Tentang Infrastruktur


514

“Kami tidak makan infrastuktur,” demikian teriak para kampret menanggapi maraknya proyek pembangunan yang secara intens dikebut oleh Jokowi. Sebenarnya ‘makanan’ apa itu infrastruktur?

Secara definitif, infrastruktur adalah kebutuhan dasar fisik yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Contoh: kalo mau dagang keliling daerah, tapi fasilitas jalannya nggak ada, apa bisa usahanya jalan? Atau kalo mau ngirim barang ke Papua, misalnya, tapi nggak ada bandara atau pelabuhan, apa bisa barangnya sampai?

Dengan kata lain, tanpa infrastruktur akan matilah nadi perekonomian. Kok bisa? Karena sesuai definisinya, tanpa infrastruktur maka roda ekonomi bakal mandek alias nggak jalan. Apa jenisnya? Macam-macam, dari mulai jalan, bandara, pelabuhan hingga waduk. Itulah infrastruktur.

Dahulu waktu Orde Baru berkuasa dibawah kepemimpinan rejim Soeharto, infrastruktur diperlakukan sebagai anak tiri dalam pembangunan. Kalo-pun ada pembangunan infrastruktur, bisa dipastikan bahwa itu ‘ada udang dibalik bakwannya.’

Contoh, pembangunan jalan. Kalopun ada, pasti sarat niat korupsinya. Akibatnya spesifikasi jalan tidak sesuai dengan peruntukkan. Harusnya ketebalan aspal 30 cm, eh disunat jadi cuma 10 cm. Bahan-pun tak luput dari proses penyunatan. Harusnya dipakai KW 1, eh jadi KW 3.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian?

Jalan yang harusnya mampu bertahan 10 tahun, paling banter usianya hanya sampai 3 bulan. Jalan jadi rusak, karena nggak bisa menahan berat kendaraan yang melewatinya.

Kondisi jalan yang sengaja dibuat rusak, jadi sasaran empuk untuk dijadikan lahan korupsi tiap tahunnya. Begitulah korupsi bisa berjalan selama puluhan tahun, secara masif dan berjamaah. Karena rejim Orba memang melanggengkan proses tersebut.

Jadi jangan harap ada pembangunan jaman Orba dulu. Jalanan hanya sekedar ada aja, sudah syukur Alhamdulillah. Jangan nuntut yang lebih.

Terus siapa yang dirugikan? Jawabannya tentu konsumen. Karena jalan yang rusak, akan menyebabkan rantai distribusi makan lama dan panjang. Dan pada setiap pos distribusi pasti ada biayanya. Harusnya rantai distribusi bisa 2 hari, namun kondisi jalan yang rusak menyebabkan molor hingga seminggu. Apa mungkin produsen mau nanggung kerugiannya?

Sadar akan kondisi ini, Jokowi setelah terpilih langsung ubah strategi. Infrastruktur mau nggak mau harus jadi prioritas untuk dibenahi. Tercatat selama masa kepemimpinannya, sudah 423,17 km jalan tol dibangun. Dan proyeksi hingga akhir 2018 akan mencapai 897 km. Angka yang fantastik.

Bandingkan dengan Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun, tapi hanya bisa membangun jalan tol sepanjang 490 km. Pepo gak kalah set. Selama 2 periode kepemimpinannya, hanya merajut jalan tol sepanjang 212 km plus proyek-proyek mangkrak karena kebanyakan dikorupsi.

Apa tujuannya pakde menggenjot sektor infrastruktur?

Pertama memangkas rantai distribusi dan kelancaran roda ekonomi. Dan rakyat Indonesia sebagai konsumen final, akan bisa merasakan manfaat dari harga barang yang jatuhnya lebih murah dari sebelumnya.

Orang Papua mungkin yang sudah bisa merasakan dampak kebijakan tersebut, dengan harga-harga yang jauh lebih murah dari periode sebelum pakde berkuasa. Dulu harga semen satu sak mencapai 500ribu. Tapi kini harganya sekitar 50ribuan. Gila, gak?

Kedua, untuk ketahanan ekonomi terhadap krisis. Ingat semasa krismon 1998, dimana hampir semua negara di kawasan ASEAN mengalami dampaknya? Namun semua cepat pulihnya ketimbang Indonesia. Selidik punya selidik, apa penyebabnya? Mereka punya infrastruktur yang jauh lebih baik dari Indonesia.

Dengan infrastruktur, investor akan tertarik untuk berinvestasi kembali. Apa kira-kira konsumen mau disuruh investasi di daerah terpencil tapi nggak disediakan infrastrukturnya sama sekali? “Eh, mau nggak buat pabrik X sambil sekalian bangun jalan ke kawasan itu?” Hanya orang gila yang mau melakukannya.

Dan terakhir, berkaca pada krisis ekonomi yang kerap menimpa Indonesia, dilengkapi premis bahwa rakyat Indonesia adalah orang yang tingkat stress-nya lumayan tinggi, maka mau nggak mau sektor pariwisata yang bisa menggaet wisatawan lokal, harus digenjot.

Jangan heran kalo jalan trans ataupun jalan tol baik di pulau Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi dan Papua masif digelar, karena tujuan tersebut. Kebayang dong, orang yang disuruh kerja terus saban hari, tapi nggak ada penyaluran stress-nya, misalnya dengan plesiran? Dapat dipastikan populasi orang gila di Indonesia akan bertambah, nantinya.

Selain itu, dengan majunya pariwisata, maka akan mampu menggerakkan sektor industri lokal. Akan ada banyak investor yang berani taruh uangnya untuk investasi, karena memang pasar-nya sudah ada. Dengan majunya pariwisata, akan banyak orang dipekerjakan. Otomatis, angka pengangguran akan berkurang.

Itulah sebab kenapa dana Desa mendapatkan porsi kue yang lumayan besar pada masa pemerintahan pakde. Kalo skenario ini berjalan sesuai rencana, siapa yang akan menikmati hasilnya kelak? Apa mungkin sang tukang kayu?

Jangan heran, master-plan pakde ini harus segera dihentikan. Karena para mafia akan mati digilas jaman jika rencana ini berjalan mulus.

Jadi tahu kan, kenapa para kampret paling keras meneriakkan: “Kami tidak butuh infrastruktur.” Karena ketahuilah, dibelakang para kampret, berdiri para mafia yang kepentingan bisnisnya tengah digulung oleh kebijakan sang presiden Ndeso.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!