Oleh: Ndaru Anugerah
Hubungan AS dan Iran, adalah hubungan saling berebut pengaruh di Timur Tengah. Mengapa saling berebut pengaruh? Karena migas dengan kandungan melimpah banyak ditemukan di jazirah tersebut selain kepentingan keamanan Israel. Jadi aksi berebut pengaruh mutlak diperlukan.
Awalnya, hubungan Iran dan AS cukup baik. Terbukti AS membantu Shah Reza Pahlevi dalam menggulingkan Mohammad Mosaddegh yang kala itu menjabat sebagai PM Iran. Sokongan ini juga nggak gratis, karena basis kepentingan migas AS di negara tersebut.
Hal tersebut luluh lantak tak kala monarki Pahlevi berhasil ditumbangkan oleh Revolusi Iran yang terjadi di tahun 1979. Praktis, sejak saat itu, hubungan diplomatik keduanya menjadi tidak ada, lantaran Iran yang menuding AS sebagai penyokong utama rejim Pahlevi yang terkenal sangat diktator. Mirip-mirip Soeharto, lah.
Seiring berjalannya waktu, skandal demi skandal antara keduanya sempat beberapa kali mengemuka. Mulai dari skandal Iran Kontra (1986) hingga tragedi ditembak jatuhnya pesawat komersial Iran Airbus A300 oleh AS (1988), yang menewaskan sekitar 290 orang.
Sebagai sebuah negara yang cukup luas di jazirah Arab, Iran kemudian mengembangkan fasilitas nuklir dengan memperkaya uraniumnya di awal 2000an. Sebenarnya ini bukan program baru, mengingat sejak era Pahlevi, Iran juga telah mengembangkan program serupa.
Menjadi hal yang mengkhawatirkan, mengingat eranya beda. Dulu Pahlevi adalah rejim boneka AS. Nah, kalo para Mullah? Apalagi, seperti pernah saya ulas, bahwa Iran sangat berkepentingan untuk melumat Israel untuk bisa hengkang dari tanah Palestina. (baca disini) Ini jelas ancaman.
Akhirnya AS menambah ganjaran sanksi terhadap Iran baik dari ekonomi hingga energi, buntut kerasnya upaya Iran untuk memperkaya program uranium-nya.
Namun hubungan ini sempat cair, manakala Presiden Obama berhasil mengajak Iran untuk menyetujui kesepakatan nuklir di tahun 2015. Intinya, Iran sepakat untuk mengurangi cadangan uraniumnya. Imbalannya, sanksi berlapis terhadap Iran dicabut.
Suasana damai tersebut langsung berubah drastis saat Trump naik tahta di tahun 2016. Kebijakan era Obama terhadap Iran, langsung diberangus. Alasannya, “Karena nggak mendapatkan persetujuan dari Konggres, jadi nggak sah untuk dieksekusi.”
Bahkan AS melakukan langkah lebih lanjut, antara lain dengan memaksa beberapa negara pelanggan minyak Iran untuk berhenti bertransaksi dengan negara Mullah tersebut. Tujuannya apalagi kalo nggak embargo ekonomi.
Dan semangat perang terhadap Iran, kembali dikobarkan.
Wajar saja, mengingat penasihat keamanan nasional Trump adalah John Bolton. Kalo yang belum kenal, dialah sosok dibelakang layar atas terjadinya perang Suriah dan juga inisiator invasi AS ke Irak di tahun 2003. “Orang ini maniak perang,” demikian ungkap narsum.
Sasus terdengar, Bolton tengah menggalang dukungan Konggres untuk bisa memerintahkan Pentagon bersiap perang melawan Iran, selepas kasus dibunuhnya Jenderal Qaseem Soleimani selaku Komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran.
Kenapa Jenderal Qaseem dijadikan target operasi pemerintahan Trump?
Jenderal Qaseem adalah sosok kedua terpenting di Iran setelah pemimpin tertinggi Iran – Ali Khamenei. Jadi fungsinya amat vital. Antara lain melakukan operasi militer dan kontra-intelijen diluar Iran, dari mulai sabotase, hingga mempersenjatai para milisi, utamanya yang ada di negara-negara jazirah Arab.
Kalo ternyata selepas invasi AS ke Irak di tahun 2003 dengan alasan kelak bisa menjadikan Irak sebagai negara boneka AS, nyatanya impian tersebut akhirnya jadi tinggal kenangan. Jenderal Qasem-lah sosok yang mengubur impian tersebut. Caranya dengan menggalang milisi-milisi yang ada di negara Irak untuk melawan AS.
Belum lagi kalo melihat jejak sang Jenderal di perang Suriah yang sukses mengusir ISIS selaku proksi AS di Suriah. Maka ini makin menguatkan ambisi AS untuk melenyapkan dirinya. Bayangkan kalo Irak berhasil disatukan dibawah komando Iran, maka cita-cita kaum zionis untuk menegakkan Israel Raya hanya tinggal dongeng belaka.
Dan Iran makin melenggang untuk terus menyokong milisi Hizbullah di Beirut melalui Irak guna menggempur Israel, tanpa halangan lagi.
Singkat cerita, rencana intelijen disusun dengan menggandeng Mossad sebagai rekanan di lapangan. Rencana ini jadi klop, karena pada saat yang sama, presiden Trump butuh simpati publik AS, setelah sebelumnya sukses dipecat oleh DPR-nya dipenghujung tahun 2019.
Makin kuatlah persengkongkolan dilaksanakan.
Berbekal informasi intelijen yang didapat, maka pada 3 Januari yang lalu, sang Jenderal rencananya bertandang ke Bandara Internasional Baghdad untuk memobilisasi para milisinya yang mendukung Iran dalam upaya mengusir AS dari Irak. Aksi ini sudah mengkhawatirkan mengingat kedutaan AS sudah dijadikan target.
Pada saat itulah, telah disiapkan kejutan berupa pesawat drone yang diperlengkapi rudal. Dan boom.. Walhasil, tubuh sang Jenderal hancur berkeping-keping karena serangan drone tersebut.
Makin memanas-lah hubungan keduanya. Apalagi selepas Iran menembak jatuh pesawat komersial Ukraina Boeing 737 yang menewaskan 176 orang. Banyak analis menduga, aksi Iran tersebut sebagai bentuk antisipasi atas rencana serangan balasan rudal AS ke Iran.
Tapi dalam hal ini, Iran kemungkinan salah prediksi. AS nggak akan melakukan perang terbuka terhadap Iran. Terlalu banyak resikonya. Belum lagi Rusia sebagai sekutu Iran, jauh-jauh telah mengingatkan AS untuk tidak ‘bermain api dengan Iran.’
Yang paling mungkin dilakukan AS adalah mengencangkan sanksi ekonomi terhadap Iran, karena kondisi ekonomi Iran yang kini menghadapi inflasi akut. Harapannya ini bisa memicu aksi gelombang demonstrasi besar di negara tersebut yang akhirnya dapat menggulingkan rejim Mullah.
Ini cara yang paling efektif dan lumayan murah meriah, ketimbang melakukan perang terbuka terhadap Iran. Lagian publik AS nggak akan dukung niatan perang yang diajukan Trump.
Untuk rencana tersebut, maka para proksi AS di Iran (yang kebanyakan LSM dan mahasiswa) telah bersiap menunggu instruksi lebih lanjut dari sang ‘ndoro besar’.
Terlepas dari masalah ini, publik Indonesia jadi terbuka matanya. Kalo selama ini ada narasi bahwa sebenarnya Iran yang Syiah adalah sekutu AS di Timur Tengah, maka otomatis narasi tersebut gugur dengan sendirinya.
“Mungkinkah, dengan membunuh jenderal kharismatik Iran pake rudal, AS dan Iran sekarang sedang main perang-perangan? Yang bokir ajah…”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments