Oleh: Ndaru Anugerah
Dinarasikan, China sengaja membuat panik dunia dengan kasus COVID-19 yang diciptakannya. Harapannya, disaat panik, harga-harga saham pada anjlok dan saat itulah China bisa mengambil keuntungan dengan cara memborong harga saham yang tepar, dengan harga murah.
Dengan kata lain, China berhasil meraih sukses dari kasus Wuhan dengan menebar teror sekaligus mengambil untung didalamnya.
Setidaknya begitu cerita antah berantah yang diberi tag “China Winter” oleh seorang pegiat sosial media.
Benarkah?
Mari kita jawab narasi tersebut.
Apa beda opini dan fakta? Kalo opini nggak jelas juntrungannya karena nggak didukung data. Alias katanya-katanya melulu. Sebaliknya, fakta adalah hal yang pasti adanya karena ada data konkritnya.
Kalo saya katakan bahwa Jokowi adalah presiden RI, itu ada datanya. Ini bisa disebut fakta.
Sebaliknya kalo saya katakan bahwa China berhasil menciptakan vaksin COVID-19 berbekal informasi yang saya terima dari teman, yang ini namanya opini.
Teman yang mana? Validitasnya sangat diragukan.
Dengan kata lain, opini akan menghasilkan narasi. Dan narasi jika berkembang secara liar dan berulang-ulang plus bumbu sana-sini, maka akan menjadi hoaks alias berita bohong.
Mari kita lihat fakta dibalik narasi yang berkembang tersebut.
Pertama, dikatakan bahwa saat bursa saham anjlok, China memborong saham-saham yang jatuh tersebut. Pertanyaannya: saham yang mana? Dan berapa nilainya?
Faktanya, walaupun hampir semua saham jatuh, namun saham Big Pharma justru malah mengalami peningkatan yang signifikan. Dan saham Big Pharma berdasarkan data tidak dibeli oleh SPC maupun CIC secara besar-besaran.
Karena apa? China tahu benar siapa dibelakang layar Big Pharma tersebut. Dengan membeli saham Big Pharma, sama saja China nyumbang musuh bebuyutannya untuk bisa lebih ekspansif.
Kedua, dikatakan bahwa bursa Wallstreet dan London kembali rebound di 23 Februari yang lalu. Jelas ini ngawur. Berdasarkan berita yang diturunkan Reuters (24/2), indeks saham di Wallstreet justru saat itu hingga kini tetap anjlok karena dipicu kekhawatiran investor akan COVID-19.
Dan fakta ini diperkuat dengan aksi borong emas oleh investor sebagai solid investment, ketimbang saham. Nggak heran kalo harga logam mulia makin terkerek naik ke level tertinggi. Bahkan Inggris memborong emas dari Rusia dalam jumlah milyaran poundsterling, demi menyelamatkan kondisi perekonomiannya.
Jadi kalo dikatakan rebound, ambil data dari mana? Lha buktinya masih nyungsep, kok…
Ketiga, dikatakan China berhasil mengembangkan vaksin COVID-19. Tentang ini saya sudah bahas tuntas (baca disini). Yang benar, China baru pada tahap in vitro alias percobaan di laboratorium pada pasien bukan manusia. Masih jauh untuk bisa dikatakan telah menemukan vaksin.
Dan terakhir, dengan suksesnya China pada aksi borong saham, maka ke depan China akan otomatis menguasai perekonomian dunia, terutama AS.
Biar saya kasih tahu, ya…
China merupakan negara terbesar kedua setelah Jepang, dalam menguasai surat hutang Amrik alias US Treasury. Nilainya bukan kaleng-kaleng, mencapai USD 1,1 Trilyun. Itu data Juni 2019 berdasarkan rilis CNN (4/6).
Artinya, dengan uang sebanyak itu, kalo China iseng-iseng narik dananya secara langsung dari AS, apa AS nggak kolaps?
Kok bisa? Karena surat hutang AS tersebut diputar untuk berbagai keperluan kredit, mulai dari kredit rumah, kredit mobil hingga kredit usaha. Bisa dibayangkan kalo dana yang dipakai untuk memutar roda perekonomian AS kemudian di-rush China?
Tapi China nggak akan lakukan cara kasar tersebut, karena efek domino akan terwujud dan ujung-ujungnya ekonomi China juga akan terdampak.
Kalo sekedar iseng, China cukup membatasi ekspor mineral langka yang sangat dibutuhkan oleh industri teknologi dan pertahanan AS. Apa AS nggak kelimpungan?
Dengan kata lain, China secara de facto telah menguasai perekonomian AS berdasarkan surat hutang AS yang dimilikinya.
Belum lagi dengan cadangan devisa dimiliki China saat ini.
Sebagai gambaran kasar, sebanyak 1650 trilyun rupiah sudah disiapkan oleh China untuk menyukseskan proyek Belt and Road Initiative? Kebayang dong, berapa besar kekayaan China yang sesungguhnya?
Pertanyaannya: ngapain juga, China ngejar saham-saham di bursa Wallstreet dan London yang sifatnya recehan, dengan mengorbankan ribuan rakyatnya mati digerogoti COVID-19 yang menurut narasi tersebut diciptakan oleh China sendiri.
Logisnya dimana, Bray?
Disinilah pentingnya literasi dalam mencerna bahan bacaan yang kita santap.
Apa itu literasi, saya akan bahas pada tulisan selanjutnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments