Silent Diplomacy Jokowi


516

 

“Kamu mau nggak saya kasih duit? Caranya gampang. Kamu tinggal olesin nih ‘bedak’ ini ke orang itu,” begitu ungkap satu dari empat orang yang ditenggarai sebagai agen intelejen Korea Utara. Uang yang ditawarkan cukup menggiurkan. RM 400 atau sekitar Rp 1,2juta.

“Lumayan,” pikir kedua wanita yang berhasil diperdaya agen Korut tersebut. Untuk dapat tuh uang lumayan gede hanya sebatas acara lucu-lucuan di televisi alias prank, kenapa enggak? “Iseng-iseng sambil nunggu pesawat di Bandara Internasional Kuala Lumpur,” pikir mereka.

Singkat kata, dioleskanlah muka seseorang pria, dengan ‘bedak’ yang ternyata adalah zat VX yang sangat beracun dan mematikan. Nggak perlu waktu lama, sang pria-pun meregang nyawa. Pria tersebut belakangan diketahui sebagai Kim Jong Nam, kakak tiri dari pemimipin Korut saat ini, Kim Jong Un.

Kim Jong Nam memang layak “dimusnahkan” karena menurut kaca mata Pyongyang, seruannya kepada kaum oposisi yang kerap memprovokasi untuk diadakan aksi Reformasi di Korut, bisa membahayakan politik dinasti di negeri komunis tersebut. “Daripada banyak bacot, mending dilenyapkan.”

Sukses dengan memperdaya kedua perempuan, ke-empat agen spionase Korut itupun capcus kembali ke Korut. Operasi berhasil, walaupun kedua wanita akhirnya ditahan pihak otoritas Malaysia, karena aksi merekalah, yang menyebabkan Kim Jong Nam tewas. Vonis hukuman mati-pun menantinya mereka.

Sejak kasus ini merebak, Jokowi nggak hanya berpangku tangan. Lewat tangan menterinya, Yasonna Laoly, pakde menegaskan untuk segera memberikan lobi-lobi secara bilateral ke Malaysia, agar kelak Siti Aisyah dapat dibebaskan.

Apakah Jokowi berkepentingan terhadap bebasnya SA? Tentu saja. Karena SA adalah TKI yang seyogyanya hendak bekerja di Malaysia. Dan TKI adalah pahlawan devisa bagi negara ini. Masa iya, kok sudah jadi pahlawan, masa disia-siain?

Langkah silent diplomacy-pun dijalankan sesuai agenda. Kemenhumham mengirimkan kertas kepada Jaksa Agung Muda Tommy Thomas, untuk menghentikan kasus SA karena setelah diadvokasi, ternyata SA hanyalah dijebak oleh agen Korut lewat iming-iming uang. “Masa sih, Malaysia nggak mempertimbangkan hubungan baik kedua negara?” kurang lebih begitu isi tuh surat.

Setelah proses yang panjang, akhirnya SA dibebaskan. “She can leave now,” begitu putusan Hakim Pengadilan Shah Alam, Azmin Arifin (11/3). Alhamdulillah. Kerja keras diplomasi senyap hampir 2 tahun akhirnya membuahkan hasil. Padahal SA sudah sangat putus asa saat itu. “Saya sempat berpikir bahwa hidup saya akan berakhir,” kenangnya.

Setelah beroleh vonis bebas, bukannya mendapat sambutan, eh malah pemerintah pakde mendapat cacian dari kubu oposisi. Ini bermula saat Mahatir Muhammad menyatakan, “I have no information about it” kepada awak media terkait adanya diplomasi rahasia yang dijalin oleh pemerintah Indonesia untuk membebaskan SA.

Oleh kubu oposisi bin nyinyir, pernyataan tersebut diartikan bahwa “Tidak ada silent diplomacy yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada pemerintah Malaysia.” Aliasnya, pemerintah Jokowi telah melakukan kebohongan publik. “Bebas karena memang nggak ada bukti bersalah, kok ngaku-ngaku keberhasilan pemerintah,” begitu kurang lebihnya.

Biar saya jelaskan duduk masalahnya.

Pertama, secara linguistik arti kalimat “I have no information about it” adalah “saya tidak punya informasi tentang hal itu”. Hal apa? Pembebasan SA lewat silent diplomacy. Karena apa? Karena urusan hukum bukan urusan Perdana Menteri, tapi urusan pengadilan. Masa iya, sekelas Perdana Menteri intervensi ranah hukum/pengadilan? Yang bokir….

Kedua, apa pernah pakde berkata “Saya telah melobi secara langsung Mahatir untuk membebaskan Aisyah?” Kan nggak ada pernyataan itu. Nah terus penyataan jubir BOSAN, Dahnil Anzar Simanjuntak, “Kebohongan skala internasional yang memalukan bangsa” maksudnya apa? Mau bilang bahwa Pakde tukang kibul?

Ketiga, kalo memang seperti diklaim bani nyinyir miskin prestasi bahwa tidak ada silent diplomacy yang dilakukan pemerintahan Pakde, nah terus kenapa Doan Thi Huog asal Vietnam, yang juga memberikan racun VX kepada Kim Jong Nam, kok nggak dibebaskan juga? Kenapa pengadilan Malaysia tebang pilih? Masuk akal, nggak?

Aliasnya opini yang coba dibangun oleh kubu pendukung BOSAN, cacat logika.

Dan terakhir, di Reuters (11/3) telah beredar salinan surat yang berjudul “Re: Request for aquintance for the release of Siti Aisyah” yang ditujukan kepada JAM, Tommy Thomas. Surat ini kemudian dibalas oleh Tommy (8/3) “dengan mempertimbangkan hubungan baik kedua negara” akhirnya diputuskan SA dibebaskan dari tuntutan hukum.

Kesimpulannya, ada peran pemerintah Indonesia dalam melakukan silent diplomacy tersebut. Lagian yang namanya silent, kan nggak harus koar-koar ke publik, prett?

Tercatat sudah 279 WNI terancam hukuman mati di luar negeri, berhasil dipulangkan selama 4 tahun pemerintahan Jokowi. Dan untuk ini, Pakde yah juga nggak koar-koar ke publik.

Kasus SA adalah prototype kepastian hukum yang diberikan sebagai jaminan kepada seluruh buruh migran asal Indonesia. Bahwa kepada para TKI, pemerintah Jokowi tidak akan tutup mata atas jasa mereka. Karenanya kepastian hukum layak diperjuangkan kepada para pahlawan devisa tersebut.

“Kapan lagi kita punya presiden model Jokowi? Rugi kalo yang model pakde tidak dipilih pada gelaran pilpres 2017 nanti,” begitu ungkap temanku.

Anyway, maju terus buruh migran Indonesia…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!