Siang tadi, nganterin istri untuk kontrol ke rumah sakit pasca operasi usus buntu dan kista beberapa hari yang lalu. Jadwal dokternya rada molor, karena kata mbak resepsionis rumkit bahwa sang dokter sedang menangani operasi.
Setelah tunggu lumayan lama, akhirnya sang dokter muncul juga.
Sang dokter langsung buka pembicaraan, “Jadi istri bapak tempo hari kena usus buntu akut. Terlambat ditangani sedikit saja, bakalan runyam masalahnya.”
Istriku langsung bertanya kepada dokter tersebut, “Sebenarnya, penyebab usus buntu itu apa sih dok? Apa karena terlalu banyak makan biji-bijian semisal jambu dan cabai?”
Lewat keterangan yang diungkapkan sang dokter, saya langsung paham penyebab usus buntu.
Adalah mitos kalo ada yang mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah gegara seseorang kerap mengkonsumsi biji-bijian. Bukan itu. Masalah utamanya adalah pola konsumsi seseorang yang kurang serat plus sedikit minum.
Akibatnya, kotoran dalam tubuh tidak dikeluarkan secara benar karena kurangnya asupan serat. Padahal fungsi serat yang didapat dari sayur dan buah adalah sebagai pelumas dalam sistem pencernaan di dalam tubuh.
Karena kurang pelumas, kotoran dalam tubuh tadi akhirnya terjebak masuk ke dalam usus buntu yang nggak ada jalan keluarnya. Perlahan kotoran tadi mengeras dan membusuk dalam usus buntu tersebut. Satu-satunya cara, yah harus dioperasi kalo nggak mau ususnya pecah dalam perut.
Selain usus buntu, pola makan ala junk food juga memicu penyakit lain seperti batu empedu.
Nggak aneh kalo jaman baheula, penyakit usus buntu dan batu empedu biasanya di derita oleh orang yang sudah ‘berumur’. Namun kini justru banyak dialami oleh anak-anak. Penyebabnya ya pola makan kurang serat ala junk food yang ironisnya justru sangat digemari generasi micin.
Beberapa hari yang lalu, beberapa perwakilan mahasiswa dari Trisakti, Paramadina, Tarumanegara dan Ukrida menemui Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan (3/10). Tujuannya adalah untuk mendesak presiden Jokowi mau menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK yang baru.
Intinya mereka ngotot disertai ancaman, “Kalo Jokowi nggak mau mengeluarkan perppu sebelum hari pelantikkan, kami akan turun ke jalan kembali dalam jumlah yang lebih besar.”
“Akankah Jokowi mengeluarkan perppu pasca ultimatum mahasiswa, bang?” demikian tanya seseorang.
Sekarang saya tanya kembali, apa syarat keluarnya perppu?
Perppu walaupun keputusan yang sifatnya subyektif dari seorang presiden, namun bukan berarti bisa keluar seenak perutnya saja. Ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi.
Pertama, situasi genting. Berdasarkan UUD 1945 pasal 22 diperkuat oleh putusan MK No.138/2009 bahwa perppu hanya bisa dikeluarkan jika dan hanya jika kondisinya genting alias memaksa.
Timbul pertanyaan: apakah karena ada tekanan massa berupa demonstrasi, lalu bisa dikategorikan genting?
Kan nggak juga. Genting itu kalo demonstrasinya sampai berdarah-darah, terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, didukung oleh mayoritas rakyat dan kalo nggak dikeluarkan dengan segera akan menyebabkan disintegrasi, misalnya. Apakah kondisinya sedemikian parahnya?
Lha wong, demonstrasinya hanya terjadi di beberapa daerah. Lagian rakyat masih bisa belanja di pasar seperti biasa dan belum melihat urgensi perppu pada UU KPK bagi kelangsungan hidup mereka. Dan kalo perppu nggak terbit, apa iya Indonesia bakal terbelah?
Dengan sendirinya, kondisi genting belum menemukan pembenarannya saat ini.
Masalah kedua, menyangkut substansi perppu. Mungkin mahasiswa yang datang ke istana nggak punya bekal cukup atas tuntutan yang mereka buat. Belum lagi UU KPK disahkan jadi UU yang resmi, kok dah buru-buru menuntut dikeluarkan perppu?
Coba dicek, memang UU KPK tersebut sudah memiliki nomor registrasi? Apa jangan-jangan mereka pikir, kalo proses terbitnya UU itu sama saja prosesnya dengan arisan ibu-ibu RT?
Bila kemudian presiden mengelurkan perppu sesuai tuntutan mereka, maka presiden bisa masuk ke dalam jebakan batman, karena melanggar aturan main dalam penyelenggaraan negara. UU nya saja belum resmi di registrasi, kok sudah diaborsi lewat perppu?
Sama saja kasusnya dengan menyuruh Lucinta Luna melakukan aborsi, bray…
Konsekuensinya kemudian adalah seorang Jokowi bisa dimakzulkan dengan alasan offside terhadap UU yang berlaku.
Pertanyaannya: apa iya seorang kepala negara nggak punya ahli hukum dan ketatanegaraan yang kasih masukkan ke beliau sebelum ambil keputusan?
Dan yang paling ngehe adalah kalo seandainya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan judicial review yang isinya menolak permohonan uji materi terhadap UU KPK yang baru. Artinya UU KPK tersebut sudah sah dimata hukum. Kebayang nggak kalo presiden justru malah duluan mengeluarkan perppu pembatalan, sebelum putusan MK?
Apa kata kak Emma?
“Bukankah Jokowi sudah berjanji untuk menerbitkan perppu?”
Coba simak apa pernyataan pakde tentang perppu: “Akan dipertimbangkan, dihitung, dicermati dan bla-bla-bla.” Artinya terbitnya perppu bukan merupakan sebuah janji. Karena kalo janji, wajib hukumnya untuk dibayar. Jadi nggak salah juga kalo Jokowi nggak terbitkan perppu.
Saran saya kepada adik-adik mahasewa: mendingan kalian belajar baik-baik. Buat bangga orang tua dengan capaian gemilang kalian semasa kuliah. Bukan malah turun ke jalan gegara ada pihak yang ngompor-ngomporin kalian.
Lagian kalo terjadi kenapa-kenapa saat kalian aksi, apa pihak yang ngomporin itu peduli sama nasib kalian?
“Apa jangan-jangan kalian mo demo gegara dijanjiin untuk bisa jadi pegawai pemprov DKI?”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments