Sistemik (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 18022025
Apa itu sistemik?
Sistemik merujuk pada kata sifat yang menggambarkan apa yang berhubungan dan dapat mempengaruhi sistem secara keseluruhan.
Dalam ekonomi sendiri, risiko sistemik merujuk pada suatu peristiwa di tingkat perusahaan yang dapat memicu ketidakstabilan yang parah atau menghancurkan seluruh industri atau ekonomi. (https://crsreports.congress.gov/product/pdf/R/R47026)
Krisis ekonomi global di tahun 2008, sebagai imbas ambruknya Lehman Brothers, adalah contoh gamblang bagaimana risiko sistemik bisa terjadi.
Pertanyaan sederhana, bagaimana proses jatuhnya Lehman Brothers bisa sukses memicu kegagalan sistemik ekonomi global? Kok bisa?
Dalam menjawab pertanyaan ini, sebenarnya agak pelik. Banyak hal yang harus kita pahami bersama, supaya kita bisa menjawabnya secara komprehensif.
Mari kita mulai dari yang paling mendasar, bagaimana kita dapat menjelaskan suatu ekonomi bisa berjalan dengan baik? Apa yang menjadi faktor-faktor pendukungnya?
Salah satu jawaban atas pertanyaan ini adalah Gross Domestic Product alias Produk Domestik Bruto (PDB). PDB penting karena dapat memberikan informasi tentang ukuran ekonomi dan kinerja ekonomi suatu negara. Tingkat pertumbuhan PDB riil sering digunakan sebagai indikator kesehatan ekonomi nasional secara umum.
Secara umum, peningkatan PDB dapat diartikan sebagai tanda bahwa ekonomi suatu negara berjalan dengan baik. Dan pertumbuhan PDB diklaim dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. (https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/gross-domestic-product-GDP)
Jadi, poin pentingnya adalah pertumbuhan PDB. Kalo PDB nggak tumbuh, artinya ekonomi stagnan yang bisa mengarah pada ambruknya ekonomi dan bisa berimplikasi politis. Dan ini nggak boleh terjadi, apapun risiko-nya.
Apa begitu?
John Jopling mengatakan, “Pertumbuhan adalah keharusan mutlak yang dipaksakan kepada pemerintah oleh sistem uang saat ini.” (https://www.feasta.org/2003/10/27/note-for-the-sustainable-development-commission-re-redefining-prosperity/)
Apa yang dimaksud dengan frase sistem uang saat ini?
Tentu saja sistem utang yang dikendalikan oleh perbankan swasta. Dengan adanya sistem PDB maka pemerintah dipaksa untuk membayar bunga kepada sistem perbankan yang telah memberikan utang. Asumsi-nya, pertumbuhan PDB dapat mengurangi laju polusi berdasarkan kurva lingkungan Kuznets (EKC).
EKC dengan tegas menyatakan bahwa polusi meningkat dengan pertumbuhan ekonomi di tahap awal pembangunan namun trend tersebut akan berbalik jika sudah melampaui tingkatan tertentu. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kondisi lingkungan.
Masalahnya, apa pernah EKC divalidasi? Kan nggak pernah.
Selain itu, PDB juga nggak mengukur hal-hal yang membuat hidup menjadi lebih berharga seperti kesehatan, pendidikan, kesetaraan kesempatan, kondisi lingkungan atau banyak indikator kualitas hidup lainnya.
Terlebih lagi, PDB juga nggak bisa mengukur aspek keberlanjutan ekonomi itu sendiri, apakah ekonomi bakal survive atau justru akan hancur. Nggak pernah ada evaluasi-nya. (https://www.scientificamerican.com/article/gdp-is-the-wrong-tool-for-measuring-what-matters/)
Namun persetan semua itu.
Yang terpenting, sistem PDB terus dipakai karena itu diktum-nya. Kalo PDB meningkat, konsumerisme juga meningkat karena utang terus digelontorkan untuk kepentingan konsumtif.
Pada akhirnya, ekonomi yang terus menggelembung, jutsru rawan dalam memicu ketidakstabilan dan krisis.
Anda pasti paham konsep boom-bust, bukan?
Secara prinsip, konsep ‘naik-turun’ ini menyatakan bahwa ekonomi sengaja dipaksa menggelembung yang pada gilirannya gelembung tersebut bakal meledak yang akan membawa pada krisis dan mendorong risiko sistemik. (https://www.investopedia.com/terms/b/boom-and-bust-cycle.asp)
Nah kalo sudah terjadi krisis, maka jurus ‘bailout’ akan dikeluarkan. Pemerintah bakal ditekan oleh lembaga pemberi utangan untuk segera memberikan dana talangan kepada bank-bank swasta dengan dalih untuk menyelamatkan krisis ekonomi.
Dana talangan ini (atas arahan pemberi utang) pada gilirannya bakal ditanggung oleh pemerintah sebagai utang baru yang akan membuat negara semakin terlilit utang kepada sang pemberi utangan. (https://www.investopedia.com/terms/b/bailout.asp)
Melihat siklus ini, saya jadi ingat quote yang pernah dilontarkan mantan Presiden AS, John Adams. “Ada dua cara untuk menaklukkan dan memperbudak suatu bangsa. Satu dengan pedang, dan satunya lagi adalah dengan utang.”
Dan memang begitulah siklus yang terjadi.
Jadi, baik pemberi utang maupun negara sebagai penerima utang, bakal ‘menyetujui’ klausul ini. Maka saat negara menyetujui utangan baru dari sang pemberi utang (tentu saja lewat sales-salesnya yang bercokol di pemerintahan) maka pada esensinya negara hanya akan mendorong situasi krisis ekonomi menjadi lebih runyam berupa ‘jerat utang’.
Bagaimana jika pemerintah nggak bersedia menerima skema utang dari lembaga pemberi utangan dan memilih melindungi sumber daya alamnya atau bank-banknya dengan cara menasionalisasi demi kepentingan bangsa?
Pasti akan mendapat stigma macam-macam, mulai dari berhaluan komunis, sosialis, hingga teroris. Sudah pasti ini bakal dihindari oleh pemerintahan terpilih.
Dengan skema ini, maka negara akan berpikir ulang untuk ambil langkah antisipatif yang bakal menantang aliran mainstream. Mendingan cari aman dengan mengikuti dikte yang bakal dikeluarkan lembaga pemberi utang, jika ingin pemerintahannya ‘aman’.
Jika sudah begini, maka resep yang ditawarkan pemberi utang mulai dari privatisasi, perdagangan, liberalisasi dan reformasi yang mengusung ‘penghematan’ bakal dikeluarkan sebagai syarat mendapatkan pinjaman.
Apa tujuannya?
Tentu saja untuk merampas segenap sumber daya alam negara-negara yang jadi target penerima utang, untuk bisa diserahkan kepada kartel sang Ndoro besar sebagai pihak yang berada di belakang layar. (http://www.hartford-hwp.com/archives/27c/608.html)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)