Namanya Michael Rubens Bloomberg. Multi milyarder asal Amrik yang juga filantropis alias penderma bagi banyak orang nggak mampu sedunia melalui yayasan amal yang dimilikinya.
Bisnis utama Bloomberg adalah media massa, dengan spesifikasi layanan informasi keuangan dan keamanan data. Ringkasnya, kalo ada perusahaan yang butuh big data finansial serta bagaimana data finansialnya nggak gampang ‘dijebol’, ke Bloomberg LP-lah mereka melabuhkan harapannya.
Bloomberg sendiri merupakan bekas walikota New York, sejak 2002 hingga 2014. Bloomberg sendiri berhasil maju menduduki jabatan walikota atas sokongan penuh Andrew Carnegie dan Henry Ford.
Siapa yang kenal dengan Carnegie Foundation dan Ford Foundation?
Kalo seseorang mau menapak karir sebagai politisi di AS, konon dia wajib masuk lembaga-lembaga tersebut selain Rockefeller Foundation, tentunya. Coba cek politisi top AS yang nggak berafiliasi pada ketiga lembaga tersebut?
Bloomberg sendiri kini digadang-gadang sebagai lawan kuat Trump dari partai Republik untuk maju sebagai kandidat presiden AS tahun 2020 nanti.
Apa yang menyebabkan seorang Bloomberg menjadi sosok yang fenomenal?
Kebijakannya semasa menjabat sebagai walikota. Dari mulai pelarangan merokok yang dilakukan secara masif hingga legalisasi pernikahan sejenis dan pro-choice alias legalisasi terhadap kasus aborsi. Benar-benar seorang liberalis Wahyudi tulen.
Selaku multi milyader, Bloomberg merupakan orang terkaya di New York sekaligus masuk jajaran orang tajir melintir sedunia. Majalah Forbes pada tahun 2009 pernah merilis kekayaannya sebesar USD 16 milyar atau setara dengan 224 trilyun rupiah. Warbiyasah…
Tidak cukup sampai disini. Bloomberg kemudian mendirikan Bloomberg Initiative yang dijadikan yayasan amal untuk menyalurkan uang dalam jumlah besar untuk menyukseskan kampanye besarnya: Perang lawan Nikotin.
Dalam menjalankan aksinya, Bloomberg nggak sendirian. Ada penyokong dananya.
Pernah dengar Novartis, Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline atau Pfizer? That’s right. Merekalah perusahaan dunia yang bergerak dibidang farmasi. Siapa yang punya? Ya, siapa lagi selain genk Rothschild.
Modusnya, perusahaan-perusahaan tersebut menggelontorkan dana milyaran dollar ke seantero jagat untuk memerangi bahaya rokok. “Stop merokok” itu kampanye yang kerap mereka teriakkan.
Dana itu digelontorkan melalui Bloomberg Initiative. Dari situ, dana besar menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam menyukseskan perang yang diusungnya, Bloomberg dan para industrialis farmasi tadi menggandeng badan dunia dibawah naungan PBB, yaitu WHO.
Jadi gerakan mereka ada basis legitimasinya. Wong lembaga kesehatan dunia saja melarang konsumsi rokok. Terus apa salah kalo Bloomberg kemudian mengkampayekan gerakan anti merokok?
Lewat kolaborasi dengan John Hopkins University dan WHO Tobacco Free Initiative, pada tahun 1990an dimulailah kampanye anti rokok besar-besaran dengan ‘merekayasa’ data statistik tentang bahaya merokok beserta penyakit-penyakit mematikan yang bisa ditimbulkan akibat merokok.
Lalu salahnya dimana? Sekilas nggak ada yang salah.
Namun kalo ditelisik lebih lanjut, mereka melarang rokok, tapi kemudian menjual barang substitusinya. Aliasnya kebiasan merokok ditukar dengan ‘barang lain’ untuk menghentikan aktivitas merokok. Barang itu dalam farmasi dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).
NRT bisa mengambil bentuk apa saja, dari permen karet, koyok hingga obat hisap. Sebagai gambaran Nicorette yang merupakan produk NRT, berhasil mengatongi keuntungan bersih 570 juta USD dalam tahun 1999 saja. Chantix yang diproduksi Pfizer nggak kalah set, dengan membekukan keuntungan bersih 883 juta USD di tahun 2007.
Masalahnya adalah, NRT sendiri berbahan nikotin yang sudah pasti nggak aman buat kesehatan. Pernah dengar sudden infant death syndrome alias bayi yang tiba-tiba mati mendadak sebelum umur setahun? Penyakit itu ditenggarai disebabkan dari konsumsi NRT tadi.
Aliasnya ada perang dagang antara industri rokok dan farmasi dalam memperebutkan nikotin yang merupakan sumber fulus bagi keduanya, dibalik kampanye anti merokok.
Sebagai informasi, Bloomberg Initiative sudah banyak menggelontorkan dana segarnya bagi kalangan akademis, anggota DPR hingga LSM. Semuanya demi kampanye anti ngokar.
Pernah dengar fatwa haram merokok yang dikeluarkan PP Muhammadiyah? Meskipun pengurus Muhammadiyah mati-matian kasih klarifikasi tidak ada kaitan antara keluarnya fatwa dengan Bloomberg Intitiative, nyatanya mereka sudah terima fulus sebesar Rp.3,6 milyar di tahun 2010.
Kalo kemudian ada LSM bernama Yayasan Lentera Anak, menerima dana hibah dari Bloomberg Initiative dari 2013 hingga tahun 2020 konon milyaran angkanya, melaporkan keberatan mereka ke KPAI atas dugaan ekslpoitasi anak yang dilakukan oleh Djarum Foundation, apakah ini hanya kebetulan semata?
Yang bokir….
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments