Kekhalifan Islam terakhir adalah Usmani yang berpusat di Turki. Sejarah mencatat, khalifah Usmani dinyatakan bubar secara resmi pada 3 Maret 1924 oleh Majelis Agung Nasional Turki.
Tapi, cerita kejayaan kekhalifahan tidak berhenti sampai disitu.
Kembali khilafah lovers mencari-cari pembenaran untuk sekedar memprediksi akankah ada kekhalifahan berikutnya di muka bumi ini. Dan selidik punya selidik, dapatlah dahlil pembenarannya. Rasululloh pernah bersabda “Akan muncul seorang Khalifah setiap seratus tahun.”
Dalam terjemahan bebas, berarti khilafah pasti akan ada lagi donk? Trus, kapan akan terjadi?
Kalo 1924 dianggap sebagai titik kehancuran sistem khilafah, maka 1 abad kemudian, tepatnya tahun 2024, akan muncul penggantinya. Pertanyaannya, siapa? Setelah dilihat, diraba dan ditrawang ngalor ngidul, dapatlah sebuah nama. Orang Turki juga. Dia-lah Recep Tayyip Erdogan.
Tak heran kaum khilafah lovers begitu tergila-gila pada sosok Erdogan, karena dianggap representasi pemimpin Islam masa depan.
Erdogan berhasil menduduki kepala negara Turki, melalui partai besutannya AKP. Nah, entah kebetulan atau nggak, partai AKP adalah transformasi dari partai Rafah, yang berarti partai Kesejahteraan. Jangan heran kalo pemuja Erdogan di Indonesia adalah orang-orang PKS yang secara garis organisasi sama dengan AKP, yaitu Ikhwanul Muslimin.
Sedikit demi sedikit, proyeksi Erdogan sebagai seorang khalifah kelak mulai ditapaki. Dan ujungnya, pada 2017, tepatnya setelah Erdogan memenangkan Referendum yang menjadikannya penguasa absolut di Turki (17/4), komunitas khilafah lovers pun mendaulatnya sebagai seorang Sultan.
Lho, kok Sultan bukan Khalifah? Karena Erdogan baru dianggap pemimpin kaum muslim di Turki doang, belum tingkat dunia. Jadi, julukan yang tepat adalah seorang Sultan, setara jabatan gubernur dalam sistem pemerintahan besar.
Tapi apes sungguh apes. Ditengah langkah politis yang tengah dirajutnya, krisis ekonomi yang menerpa Turki malah makin parah. Penyebabnya klasik, karena Turki terlalu ambisius untuk menggenjot infrastruktur tanpa melihat cadangan devisa yang dimilikinya.
Hutangnya meroket hingga USD 300 milyar atau lebih 4000 trilyun. Ini ditambah dengan kewajiban bayar hutang dengan mata uang Lira yang sudah terdevaluasi hingga 300%. Boleh dibilang, Aladin aja bakal angkat tangan kalo urusan kusut kek ginih…
Sebenarnya, sejak 2014 saja, tercatat Lira sudah KO permanen lawan dollar AS sebanyak 3 kali lipat. Kondisi ini diperburuk dengan perang dagang yang dilakukan AS terhadap Turki. AS menaikkan tarif impor baja dan aluminium asal Turki sebanyak 20% dan 50%.
AS beralasan kenaikan tersebut dikarenakan nilai Lira yang anjlok, sehingga selisih kurs tersebut membuat produk Turki menjadi sangat mahal dipasaran. Padahal AS tahu pasti, kalo keuangan Turki tengah tongpes berat.
Dengan berkaca pada kondisi keuangan Turki, lembaga pemeringkat kredit internasional sekelas Moody’s memprediksikan kalo Turki akan bangkrut hanya dalam waktu dua tahun.
Bangkrut? Apa kata dunia? Masa seorang Sultan pemimpin umat, tengah diambang kebangkrutan?
Meradanglah sang Sultan. Sampai ngancam AS segala, “Kalo mereka punya dollar, kami punya Allah dan Rakyat.” Walhasil, boikot pun digelar. iPhone yang pertama kena getahnya, walaupun kenyataannya sang Sultan sangat tergila-gila dengan produk-produk iPhone.
Karena butuh dukungan, maka Erdogan mengemis kepada Rusia, Iran dan China.
Namun, Rusia dan Iran seakan tutup telinga dengan jeritan sang Sultan. Akhirnya, hanya Aseng lah yang bersedia memberikan bantuan. Merasa tertolong, Erdogan-pun lewat menlu-nya berkata: “Turki akan memberantas seluruh elemen anti-China yang ada dinegerinya.”
Tentu kita tahu bersama. Bantuan China ini bukanlah gratis.
Paling tidak ada 2 keuntungan yang didapatkan China. Pertama, dalam rangka mensukseskan proyek OBOR yang dimilikinya, dimana Turki masuk dalam lintasan jalurnya. Dan kedua, China bisa membeli “aset-aset mahal” setara BUMN dengan harga obral karena kondisi Lira lagi jatuh-jatuhnya.
Kontan berbondong-bondonglah serbuan Aseng ke negeri yang dianggap sebagai pemimpin khilafah tersebut, dari mulai COSCO Pasific, Huawei sampai Alibaba Group. Singkatnya, China lah yang sangat diuntungkan, karena dengan menguasai ekonomi Turki akan terbuka jalan utama bagi mereka menuju daratan Eropa.
Sang Sultan bisa saja berbangga bahwa negerinya bisa selamat dari rongrongan Washington. Tapi satu yang dia mungkin lupa, bahwa ekonomi negerinya perlahan tapi pasti telah dikuasai sepenuhnya oleh China. Ibarat kata pepatah, lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya..
Terus, kalo sudah begini, akankah khilafah yang dicita-citakan bisa terwujud. Mungkin, jawabannya. Tapi harus ganti judul, dengan khilafah Aseng-iah…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments