2018: Tahun Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pada penghujung 2017, Jokowi pernah berkata: “Saya ingin pada 2018 kita memberikan perhatikan kepada peningkatan investasi SDM, sumber daya manusia“
Apa artinya?
Kalo kita mau menjadi bangsa yang memiliki daya juang tinggi pada pertarungan global, yah SDM harus dibenahi. Gak mungkin juga kita terus-terusan menagandalkan pada kekayaan SDA (semisal minyak, gas dan batubara) yang ada dinegara kita, yang kian tahun kian menipis cadangannya.
Indonesia harus bangkit dari mimpi nina-bobo selama berpuluh-puluh tahun. Apalagi mimpi menantikan datangnya sang Ratu Adil…
Berbicara tentang SDM, maka gak lepas dari pabrik yang menelorkan SDM itu sendiri. Pendidikan! Itu lah asal muasalnya. Kok bisa yang disasar pendidikan?
Begini yahh..
Tercatat, menurut catatan PISA (Programme for International Students Assessment) tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat 60-an dari 69 negara yang dieavaluasi. Ada 3 aspek yang dikaji pada PISA: sains, membaca dan matematika.
Laporan TIMMS (Trends in International Math and Science Survey) 2007, lebih miris lagi. Performa siswa Indonesia yang ada dibawah rata-rata sekitar 78%, sementara yang ada di atas rata-rata (advanced) hanya sekitar 5% saja.
Sundul lagi… laporan Global Human Capital Report 2017 yang dipublikasi oleh World Economic Forum, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat 65 dari 130 negara. Demi Habibul….
Nah…dari 3 paparan itu saja, dapat kita simpulkan 1 hal. SDM Indonesia sudah MENGUAT-irkan…
Inilah yang menjadi concern presiden Jokowi.
Mau nggak mau, terima gak terima, walaupun bukan proyek jangka pendek, langkah perbaikan harus segera diambil. Dan sekali lagi, pusatnya adalah pendidikan, karena disinilah letak masalahnya..
Pendidikan yang punya karakter kuat ke-Indonesiaannya. Pendidikan yang bisa mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan SDA-nya. Pendidikan yang memiliki karakter positif (seperti: kejujuran, kerja keras dan disiplin).
Kalo kita tilik sedikit, ada carut marut dalam dunia pendidikan. Ibarat kanker, maka vonis-nya sudah stadium 4, lah kira-kira. Tinggal tunggu waktu, proses game over sudah di depan mata.
Lihat materi yang diajarkan pada anak-anak sekolah dasar. Coba kritis kita bertanya: Untuk apa materi yang tidak pokok disodorkan ke siswa? Untuk apa siswa sekolah dasar yang harusnya menguasai kemampuan dasar, kok malah diberi materi lanjutan? Untuk apa juga, anak diajar pada penguasaan materi yang sifatnya kaji hapal, semata?
Dari segi tenaga pengajar, juga nggak kalah seru. Guru-guru (khususnya PNS), yang harusnya sebagai Abdi Negara, kok yah malah ngajarin muridnya untuk ndiriin khilafah? Kok yah malah nyebar hoax di medsos dengan mengklaim ada kebangkitan PKI sekitar 15 juta orang yang siap mengganyang para ulama?
Pertanyaannya: salahkan kalo anak muridnya meniru tindakan guru tesebut dengan menyebar hoax? Atau bergabung dengan grup teroris untuk mendirikan kekhalifah-an?
Dan segi/aspek lainnya, sungguh amat banyak untuk dibenahi.
Pertarungan abad 21 adalah penguasaan teknologi. Dan teknologi hanya bisa dikuasai oleh SDM yang mumpuni.
Kalo kita tidak move on dari sekarang, jangankan cita-cita untuk menyaingi Singapura, mengejar kesejajaran dengan negara Vietnam aja kita empot-empotan.
Itu sungguh berat. Kita tidak akan mampu. Mungkin hanya Dilan yang mampu menanggungnya.
Itupun kata Milea…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments