi punya kewenangan untuk: ‘meminta keterangan, membatasi informasi, melakukan penggeledahan hingga memeriksa dan menyita barang’ demi alasan keamanan nasional.
Langkah ini akan efektif dalam mengatasi kemungkinan kerusuhan dan gangguan keamanan lainnya selama masa darurat sipil diberlakukan. Jadi, kalo ada yang masih ngeyel untuk keluar rumah seenak jidat (padahal sudah dilarang), bakal kena pasal mengganggu keamanan negara.
Ini perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat luas dari bahaya yang jauh lebih besar.
Aliasnya, kalo nggak mau dipidana, nggak ada lain kecuali tertib dan mengikuti anjuran pemerintah. Karena kalo anda tetap ngeyel, siap-siap berhadapan dengan pihak militer di lapangan. Berani?
Prinsipnya: selama anda tertib, jangan takut bakal ditahan dan lain sebagainya. Lagian Jokowi bukanlah penguasa Orde Baru yang hobi menebar teror.
Tebak siapa yang bakal kebakaran jenggot dengan langkah skak mat Jokowi tersebut? Nggak lain adalah pihak-pihak yang selama ini teriak pemberlakuan lockdown paling kencang.
Dengan darurat sipil, upaya provokasi rakyat lewat media mainstream yang selama ini digelar secara masif, bakal berakhir anti klimaks. Yang ada mereka bakal diciduk, sesuai prosedur darurat sipil tadi karena memprovokasi massa.
Bisa diprediksi, kembali mereka akan ramai-ramai bersuara: “Pemerintah tidak perlu memberlakukan darurat sipil, karena akan melanggar HAM.”
HAM gigi lu gendut…
Makin seru aja permainan ke depannya.
Saran saya kepada Jokowi: jangan terlalu banyak berhitung dalam ‘menggebuk’ para begundal tersebut. Karena makin dikasih hati, toh mereka akan minta rempeyek diakhir cerita.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Salam. Bang sekali-kali ulas terkait upaya DPR dan pemerintah mendorong pengesahakan UU Cipta Lapangan Kerja ditengah wabah Covid-19. Sepertinya sedang memanfaatkan situasi untuk memuluskan RUU Cilaka.
Terima kasih.
Salam kenal.