Mengincar Posisi Strategis
Ada banyak kecaman terhadap penggantian dirut pertamina – Elia Massa Manik – tertanggal 20 April 2018. Semuanya mengarah kepada Rini Soemarsono, selaku Menteri BUMN sekaligus eksekutor yang selama ini lebih dikenal sebagai wanita karir yang sukses.
Agak malas juga mengulas yang model gini, benarnya… Takut timbul subyektifitas. Tapi karena ada kolega yang tanya analisa saya, yah here it is…
Selama ini sudah rahasia umum kalo BUMN merupakan sarang untuk ngerampok secara berjamaah. Dan semua ideologi maupun partai jadi mendadak damai dan satu suara, kalo urusan ngerampok berjamaah di BUMN…”Kapan lagi coyy…aji mumpung,” begitu pungkasnya.
Sadar posisi sebagai tempat untuk ngerampok berjamaah, maka sejak menjabat presiden, jokowi langsung menaruh the right man on the right place. Apa artinya? Yang harus menjabat menteri BUMN, harus orang non-partisan. “Bakal banyak vested-interest, nantinya kalo rang partai,” pikir pakde.
Utak-atik, dapatlah satu nama. Rini Soemarno. Penunjukkan ini bukan tanpa alasan. Seabreg prestasi sudah Rini torehkan dikancah dunia bisnis.
Tahun 1982, setelah magang di Departemen Keuangan AS, Rini memutuskan untuk mudik ke Indonesia. Jebolan Wellesley College, Massachusetts ini memilih untuk bekerja di Citi Bank, Jakarta. Singkat kata, karirpun melejit dan didaulat untuk menjadi Vice President di perusahaan asing tersebut.
Posisi yang lumayan established itu ga buat Rini berpuas diri. Toh, di tahun 1989, ia memilih untuk hengkang ke Astra Internasional. Dia menempati pos sebagai Direktur Keuangan di sana. Dan kepiawaiannya dalam mengurus keuangan, di perusahaan otomotif itu kala dilanda krisis, layak diacungi jempol.
Akibat krisis ekonomi melanda Asia, Astra-pun menghadapi badai itu. Akibatnya, kerugian Astra pada semester pertama saja di 1998, sudah mencapai angka 7,36 T. Aliasnya, Astra sudah diambang kebangkrutan saat itu. Sahamnya saja di BEJ hanya senilai Rp 225/lembar saham. Boleh dibilang, saham sekelas kacang goreng…
Rini kemudian membuat langkah efisiensi yang sangat brilian. Dari mulai pemotongan gaji eksekutif, penutupan jaringan distribusi yang nggak strategis sampai PHK karyawan sebanyak 20%, selain restrukturisasi hutang dan menjadikan para karyawan Astra sebagai pemegang saham.
Walhasil, berkat langkah-langkah strategis yang diambilnya, Astra berhasil meraup untung di tahun 1999 sebanyak Rp 800 milyar. Dan Astra-pun selamat dari jurang kebangkrutan.
Atas dasar itu lah, jokowi merasa tertarik dengan seorang Rini. Maka sejak saat itu, segala kebijakan yang diambil oleh Rini, selalu dijadikan sasaran tembak pihak-pihak yang selama ini mengincar posisi strategis tersebut.
Lantas kenapa seorang Elia, “dipecat” sebagai seorang dirut?
Pertama karena pertamina berupaya mempercepat implementasi holding migas dan Elia kurang sigap mengantisipasi hal itu. Kedua karena Elia dianggap terlalu sering buat “manuver”ketimbang kerja. Contoh yang paling nyata adalah menaikkan harga pertalite sekaligus mengurangi pasokan premium.
Gimana maksudnya?
Kalo harga pertalite dinaikkin 200 perak, ini bisa jadi masalah serius. Sebab, dengan selisih harga premium dan pertalite menjadi Rp. 1.450,- maka orang akan berbondong-bondong beralih dari pertalite ke premium, tapi apesnya premium malah dibuat langka di pasaran.
Ini akan memacu tembakan kaum kamfret kepada pihak jokowi sebagai regulator. Akibatnya, suasana gaduh tercipta. Singkat kata, CUT – dan Elia-pun didepak. “Ketimbang bikin gaduh lebih lanjut.”
Maka, beramai-ramai lah tembakan demi tembakan mengarah ke Rini. Dari mulai terima komisi-lah, gak ada koordinasi dengan jokowi-lah, sampai stigma upaya Rini mencoba membuat kroni baru di tubuh pertamina. Tapi jujur, yang kena getahnya yah jokowi juga ujung-ujungnya.
Apakah memang seorang Rini demikian adanya, bekerja tanpa koordinasi dan membangun kroni? Gampang analisanya. Apa mungkin seorang Buwas ditunjuk menjadi Dirut Bulog oleh seorang Rini, tanpa ada “arahan” dari seorang jokowi?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments