Dalam suatu momen, saya bertanya kepada seorang relawan Jokowi yang ikut serta pada pertemuan relawan nasional di Boyolali, tempo hari. “Siapa yang akan diusung oleh kubu Jokowi pada 2024 nanti?”
Namun sayangnya, bukan jawaban yang saya dapat tapi hanya pernyataan yang sifatnya implisit.
Yang saya tangkap, kubu Jokowi belum mempersiapkan siapa penerus tongkat estafet kepemimpinan nasional, selepas dirinya purna bakti nanti di 2024. Setidaknya belum ada untuk saat ini.
Sementara dikubu kadal gurun and the gank, mereka telah bulat hati untuk menyorong gabener sebagai kandidat kuat mereka. Pertarungannnya bisa dibilang berlapis. Pertama sang gabener harus melewati pilkada DKI. Dan ini harus sukses agar langkah di gelaran pilpres 2024 bakal moncer.
Untuk itu, sang gabener mulai ancang-ancang sedari awal. First thing first, apa yang diperlukan dalam pertempuran berlapis di 2022 dan 2024 nanti? Pertama uang, dan kedua dukungan. Uang diperlukan sebagai bensin bagi mesin perang, sedangkan dukungan diperlukan buat meraup suara.
Untuk dukungan, mungkin akan bisa disiasati nantinya. Dukungan kan bicara soal bagi-bagi kue kekuasaan, nothing more. Kalo ada pembagian yang jelas, siapa dapat apa, maka dukungan akan mudah didapatkan. “Karena nggak ada yang gratis dalam politik.”
Nah bicara fulus, disini justru masalahnya. Kalo seorang Pepo bisa memenangkan kontestasi pilpres dengan memanfaat ricuh bank Century, saat ini bank mana yang kolaps? Kalo dulu transaksi perbankan bisa unlimited, sekarang beberapa ratus juta saja sudah jadi tanda tanya besar pihak PPATK.
Kalo mengharapkan donasi dari relawan, iya kalo relawannya tajir? Nah kalo kere? Lagian orang yang notabenenya tajir mlintir, berapa banyak sih? Aliasnya, cara ini nggak bisa diharapkan buat mempertebal pundi-pundi buat gelaran pilkada apalagi pilpres.
Sebagai gambaran, perlu sekitar 6-7 trilyun bagi seorang kandidat yang ingin melaju digelaran pilpres. Dana segitu gede diperlukan dari mulai penyediaan alat peraga kampanye, bayar saksi di tiap TPS, hingga biaya pasukan tuyul di medsos dan nggak ketinggalan jasa konsultan politik.
Sudah rahasia umum, bahwa salah satu faktor gagalnya Om Wowo dalam gelaran pilpres 2019 yang lalu adalah keterbatasan modal buat bertarung. Makanya bayang-bayang keok sudah terlihat diawal-awal, karena alasan klasik nggak punya cukup amunisi alias modal cekak.
Sadar akan kegagalan tersebut, jauh-jauh hari sang gabener sudah pasang ancang-ancang. Ibarat lari marathon, step by step harus dilalui dengan cermat.
Dalam hal pendanaan, kolaborasi antara mantan pejabat KPK yang dipekerjakan di TGUPP dan juga bantuan orang dalam di KPK, juga dirancang dengan sangat baik. Tujuannya satu: agar upaya pengumpulan dana bisa langsam jalannya.
Wajar kalo publik menilai ada kongkalikong di tubuh KPK, mengingat banyak akal-akalan gabener dalam mengotak-atik anggaran daerah secara berulang-ulang, toh nggak ada juga tanda-tanda bakal terciduk.
“Dilaporin sih sudah, tapi nggak ada follow up dari lembaga anti rasuah,” begitu ungkap narsum. Kenapa bisa begitu? Karena ada bekingan ditubuh KPK selain ada penasihat ajaib sang gabener di tubuh TGUPP, sehingga akal-akalan tersebut bisa lancar jaya.
Gak percaya? Coba kita telisik beberapa kasus spektakuler sang gabener yang bersentuhan dengan anggaran.
Pertama dari kasus dana Frankfurt Book Fair senilai Rp 146 milyar, saat sang gabener menjabat sebagai Mendikbud di tahun 2015. Padahal kasus ini sudah dilaporkan oleh Direktur Government Against Corruption and Discrimination (GACD) Andar Situmorang. Tapi kenapa nggak ada kabar beritanya hingga hari ini?
Yang kedua, kasus waring kali item. Pagu anggaran yang digelontorkan sebanyak Rp 580 jutaan guna menanggulangi bau parfum yang berasal dari kali item saat gelaran Asian Games yang lalu. Kalo dihitung-hitung, dana yang dipakai Rp.40 ribu per meternya.
Kemahalan harganya. Padahal kalo di olshop, harga per meter persegi waring dengan lebar 3 meter, paling banter dibandrol Rp.13 ribuan. Taruhlah dibulatkan jadi Rp.15 ribu. Artinya ada selisih sekitar Rp.25 ribu. Menang banyak, bray….
Yang ketiga, kasus instalasi Getah Getih di Bundaran Hotel Indonesia karya seniman Joko Avianto yang menelan biaya Rp.550 juta. Padahal bahan dasarnya cuma bambu. Semahal-mahalnya bambu, apa nyampe angka ratusan jeti?
Belum habis Getah-Getih yang mirip posisi senggama tersebut, eh muncul lagi kasus instalasi Gabion alias susunan batu yang ditumpuk dan diikat menggunakan tali menyerupai kawat. Dananya nggak nanggung-nanggung, sekitar Rp.150 jeti. Duit semua, tuh?
Dan dari ketiga kasus itu saja, dengan menggunakan nalar sebenarnya sudah cukup menghantarkan sang gabener untuk mendekam di hotel prodeo. Tapi kenapa so far, aman-aman saja. KPK kemana aja?
Bukan sulap bukan sihir. Karena memang sang gabener punya bekingan dan penasihat ajaib tadi.
Bila dilanjutkan, bukan nggak mungkin road map di 2024 akan dimenangkan sang gabener. Dan karenanya, langkah ini harus dihentikan.
Adalah sang tukang kayu, yang mengendus akal bulus sang gabener lewat manipulasi anggaran.
Makanya, nggak ada cara lain. KPK harus dibenahi.
Maka jeng-jeng…muncullah UU KPK yang baru.
Dengan adanya UU KPK yang baru, maka segala macam mekanisme yang selama ini menggurita di tubuh lembaga anti rasuah tadi, utamanya untuk mengamankan jalan sang gabener untuk ngakalin anggaran, bakal terkendala.
Ada Dewan Pengawas. Ada lagi pasal yang mengatur posisi penyidik yang harus sehat jasmani dan rohani. Kalo sudah begini, langkah gabener bakal mati gaya.
Nggak ada cara lain, UU KPK yang baru disahkan harus dicabut. Maka seketika ramailah dunia persilatan. Karena memang ada agenda besar dibalik UU KPK tersebut. Semua elemen dari mulai mahasewa hingga pelajar, digerakkan dengan satu tujuan: “Keluarkan Perppu buat menarik UU KPK yang baru.”
Saya dapat selentingan, bahwa aksi pelajar utamanya di DKI seakan mendapat angin segar untuk berdemonstrasi, karena dapat endorsement dari pihak sekolah. “Coba dicek, kebanyakan guru-guru PNS bukankah kader atau simpatisan partai Barokah,” demikian bisik seorang.
Baik pilkada maupun pilpres memang masih jauh perhelatannya. Namun aroma panasnya sudah kentara dari sekarang. Bersiaplah untuk menyaksikan tayangan yang lebih seru ketimbang nonton film The Joker, karena akan banyak tumbal bergelimpangan ditengah jalan nanti. Percayalah!
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments