Saya punya teman yang suka bercerita. Tentang banyak hal, dari keluarga hingga tetangganya. Sesekali dia berkisah, bahwa tetangganya yang baru berhijrah, nggak pakai lama langsung mendadak kaya raya.
Melihat fenomena ini, ditambah ceramah-ceramah dari para ustadz medsos, maka ramailah para kerabat, handai taulan dan nggak ketinggalan para tetangganya ikutan berhijrah.
Apa motivasinya untuk berhijrah? Entahlah…
Lalu, sebenarnya hijrah itu apa?
Konsep hijrah sendiri pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1990an, lewat gerakan liqo dan halaqah yang banyak digelar oleh kader-kader militan Ikhwanul Muslimin yang ada di nusantara. Semboyannya, “Islam saja nggak cukup.” Alias harus berhijrah.
Gerakan hijrah menyasar kelas menengah urban yang tengah hidup frustasi sehingga butuh tuntunan hidup. Mengutip istilah cendikiawan Muslim – Najib Kailani, merekalah golongan yang menawarkan Islam ready to use alias Islam siap pakai.
Di Timur Tengah sendiri, gerakan ini biasa disebut sebagai Islam Air Conditioning. Maksudnya? Ya Islam yang kerap mengadakan pertemuan-pertemuan membahas seputar ajaran agama di ruang-ruang ber-AC seperti hotel dan café, pokoknya tempat yang identik dengan kenyamanan.
Apa konsep siap pakai yang ditawarkan? Ajarannya praktis, tidak rumit, serba instan serta tidak menimbulkan kebimbangan.
Kalo misalnya seorang Prof. Quraish Shihab selaku pendakwah ditanya tentang apakah seorang muslimah wajib berhijab, maka jawabannya akan sangat rumit dan bagi yang dangkal ilmu agamanya akan dapat menimbulkan kegalauan di akhir cerita.
Sebaliknya, kalo pertanyaan serupa dilemparkan ke para pendakwah yang mengusung konsep hijrah, jawabannya singkat dan padat: Wajib hukumnya untuk berhijab.
Nggak aneh kalo gerakan ini sukses berat dikalangan anak muda jaman now. Pesertanya dari mulai anak remaja, mantan anggota genk motor, hingga eks pemakai narkoba.
Dan bagi yang sudah berkeluarga, gerakan ini sungguh menjanjikan karena dipercaya bisa mendatangkan kemakmuran dan juga kesehatan tentunya.
Jangan heran banyak fenomena artis-artis yang mulai redup gemerlapnya, kemudian beramai-ramai bergabung ke gerakan hijrah tersebut.
Sampai disini nggak ada yang salah sebenarnya.
Masalah satu-satunya adalah saat gerakan ini mengusung konsep pemurnian Islam, dimana negara dianggap sebagai sesuatu yang dzalim dan wajib ditumbangkan. Disinilah letak masalah sesungguhnya. Mau hidup dan cari uang di Indonesia, bukan berterimakasih tapi malah merongrong negara dari dalam.
Sebenarnya, fenomena hijrah ini bukanlah konsep yang baru-baru amat. Di Amrik sana pada masa pasca perang dunia II ada juga gerakan dengan konsep yang kurang lebih sama, yang bernama Teologi Kemakmuran alias Teologi Sukses.
Gerakan TK ini bermula saat usainya PD II, dimana laju pertumbuhan ekonomi AS mulai menjulang. Akibatnya gaya hidup borju mulai melanda masyakarat disana. Praktis ajaran agama, utamanya Kristen mulai ditinggalkan pengikutnya. Kenapa?
Karena menurut rumusnya, menjadi Kristen ya harus siap hidup misqueen.
Terjadi kegamangan saat itu, dimana ajaran agama nggak matching sama yang terjadi di dunia. Ditengah kondisi galau tersebut, muncullah gerakan Teologi Kemakmuran yang coba menggabungkan ajaran agama dan gemerlapnya dunia.
“Allah menghendaki kita untuk bisa hidup makmur,” demikian kredo-nya.
Aliasnya, Tuhan menghendaki umatnya untuk bisa hidup kaya dan jauh dari sakit penyakit. Gerakan TK juga berpendapat bahwa miskin dan penyakit bisa terjadi pada orang-orang yang kurang iman serta berdosa.
Maka berbondong-bondonglah orang kembali masuk Kristen yang mengusung TK tersebut. Siapa juga yang nggak mau kaya raya dan terbebas dari sakit penyakit. Udah gitu, syaratnya pun lumayan mudah. Cukup beriman dan bersedia memberi persembahan lewat persepuluhan.
Menurut ajaran ini, dengan memberikan uang persembahan maka rejeki yang akan didapat kelak akan dilipatgandakan oleh Tuhan. Kalo kasih gopek, maka minimal goceng bakal didapat. Dengan kata lain, niat memberi persembahan adalah motif ekonomi belaka, bukan timbul dari ketulusan hati.
Siapa yang pengusung gerakan TK? Nggak lain golongan Kristen Evangelis, yang kini giat mengusung kebijakan Trump yang sangat rasis tersebut. Kalo bicara golongan ini, pakai nalar sedikit kita akan tahu siapa yang berada dibelakangnya.
Dan uniknya, baik kelompok pengusung hijrah dan teologi kemakmuran punya prinsip yang sama, yaitu sangat anti kritik. Bagi mereka pintu dialog sudah tertutup rapat, just take it or leave it.
Apa ini hanya kebetulan belaka, Ferguso?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments