Oleh: Ndaru Anugerah
Apa negara ASEAN yang paling ditakuti oleh AS? Jawabannya Filipina. Kok bisa? Dalam tulisan ini saya akan membahasnya dan coba mengkaitkan dengan konteks geo-politik yang ada di negara kita.
Walaupun Filipina berhasil merdeka di tahun 1946, namun tidak serta merta menjadikan negara tersebut bebas dari kepentingan AS. Karena apa? AS lah yang menjadi sponsor kemerdekaan Filipina atas Spayol di tahun 1898.
Dari sisi geopolitik, posisi Filipina jelas aduhay. Utamanya dalam menjalankan strategi containment, Filipina merupakan wilayah strategis bagi kepentingan militer AS disana. Ini dalam rangka membendung pengaruh China di Asia Tenggara.
Ironis. Meski sudah merdeka, Filipina yang dipimpin oleh rezim boneka AS, hanya bisa diam seribu bahasa saat AS memperbanyak instalasi militer disana (ada 5 pangkalan), selain ‘mengatur’ roda ekonomi di negara tersebut.
“Pokoknya, lu atur negara aja. Urusan militer dan ekonomi, biarkan kami yang mengaturnya.”
Hal ini menjadi kian masif, saat Ferdinand Marcos berkuasa. Dengan bantuan AS, Marcos memerintah Filipina pakai tangan besi dari tahun 1965 hingga 1986. Banyak korban sipil berjatuhan alih-alih penerapan darurat militer ala Marcos. Situasinya ya mirip-mirip orde baru, sebenarnya.
Selepas Marcos yang digulingkan lewat gerakan people power, situasi Filipina bukan tambah membaik dibawah Corazon Aquino, justru sebaliknya.
Puncaknya saat Gloria Arroyo yang juga didukung oleh AS kembali memimpin Filipina dengan program kontra pemberontakkan berjudul Oplan Bayanihan. AS menyuntikkan dana 100 juta USD atas program anti pemberontakkan tersebut.
Apa tujuannya? Memberangus gerakan separatis kiri yang mulai marak disana akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Oplan Bayanihan sendiri menyebabkan tindakan pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan tanpa proses hukum, penghilangan paksa, penyiksaan serta perlakuan yang sadis lainnya.
Banyak warga sipil, termasuk anak-anak, yang juga terbunuh karena program tersebut. Dan gilanya, orang awam tanpa afiliasi politik juga jadi korban.
Ditahun 2014, Barrack Obama kembali melanjutkan program kerjasama di bidang pertahanan dengan Filipina, yang memberikan hak pasukan AS bercokol disana tanpa batas waktu yang tidak terbatas. Ini jelas ancaman serius bagi kedaulatan negara Filipina. Apa bisa Filipina berdaulat, selama AS ada disana?
Angin perubahan mulai bertiup di Filipina, saat Rodrigo Duterte memenangkan pemilu di April 2016.
Dan benar saja, begitu terpilih Duterte langsung lantang bersuara, “Saya ini presiden Kiri pertama dinegara ini.”
Tak ayal, kebijakan LN Filipina secara drastis berubah haluan. Kalo dulu presiden-presiden Filipina jadi boneka AS, kini Duterte bisa bersuara vocal, “Saya bukanlah antek Amerika.”
Pernyataan kontroversial itu saja sudah bisa membuat AS meradang. Apalagi sikap Duterte yang lebih condong ke China, makin membuat AS kebakaran jenggot. “Saya akan memutus hubungan dengan AS dan akan memulangkan pasukan AS. Saya lebih memilih bekerjasama dengan China atau Rusia,” teriaknya.
Di dalam negeri, sikap Duterte yang kompromistik dan akomodatif terhadap organisasi berhaluan kiri di Filipina (NDFP), jelas makin memperkeruh hubungan bilateral Filipina dan AS.
Dan yang paling tidak bisa ditolerir adalah sikap Duterte yang membatasi kegiatan pertambangan perusahaan multinasional Barat yang ada disana.
“Ditambah lagi dengan keinginan Duterte yang mencoba menyelesaikan konflik teritorial dengan RRC atas status Laut China Selatan, secara singkat.”
Sebagai gambaran, Laut China Selatan selain jadi rute perdagangan minyak mentah dunia yang menghasilkan setidaknya 5,3 trilyun USD tiap tahunnya, daerah tersebut juga kaya akan kandungan migas. Diprediksi ada sekitar 11 milyar barel minyak dan kandungan gas-nya 190 trilyun kaki kubik.
Dengan kata lain, langkah yang diambil Duterte adalah upaya damai dengan China. Dengan langkah tersebut, nelayan Filipina kini bisa melaut diwilayah Laut China Selatan yang bersengketa tersebut. Namun disisi yang lain kemesraan ini, jelas membuat geram pihak Washington.
Maka tak ayal, kasus terorisme yang dibesut oleh ISIS di Marawi, Mindanao tempo hari, tak lain adalah langkah politik AS untuk membuat distabilitas atas negara Filipina. “Targetnya satu, Duterte harus disingkirkan.”
Menetapkan Duterte sebagai the next target, tidaklah berlebihan. Kini, Duterte adalah sosok yang layak dijadikan panutan oleh kelompok Kiri yang bercokol di Asia Tenggara. Bila situasi tidak dihentikan, maka efek domino yang selama ini sangat ditakutkan oleh AS, bakal merambat di ASEAN.
Apalagi melihat Jokowi yang kini sedang mesra-mesranya dengan Tiongkok. Maka tak ayal membuat AS ibarat seorang Jones yang baru saja dicampakkan oleh kekasih pujaan hati.
“Jones aja bisa gelap mata kalo ditinggal sama pacarnya, apalagi Mamarika.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments